Seh Mejagung

3,054 kali dibaca

Ada satu doa di Cirebon untuk menghormati sosok satu ini: Seh Mejagung. Wali agung dari tanah seberang. Mekah yang suci. Saya mendengar namanya diucapkan ribuan kali sejak dua puluh tujuh tahun silam.

 

Kepada ruh Seh Bayanillah…

Advertisements

Tolonglah kami semua dengan perantaraanmu

atas izin Allah

 

Ia disebut bersama nama-nama lainnya dalam Doa Salasila. Dan dicatat di sana dengan nama Seh Bayanillah. Tapi, sepertinya banyak orang di sini tak sadar akan kebesaran namanya dan sejarahnya. Ia menghabiskan separo lebih umurnya di Mekah.

Tak ada penjelasan panjang satu pun dengan “masa-masa Mekah” itu. Catatan sejarah hanya menyinggung sedikit: Ia adalah tuan rumah yang baik dan rendah hati bagi Walangsungsang dan Rarasantang waktu pergi haji ke Mekah.

Sebelum sampai Cirebon menjelang keruntuhan Majapahit, ia adalah warga Mekah. Orang tahu betul bila jiwanya semurni nasabnya. Ia tak merasa perlu menebak-nebak untuk itu. Ia tahu garis leluhurnya sampai mana, dari Seh Abdul Qadir Jailani, Seh Abil Qasim Jumaidi Al-Bagdadi, Seh Ahmad Badawi, Seh Ahmad Rifai, Seh Jafar Shodiq, dan Seh Abi Yazid Al-Bisthami.

“Lihatlah, Lemahabang,” katanya, “Dan dengarkan. Tak tahukah kau bahwa batu dan kayu memiliki zat Tuhan.” Di luar, burung-burung berterbangan. “Tidak ada desah napas tanpa menyebut Tuhan.” “Aku hanya tahu,” kata Lemahabang, “tiap-tiap kita penuh dengan dosa.” Jauh kemudian, Lemahabang tahu jalan menuju pelepasan.

Begitulah sejarah meneguhkannya. Ia bukan hanya pelindung bagi Mbah Kuwu Cirebon –atau Walangsungsang. Juga guru Lemahabang. Dalam catatan wali-wali Jawa, ia dianggap wali angkatan pertama. Ia datang untuk mengajarkan keadaan zat Tuhan. “Adakah tempat yang dapat melindungi manusia dari penglihatanNya,” katanya. “Padahal Allah lebih dekat dari hitam matanya.”

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan