Seh Mejagung

3,128 kali dibaca

Ada satu doa di Cirebon untuk menghormati sosok satu ini: Seh Mejagung. Wali agung dari tanah seberang. Mekah yang suci. Saya mendengar namanya diucapkan ribuan kali sejak dua puluh tujuh tahun silam.

 

Kepada ruh Seh Bayanillah…

Advertisements

Tolonglah kami semua dengan perantaraanmu

atas izin Allah

 

Ia disebut bersama nama-nama lainnya dalam Doa Salasila. Dan dicatat di sana dengan nama Seh Bayanillah. Tapi, sepertinya banyak orang di sini tak sadar akan kebesaran namanya dan sejarahnya. Ia menghabiskan separo lebih umurnya di Mekah.

Tak ada penjelasan panjang satu pun dengan “masa-masa Mekah” itu. Catatan sejarah hanya menyinggung sedikit: Ia adalah tuan rumah yang baik dan rendah hati bagi Walangsungsang dan Rarasantang waktu pergi haji ke Mekah.

Sebelum sampai Cirebon menjelang keruntuhan Majapahit, ia adalah warga Mekah. Orang tahu betul bila jiwanya semurni nasabnya. Ia tak merasa perlu menebak-nebak untuk itu. Ia tahu garis leluhurnya sampai mana, dari Seh Abdul Qadir Jailani, Seh Abil Qasim Jumaidi Al-Bagdadi, Seh Ahmad Badawi, Seh Ahmad Rifai, Seh Jafar Shodiq, dan Seh Abi Yazid Al-Bisthami.

“Lihatlah, Lemahabang,” katanya, “Dan dengarkan. Tak tahukah kau bahwa batu dan kayu memiliki zat Tuhan.” Di luar, burung-burung berterbangan. “Tidak ada desah napas tanpa menyebut Tuhan.” “Aku hanya tahu,” kata Lemahabang, “tiap-tiap kita penuh dengan dosa.” Jauh kemudian, Lemahabang tahu jalan menuju pelepasan.

Begitulah sejarah meneguhkannya. Ia bukan hanya pelindung bagi Mbah Kuwu Cirebon –atau Walangsungsang. Juga guru Lemahabang. Dalam catatan wali-wali Jawa, ia dianggap wali angkatan pertama. Ia datang untuk mengajarkan keadaan zat Tuhan. “Adakah tempat yang dapat melindungi manusia dari penglihatanNya,” katanya. “Padahal Allah lebih dekat dari hitam matanya.”

Kalau tak salah ingat, dalam Babad Cirebon, Seh Mejagung bersama Seh Lemahabang dan Seh Bentong termasuk kelompok wali sembilan. Maulana Akbar atau Ki Gede Penderesan atau Pangeran Pajarakan julukan lainnya. Ia saudara Seh Datul Kahfi. Dan menikah dengan Nyi Wandasari, putri penguasa Sidapurna, Prabu Surayana –anak selir Raja Niskala Wastu Kencana.

Meski demikian, dalam satu catatan sejarah, saya temukan jejaknya agak jauh dari tempat ia dimakamkan di Penderesan, Gunung Jati. Disebutkan bahwa Sunan Mejagung atau Mujo Agung atau Maulana Ali Mukhid atau Raden Alim Abu Hurairah masih punya hubungan saudara dengan Sunan Ampel. Sementara bukti lain menyebutkan Seh Mejagung ialah putra Ratu Dwarawati, istri Prabu Brawijaya.

Begitulah. Sejarah merentang panjang. Kita yang hidup di awal baru tertelan oleh jarak. Dan segala yang tampak di belakang tinggal noktah yang nyaris tak terlihat. Samar-samar saya hanya ingat dialognya dengan Walangsungsang. “Tanah Cirebon, membuat saya penasaran,” katanya. “Saya ingin segera ke sana.”

“Sabar, paman,” jawab Walangsungsang. “Saya ingin berkeliling ke penjuru Mekah terlebih dahulu. Selesai itu, kita akan berlayar menembus lautan luas.”

“Baiklah, aku tunggu saat itu.”

Dan karena tak ada kabar kapan ke Cirebon. Seh Mejagung memutuskan berlayar sendiri dan sampai juga di Muara Jati. Ketika tiba di Pasambangan, ia menambatkan sampan di tempat sunyi di pinggir sungai. Gunung Jati tidak jauh dari situ, tapi ia memilih tinggal di Giriliman atau Gunung Gajah –Gunung Semar sekarang. Sesudah itu, puluhan pasang mata dan luapan rasa cinta tertuju padanya. Dan sampai meninggalnya, ia di sana, ia tetap di Penderesan, dan dimuliakan namanya. Sosok yang disegani, mendapat kedudukan terhormat.

Dan, satu hal yang membuat saya selalu takjub adalah kenyataan bahwa ia ikut hadir dalam persidangan Lemahabang. Mejagung-lah bersama Seh Maghribi, Seh Bentong, dan Sunan Kudus yang ditugaskan menjemput Lemahabang. Saya coba membayangkan kata-katanya waktu itu. Sampai akhirnya, saya memutuskan membuka Naskah Mertasinga, mata saya terantuk oleh dialog Lemahabang dan Walisanga di Girigajah dan Gunung Ciremai. Inilah petilan tanya-jawab itu.

Kang aran Allah iku nyatane boten wonten anging zat kang asih kang tunggal tan ana roro telu, punika tekad kula, kata Seh Mejagung.

Iya isun kang aran Allah iki, ora ono roro telu, ing ngendi ana maning ingkang nama Allah saliyane saking Ingsun –Akulah yang bernama Allah itu, tak ada dua tiganya, di mana lagi ada yang namanya Allah selain aku. Jawab Lemahabang.

Sunan Kudus si ahli fikih itu kemudian berkata: Hukuman tumerep pasti.

Heh aja kakean gamil, kapan bae tumerepe, besok wani kiyen wani, jamak nglabuhi tekad –Jangan omong melulu, kapan saja boleh dilaksanakan, besok berani, sekarang pun berani, sudah sepatutnya aku mempertahankan tekadku, ujar Lemahabang.

Tentu saya tak bisa membandingkan sikap tegas Sunan Kudus dan ironi-ironi Lemahabang. Tapi seperti kata Seh Mejagung.

 

Allah bukan di sana bukan itu, tapi di sini

Dekat, sesuai sangka hambanya

Allah hanya nama. Tapi nyata adanya

Multi-Page

Tinggalkan Balasan