Selawat dan Segenggam Bu’u’

1,066 kali dibaca

Di Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep, Madura, dulu, saat saya masih aktif nyantri, Jumat adalah hari yang ditunggu-tunggu. Sejak Kamis sore kami sudah bersiap-siap untuk melewati waktu yang paling menyenangkan, sangat mengasyikan, dan begitu menggembirakan. Hal itu disebabkan karena Jumat merupakan waktu santuy bagi para santri karena kegiatan pondok berjeda di hari tersebut.

Kebebasan yang terbatas, begitulah kira-kira kaki menyebutnya. Sebab, meskipun kami bebas, tetapi tetap dalam batasan-batasan aturan pesantren. Seperti tidak boleh meninggalkan area pesantren tanpa adanya surat izin dari pengurus.

Advertisements

Sebenarnya tidak sulit jika hanya ingin keluar area pesantren dalam waktu tidak boleh lebih dari 24 jam. Karena pada saat itu, keluar lingkungan pesantren dengan waktu sebentar boleh seizin pengurus, tidak ke pengasuh. Maka bagi santri yang rumahnya dekat biasanya pulang sebentar (toleransi sehari semalam), dan hanya minta izin ke pengurus pesantren.

Ada “banyak” hal yang dapat dilakukan santri pada hari bebas ini. Seperti menghidupkan radio. Saat itu, pesawat radio merupakan barang mewah. Tidak banyak santri yang mempunyai barang yang pernah mengalami kemajuan dengan acara sandiwara radio Saur Sepuh ini. Kemudian kami juga boleh memasak (dulu jarang santri yang ngekos) dengan waktu yang cukup luas. Juga dapat melakukan kegiatan musyawarah, kelompok kecil tadris yang diadakan secara mandiri, serta berolah raga semacam bulu tangkis, sepak bola mini, dan lain sebagainya, termasuk jalan-jalan (jogging).

Selawat Plus

Salah satu kegiatan yang ditunggu-tunggu santri (tidak semuanya) adalah pembacaan selawat Nabi bakda isya. Dipimpin oleh santri-santri senior, kami melantumkan bacaan selawat dengan irama lagu dan ragam fariasinya.

Hal yang menarik dari santri yang ikut serta dalam kegiatan ini adalah, di akhir acara akan ada pembagian bu’u’. Bu’u’ adalah masakan khas Madura yang secara sederhana dapat saya jelaskan, merupakan masakan beras yang diurap dengan parutan kelapa. Rasanya gurih dan tentu saja sangat enak, terutama bagi santri yang dalam keadaan perut keroncongan.

Ada satu istilah, bahwa kita akan lahap makan jika berlaukkan “lapar”.  Meskipun hal itu hanya sebuah ungkapan, namun tidak sepenuhnya salah karena ketika kami lapar, apa pun menu makanan yang tersedia akan terasa lezat dan enak. Jadi sebenarnya, rasa enak itu dipengaruhi oleh kondisi perut jika sudah saatnya diisi, atau bahkan telat untuk diisi.

Selepas doa acara selawat, kami duduk melingkar menunggu pembagian (dhu’uman) segenggam bu’u’. Benar, memang benar-benar segenggam dari tangan santri senior yang membagikannya. Kami para santri duduk menunggu antrean sambil menadahkan kedua tangan. Jika beruntung, kedua tangan kami penuh (ronto), jika kurang beruntung, karena cara pengambilannya dengan kira-kira, maka kami dapat lebih sedikit.

Jika dikaitkan dengan masa pandemik Covid-19 saat ini, tentu saja pembagian bu’u’ dari satu tangan ke tangan lainnya sangat tidak recomended. Namun saat itu virus ini masih belum ada, dan kami menikmati bu’u’ dengan rasa gembira dan bahagia yang luar biasa.

Tidak semua santri membaca selawat. Itu artinya yang tidak baca selawat tidak dapat bu’u’. Apakah mungkin ada yang antre bu’u’ meskipun tidak baca selawat? Sangat-sangat mungkin sekali. Biasanya santri seperti ini disebut lodhang. Yaitu, santri yang memiliki tingkat kelucuan yang cukup tinggi serta kondisi mental yang cukup kuat (ta’ tao ka todhus). Tentu saja santri yang semacam ini tidak banyak, tapi tidak dapat dibilang tidak ada.

Itulah sebuah kisah yang sulit terlupakan, menjadi kenangan sepanjang waktu. Tentu saja ada kisah-kisah menarik dari berbagai pesantren yang tersebar di Nusantara. Kisah-kisah tersebut dapat dijadikan inspirasi, dipetik hikmah dan manfaatnya, untuk dijadikan kenangan dan bahkan kebaikan dalam hidup. Santri dengan segala keunikan dan kekhasannya, memiliki kisah cerita sebagai bagian dari santri way untuk dituliskan dan dikenangkan.

Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan