Sekelumit Persoalan Bervirtual

821 kali dibaca

اليوم نختم على افواههم وتكلمنا ايديهم وتشهد ارجلهم بما كانوا يكسبون

Santri sebagai aset berharga dalam memperjuangkan bangsa ini, dalam protret jejaknya memang diakui sangat loyal dan patriotis menjadi penggerak utama dan tameng dari berbagai tantangan dan ancaman memerdekakan bangsa ini. Itu tidak lepas dari penanaman nilai-nilai keislaman yang kuat di pondok pesantren.

Advertisements

Memasuki era baru, post-truth, santri menghadapi tantangan baru yang semakin kuat. Dari sini, kemampuan dan daya survive santri diuji kembali. Akankah entitas satu ini masih bisa lihai bermanuver dengan tetap memegang teguh nilai-nilai keislamannya. Refleksi sederhana berikut mungkin sedikit bisa memberi sepintas gambaran.

Globalisasi membuat mata manusia menjadi lamur terhadap realitas sekitarnya. Globalisasi sebagai proyek dari kapitalisme global memunculkan berbagai dinamika ekstrem beberapa dasawarsa terakhir. Dalam wacana kebudayaan, hal ini diistilahkan oleh Jean Baudrillard sebagai hyper —suatu kondisi atau aktivitas sosial yang melampaui batas wajar dan berkembang ke arah titik ekstrem.

Hiperrealitas merupakan tataran kehidupan yang disadari atau tidak, telah menjangkar hampir di semua lapis kehidupan manusia modern. Segalanya menjadi kabur, berbagai dikotomi lebur.
Berbagai batas-batas konvensional masyarakat yang mapan kini tak lagi imun di hadapan modernitas dan globalisasi.

Ketakcintaan lagi atas kebudayaan sendiri merupakan salah satu akibat dari misi kapitalisme global yang menawarkan berbagai kenikmatan dan kemudahan semu yang justru menjadikan kebudayaan marginal mati. Dekonstruksi gaya hidup dan sosial kemasyarakatan menjadi indikator penting betapa kebudayaan yang heterogen, jangankan berkembang, ia berada di titik nadir di bawah cengkraman proyek homogenisasi kebudayaan oleh kapitalisme global yang terstruktur dan terencana.

Rekonstruksi Realitas

Keruntuhan realitas ditandai dengan lenyapnya perbedaan antara yang real dan yang virtual akibat dari rekayasa model-model (citraan, halusinasi, simulasi) karena dianggap lebih nyata dari pada realitas itu sendiri. Baudrillard menyebutnya sebagai hiperrealitas, ketika ekspansi modernitas yang tanpa disadari telah menyingkirkan berbagai kebudayaan sarat makna, identitas majemuk, masyarakat plural ke arah masyarakat tunggal kapitalisme mutakhir dengan segala gelimang kemewahan tanpa makna, nonsubstansial.

Kita kian terjerat pada tataran masyarakat konsumer yang mengagumi kecepatan, image, produk, dan kebaruan yang selalu menghiasi kehidupan sehari-hari. Batas-batas teritorial, negara, sosial-kebudayaan lenyap dengan adanya internet dan televisi.

Televisi, misalnya, pada suatu saat memuat kabar tertangkapnya teroris, lalu diikuti iklan dengan busana terbuka ala Barat, kemudian dibenamkan dengan kabar keburukan pejabat negara yang bertindak menyeleweng, sedetik kemudian disusul dengan kabar pelecehan seksual kepada seorang anak. Tanpa memandang objek, televisi telah mengaburkan stratifikasi sosial, yang miskin/kaya, preman/ustaz, anak-anak/dewasa, tak ada bedanya. Pada tahap akhir ia mendekonstruksi life-style, identitas sosial, dan kearifan sosial yang mapan.

Dekonstruksi Identitas

Internet semakin menggurita dengan pemujaan terhadap penampakan (appearance), dalam Yasraf (2020) diartikan sebagai kualitas objek yang secara langsung dapat ditangkap oleh intuisi, untuk membedakannya dengan realitas sesungguhnya, yang berada di luar jangkauan intuisi, tentunya dengan kehadiran media sosial.

Di sinilah kemudian hiperrealitas tercipta, ketika yang real tak lebih nyata dari pada yang virtual, saat virtual tak lagi disebut sebagai alternatif terhadap yang real. Pola dan identitas sosial berubah, orang-orang kian memuja citra diri (image) yang sering direkayasa habis-habisan. Tujuannya tak lain hanya sensasional belaka, yakni populasi. Padahal, dalam salah satu kalam hikmahnya, Ibn Athoillah mewanti-wanti para murid dengan berseru, “Pendamlah eksistensimu di dalam tanah yang tak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari tanah yang tidak terpendam sepenuhnya hasilnya biasanya tidak akan sempurna.” Sembari memberi contoh kisah keteladanan Uwais Al-Qarni.

Dengan kecepatan sebagai titik tumpu, media sosial menjadi ladang subur untuk apa saja. Papua, Barat, China, Negro, orang Jawa, Minang, Madura, penjahat, orang baik, orang rada baik, spekulan, koruptor, pengusaha, anak punk, ustaz, pelacur, mucikari, penipu, pengedar narkoba, dan sebagainya. Semuanya saling berbentur, memengaruhi dan yang kuat nan massif adalah pemenang, seperti halnya western.

Ruang cyber ini sebagaimana tersebut sebelumnya, tak mengenal batas apapun. Ia melingkupi dunia, satu arah. Media sosial sebagai ladang pemberi pengalaman halusinasi mengancam berbagai sendi kehidupan. Konfrontasi dengan dunia pesantren tentunya juga menjadi sebuah masalah dalam wacana ini. Penduduk pesantren (remaja); santri kini dipersoalkan kesantriannya bila mana berhadapan dengan jejaring internet.

Realitas lokal pesantren kita mengemukakan, santri malah menjadi makanan lebih empuk media sosial ketika berada di rumah. Tak banyak yang secara sadar penuh untuk menjaga tradisi salaf, kita malah larut dalam dunia simulakra yang hanya menyajikan kepuasan sementara nan semu. Misalnya, nonton televisi dan berselancar di dunia maya dengan mengesampingkan aktivitas ibadah dan berkumpul bersama masyarakat, merekayasa setengah mati citra diri di dunia maya, dengan upaya semisal pergi ke studio atau ke tempat wisata hanya untuk berfoto dan bergaya-gaya, menghabiskan biaya mahal.

Lalu diposting ke akun pribadi, disukai oleh beberapa kenalan, dikomentari sekenanya, dan dengan tidak mau menyadari bahwa pada sekian koma sekian detik setelah itu postingan tersebut telah terbenam dalam rimba virtual. Kita ibarat hanya sepotong tubuh tanpa aura. Ini sesuai dengan hukum kecepatan tersebut. Kita terperangkap dalam permainan hasrat yang mencapai ekstase —analogi Baudrillard untuk menggambarkan semacam ‘kemabukan’ yang melanda masyarakat kontemporer dalam komunikasi, komoditas, konsumsi, hiburan, seksual, dan politik, Yasraf (2020).

Yang juga demikian miris, beberapa penduduk pesantren memposting kata-kata tidak senonoh dengan abai bahwa dalam identitas akunnya ia mencatutkan nama almamater, komentar-komentar yang melabrak etika, dan berbagai permasalahan lain yang apatis dengan maqalah, termasuk dari baiknya Islam seseorang ia meninggalkan apa yang baginya kesia-siaan.

Di dunia virtual kita cenderung lebih mengaktifkan tindakan yang menjadi aib kita atau berpotensi menjadi aib, seperti menghina, berkata kotor, gibah, toxic, dan sebagainya. Ini, menurut K Erfan Adzim, kepala Biro Komunikasi Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, terjadi karena dunia maya atau virtual memiliki ruang lebih bebas dan tidak secara langsung, sehingga orang sedikit lebih berani dari pada secara langsung.

Lanjut menurutnya, etika bermedia sosial justru sungguh lebih berat dibandingkan beretika di dunia nyata. Dengan sistem jaringan yang lebih terbuka, dunia virtual juga jauh lebih berpotensi menjadikan sebuah dosa menjadi jariyah. Ini hanya sebuah gambaran sepintas dengan spesifikasi media sosial saja, permasalahan lain yang terkandung dalam dunia virtual jauh lebih kompleks dari pada itu, sebut saja cyberporn dan game online.

Bijaklah mengendalikan jempol, juga perkataan dalam realitas semu tersebut. Maqalah, bila perkataan terbuat dari perak, niscaya diam terbuat dari emas, agaknya bisa menjadi sandaran bermedia sosial dan menggunakan internet semanfaat mungkin sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh ajaran salaf pesantren.

Sebagai penutup, bolehlah saya meralat statemen bahwa kesantrian kita diuji di hadapan internet. Yang rasanya lebih pas; seampuh dan sekokoh mana pendidikan keislaman yang diterapkan oleh pesantren sebagai sebuah benteng ketika ia berkonfrontasi dengan salah satu instrumen imperialisme Barat dengan sistem kapitalismenya itu, apabila seorang santri telah kehilangan kontrol dengan media tersebut, seyogyanya pendidikan di pesantren dipersoalkan kembali, diadaptasikan, di-upgrade sesuai dengan perkembangan waktu yang kian menyajikan “hiperfatamorgana” dan chaos. Semoga.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan