Sejarah Kodifikasi al-Quran

35,804 kali dibaca

Al-Quran sebagai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Al-Quran yang tersusun atas bahasa Arab merupakan mukjizat terbesar sepanjaang zaman. Al-Quran merupakan pedoman hidup bagi umat muslim, dan sebagai petunjuk (hidayah) bagi orang-orang yang bertakwa. “Dzalikal kitabu la raiba fih, hudallilmuttaqin.” (Kitab —al-Quran—itu tidak ada keraguan di dalamnya, menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa). Bagi seseorang yang membaca al-Quran, maka baginya mendapat pahala dan dianggap sebagai amal ibadah.

Sejak awal al-Quran dibaca sebagaimana kita ketahui hingga saat ini. Tidak dengan tulisannya, sebab proses penulisan melalui berbagai tahapan hingga mencapai kesempurnaan sebagaimana yang kita pahami saat ini.

Advertisements

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad bukan dalam bentuk tertulis. Namun, diturunkan hanya dengan ucapan atau ungkapan Ilahi yang kemudian dihafal oleh Rasulullah dan disampaikan kepada para sahabat. Kelebihan orang-orang Arab di antaranya adalah kuatnya hafalan. Maka ketika Nabi Muhammad masih hidup, lafal-lafal al-Quran tertanam kuat di dada para sahabat.

Namun, seiring dengan berjalannya masa, bahkan ketika Rasulullah meninggal dunia untuk selama-lamanya, maka timbullah problematika akan eksistensi kalimat-kalimat al-Quran. Lebih-lebih pada masa Khalifah Abu Bakar Shiddiq banyak dari penghafal al-Quran yang gugur ketika berperang melawan murtaddin (orang-orang yang murtad, berpaling dari agama Islam). Maka, muncullah ide untuk membukukan al-Quran agar kalamullah tersebut terpelihara dari kemusnahan, dan lebih jauh lagi dapat dibaca dan dipelajari oleh orang ajam (orang bukan dari Arab).

Kodifikasi al-Quran

Di dalam KBBI dijelaskan bahwa kodifikasi merupakan himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; hal penyusunan kitab perundang-undangan; pencatatan norma yang telah dihasilkan oleh pembakuan dalam bentuk buku tata bahasa, seperti pedoman lafal, pedoman ejaan, pedoman pembentukan istilah, atau kamus. Jadi, kodifikasi al-Quran adalah kaidah penulisan kalimat-kalimat al-Quran yang mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari waktu ke waktu, hingga tulisan kalamullah itu tercatat sampai saat ini.

Dalam sejarah penulisan al-Quran, dijelaskan bahwa simbol atau lambang tulisan al-Quran tidak langsung utuh sebagaimana kita kenal saat ini. Namun mengalami perkembangan-perkembangan yang cukup memakan waktu dan pikiran. Dengan simbol dan pelambang yang ada, dimaksudkan agar lidah non-Arab (ajam) dapat memahami kaidah pembacaan al-Quran yang benar. Berbeda dengan orang Arab sendiri, bahkan tanpa simbol tulisan pun, mereka mampu mengungkapkan bacaan al-Quran dengan benar karena firman Allah ini diturunkan dengan bahasa mereka, bahasa Arab.

Pakar tafsir al-Quran, Prof KH Muhammad Quraish Shihab, menjelaskan, setidaknya ada dua alasan penggunaan bahasa Arab dalam al-Quran. Pertama, karena al-Quran diturunkan pertama kali di tanah Arab. Kedua, karena bahasa Arab adalah alat pengantar komunikasi manusia yang memiliki kosa kata sangat banyak (kompleks). “Kurang lebih, bahasa Arab memiliki 12 juta kosa kata. Makin banyak kosa kata yang dimiliki suatu bahasa, maka bisa kian jelas pengertian yang diantarkannya,” kata Prof Quraish dalam tayangan Tafsir Al-Mishbah episode “QS Az-Zukhruf 1-10” di Metro TV, Jumat, 24 April 2020.

Demi Kitab (al-Quran) yang menerangkan [2] Sesungguhnya Kami menjadikan al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 3).

Karena al-Quran memang diturunkan dalam bahasa Arab, maka bagi orang non-Arab begitu penting adanya kodifikasi atau kaidah penulisan al-Quran agar mereka dapat membacanya dengan baik dan benar. Mengungkapkan kalimat-kalimat al-Quran menurut hukum bacaan bahasa Arab, serta dipahami dengan lebih baik oleh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia.

Awal Mula Ditulis

Dalam sejarah kodifikasi al-Quran, mula-mula terjadi perdebatan di antara para sahabat Nabi terkait dengan ide penulisan al-Quran. Ini terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq. Sahabat Umar bin Khattab mengusulkan agar dilakukan penulisan (pengumpulan) al-Quran dengan alasan para penghafal (al-khuffadz) banyak yang gugur dalam peperangan.

Umar bin Khattab mendesak Khalifah Abu Bakar agar segera dilakukan pengumpulan al-Quran. Semula Abu Bakar merasa enggan, karena Nabi Muhammad tidak pernah memerintahkan untuk melakukan hal tersebut. Namun pada akhirnya, dengan melihat kenyataan yang ada, Abu Bakar pun bersedia dan berkomitmen dalam pengumpulan dan penulisan al-Quran. Maka, disusunlah panitia di mana Zaid bin Tsabit ditunjuk sebagai ketua, karena di masa Rasulullah Zaid bin Tsabit juga sering menuliskan al-Quran yang dibacakan Nabi Muhammad. Zaid dipandang sebagai orang yang paling kompeten dalam penulisan al-Quran ini.

Pada masa Rasulullah masih hidup, penulisan al-Quran memang tidak mendesak dilakukan. Karena, setiap ada persoalan terkait al-Quran, langsung dikembalikan kepada baginda Nabi Muhammad. Namun, setelah Rasulullah wafat, timbullah berbagai persoalan terkait dengan bacaan al-Quran yang paling benar. Oleh karena itu, maka penulisan al-Quran pada masa setelah Rasulullah wafat benar-benar urgen untuk ditulis atau dikodifikasi.

Pada masa Khalifah Abu Bakar, al-Quran mulai dikumpulkan dan ditulis di berbagai alat yang mungkin. Seperti di pelepah kurma, di lembaran kulit hewan, daun lontar, tulang-tulang unta, dan lain sebagainya. Namun, pada masa berikutnya, pada masa Khalifah Utsman bin Affan, terjadi problematika terkait bacaan al-Quran. Kodifikasi al-Quran yang ditulis pada masa Khalifah Abu Bakar tidak dapat menjawab tantangan zaman. Maka, Khalifah Utsman membentuk panitia untuk membukukan al-Quran dengan tujuan meminimalisasi perbedaan di antara suku-suku yang ada di kawasan Arab. Lebih dari itu, dengan menjadikan satu pegangan mushaf, maka akan menjadikan kesatuan dalam memahami kalamullah ini, baik secara makna maupun bacaan.

Pada masa-masa awal, tulisan al-Quran sangat sederhana. Tanpa adanya titik dan harakat. Hal ini  bagi orang Arab bukan suatu persoalan. Karen mereka sudah hafal dan paham dengan kalimat-kalimat al-Quran yang memang dalam bahasa mereka. Maka, untuk memberikan kemudahan terhadap seluruh umat Islam di dunia, maka terjadi penyempurnaan kode-kode khusus. Seperti pemberian tanda titik sebagai sombol harakat. Titik satu di atas dibaca fathah, titik satu di bawah dibaca kasrah, dan titik dua di atas sebagai sukun, serta lain sebagainya.

Kodifikasi ini dipelopori oleh Abul Aswad Adduali. Beliau, Abul Aswad Ad-Du’aliy, merupakan penggagas ilmu nahu dan pakar tata bahasa (bahasa Arab) dari Bani Kinanah dan dijuluki sebagai Bapak Bahasa Arab. Nama aslinya adalah Zhalim bin Amr, lebih dikenal atau dengan julukannya Abu Al-Aswad Ad-Du’ali, orang yang diambil ilmunya dan yang memiliki keutamaan, dan seorang hakim di Basyrah.

Pada masa berikutnya, diadakan penyempurnaan-penyempurnaan, seperti pemberian harakat berupa baris di atas huruf sebagai fathan, baris di bawah sebagai kasroh, wau kecil di atas huruf sebagai dhammah. Begitu juga dengan tanwin berupa dua baris, serta tanda-tanda waqaf untuk memberikan kemudahan dan kenyaman dalam tilawah al-Quran. Sebagimana yang kita saksikan saat ini, penulisan al-Quran tidak serta-merta sempurna, tetapi memerlukan pengabdian pada para ulama untuk mengkodifikasikannya.

Hikmah Kodifikasi al-Quran

Kodifikasi al-Quran mempunyai hikmah tersendiri bagi kaum muslim. Sebab, dengan adanya kode bacaan tertentu, serta kaidah penulisan khusus, maka umat Islam di seluruh penjuru dunia dapat melafalkan al-Quran sesuai dengan teksnya.

Berikut ini beberapa hikmah adanya kodifikasi al-Quran. Pertama, menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah qiraah (bacaan). Sebab, dengan satu kaidah, atau dengan metode bacaan yang sama, maka tidak akan terjadi selisih perbedaan bacaan dan meminimalisasi pertentangan antarumat. Keseragaman bacaan juga sebagai indikasi bahwa Islam merupakan ummatan wahidah (kesatuan umat) yang tidak akan berselisih dalam aspek apa pun.

Kedua, menyeragamkan dialek bacaan al-Quran. Dengan adanya kodifikasi, al-Quran menjadi satu dialek atau ungkapan yang pada akhirnya juga lebih membangun persatuan dan kesatuan Islam. Satu dialek, ungkapan bacaan yang sama, merupakan indikasi bahwa Islam sangat menjaga nilai luhur persatuan dan kesatuan.

“Dan berpegangteguhlah kalian pada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103).

Ketiga, menyatukan tertib susunan surah-surah menurut tertib urut mushaf-mushaf yang dijumpai sekarang. Susunan surah dalam al-Quran merupakan petunjuk khusus dari Rasulullah. Tertib urut surah dan ayat dalam al-Quran merupakan tauqifi, yaitu petunjuk langsung dari Nabi Muhammad. Oleh karena itu maka susunan ayat dan surat sudah tertentu dan bukan hasil ijtihad dari para ulama. Akan tetapi merupakan petunjuk langsung dari Allah melalui Nabi-Nya, Muhammad.

Jaminan Pemeliharaan

“Sesungguhnya  Kami-lah yang  menurunkan  Alquran,  dan sesungguhnya Kami benar-benar  memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9).

Ayat ini sebagai indikasi bahwa jaminan terpeliharanya al-Quran merupakan hak prerogatif Allah. Hal ini terbukti hingga saat ini. Al-Quran yang kita baca terlepas dari campur tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Keaslian al-Quran, lebih dari 14 abat lamanya, masih terpelihara dan terjaga dari tipu daya orang-orang kafir.

Berikut merupakan teknis kemustahilan al-Quran dari pemalsuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Pertama, dibaca dan dihafal oleh berjuta manusia. Al-Quran dihafal karena pada saat turunnya, firman Allah ini disampaikan secara lafal, bukan tulisan. Sejak awal, al-Quran dihafal di dada-dada para sahabat Nabi. Maka akan sangat beralasan kalau kemudian para huffadz (penghafal al-Quran) dari waktu ke waktu semakin bertambah. Para pengahafal al-Quran diberi hidayah oleh Allah berupa ketentraman dan ketenangan saat mengahafal mushhaf yang berjumlah 30 juz ini.

Di samping itu, bahasa Arab termasuk bahasa yang lebih mudah diucapkan. Dibandingkan dengan bahasa lainnya, bahasa Arab jauh lebih mudah untuk dibaca dan dihafal. Hingga saat ini sudah sangat banyak lembaga-lembaga tahfidz Quran dan menghasilkan para penghafal di seluruh penjuru Tanah Air, bahkan di seluruh penjuru dunia. Dengan demikian, mustahil al-Quran dirusak oleh orang-orang yang ingkar terhadap al-Quran.

Kedua, sudah ditulis sejak diturunkan. Sejak Rasulullah menerima wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril, al-Quran itu sudah ditulis. Rasulullah mempunyai para penulis wahyu, dan hingga Nabi Muhammad wafat tidak ada satupun wahyu Allah yang terlewat dari penulisan.

Di masa Nabi, al-Quran ditulis di berbagai alat sederhana, seperti pelepah kurma, tulang-tulang unta, ataupun di kulit-kulit ternak. Hal ini akan semakin jelas bahwa keaslian al-Quran akan terpelihara sepanjang masa.

Ketiga, dibukukan dalam satu jilid kitab. Hal ini juga akan menjadi salah satu teknis pemeliharaan al-Quran. Sebab, dengan cara dibukukan, dijilid dengan susunan khusus, maka keaslian al-Quran akan semakin terjamin. Jadi, di samping keaslian al-Quran ini sudah ada jaminan dari Allah, dalam realitasnya al-Quran benar-benar terpelihara dengan teknis yang tidak bisa disangkal oleh logika manusia.

Demikianlah sejarah kodifikasi al-Quran secara sederhana, sebagai bagian dari khazanah pengetahuan. Ternyata, sejarah pembentukan kodifikasi al-Quran memerlukan pengorbanan jiwa dan raga. Para ulama telah berdaya upaya untuk mendermakan seluruh kemampuannya demi kemaslahatan al-Quran.

Sudah selayaknya kita paham bahwa di dalam sejarah al-Quran terjadi kodifikasi. Terdapat teknis kode-kode khusus, agar al-Quran semakin memberikan hikmah kepada seluruh manusia. Bahkan dengan adanya pembukuan al-Quran, orang-orang di luar Islam pun dapat mempelajarinya dan mendapatkan (semoga) hidayah dari usaha mempelajari al-Quran tersebut. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan