Segunung Sekam

1,908 kali dibaca

Pagi-pagi I’am sudah menyambangi warung langganannya. Setelah duduk dan memesan segelas teh hangat dia celingukan. Matanya menggerayangi berbagai gorengan yang ada di depannya, juga pada jajanan yang bergelantung di sudut-sudut meja warung. Namun setelah sekian menit dirinya masih belum melakukan tindakan apa-apa.

Tangan kirinya menyangga kepala. Tangan kanannya mengambil gelas teh, dan bibirnya menyeruput minuman itu dengan nada khas. Setelah masuk ke tenggorokan lalu mulutnya berdesis puas. Tangan kirinya masih di tempat semula, sedang tangan kanannya mulai merogoh saku celana. Matanya mulai mencuri pandang ke sakunya. Seperti pencurian pandang seorang lelaki pada gadis yang dia suka. “Lima ribu, aman, aman,” ucapnya puas dalam hati.

Advertisements

Bukannya dia tak memikirkan untuk ke depannya. Karena selembar uang yang ada di sakunya adalah yang terakhir. Kadang I’am sendiri berpikir apa yang lebih penting dari saat ini. Memikirkan kekurangan diri sendiri dan menikmatinya adalah salah satu jalan. Dan merencanakan sebuah harapan adalah jalan di sisi lain yang akan di wujudkan setelahnya.

Namun, dia akan menikmati seratus persen waktunya saat ini.  Karena uang di sakunya cukup untuk membayar teh hangat pesanannya. Dan juga dia masih mempunyai hak untuk mencomot satu atau dua buah jajanan dari tempat bersemayamnya, yang telah dia lirik-lirik sejak sebelum tangannya masuk ke saku.

Tak lama seorang kawan datang. Ternyata dia adalah Jismu, seorang adik kelas I’am saat SMP dulu.

“Cak, kok sendirian aja,” sapanya.

“Ah, memang sejak kapan aku kalau ngopi ngajak pacarku,” kelakarnya.

Mereka berdua memang bagai kawan lama yang jarang ketemu. Selalu ada pembahasan menarik yang mereka gelar di teras-teras warung yang mereka singgahi. Tapi sebelum itu I’am mengamankan keadaan, dipanggilnya sang penjaga warung, lalu membayarkan selembar rupiah terakhir yang ada di kantungnya itu. Dia berjaga-jaga agar uang itu tak lenyap diutang juniornya tersebut, misalnya.

“Kang, mau ke mana. Kok, terburu saja?”

“Tidak ke mana-mana. Biar tidak lupa saja. Agar tak ada utang antara kita, aku dan si mbak penjaga warung itu.”

Sejenak kemudian Jismu mendapat panggilan. Dari ekspresi yang muncul di wajahnya, tampak hal itu serius. I’am hanya bisa meneguk teh hangatnya yang mulai dingin. Sambil menerka bahwa yang terjadi pada Jismu adalah masalah pekerjaan. Dan tak lama tebakan I’am memang terjadi.

Pemuda yang tiap hari bekerja menjaga kandang ayam pedaging itu menggaruk-garuk kepalanya. Dia berkata pada I’am bahwa teman yang biasa mengangkut dedak persak (sekam pagi) kabur tiba-tiba. Membawa gaji sebulannya yang sudah diserahkan sang bos pada tanggal pertengahan. Jismu pusing bukan kepalang. Dia harus mengangkut 200 karung dedak persak besok, sendirian.

“Besok jam berapa?” I’am menyela cerita.

“Pagi, Cak, dua hari harus selesai.”

“Oke, besok tak jemput ke rumahmu.”

“Lo, aku gak tahu lo, Cak, ini bakal digaji apa enggak.”

“Ada kopi sama makan, kan?”

“I-iya, Cak.”

“Oke, cukup.”

I’am mengakhiri perbincangan mereka dengan meneguk tehnya sampai tandas. Dia menyalami Jismu dan berpamitan akan menuju kandang kambingnya.

Pagi-pagi motor tua pemberian almarhum bapaknya telah dipanasi. Tak ada nasi ataupun lauk. Bahkan gula dan kopi juga tandas tinggal wadahnya. Selang beberapa saat, dia meluncur ke rumah Jismu yang ada di pojok desa. Melewati beberapa rerimbunan bambu dan jalan yang belum bisa disematkan kata layak untuk dilewati.

Jismu bergegas keluar saat I’am memanggilnya dari luar rumah. Sebelumnya dia telah menyiapkan seratus karung untuk wadah dedak persaknya. Mereka akhirnya menuju salah satu penggilingan gabah di dekat gapura desa. Dedak itu menumpuk di bagian belakang. Menjulang dan mengerucut bagai Gunung Penanggungan. Tanpa banyak bicara mereka langsung memulai pekerjaan. Keringat bercucuran dari segala penjuru tubuh. Pada karung kelima puluh, Jismu mengajak seniornya itu berhenti sejenak. Menikmati kopi yang telah diantar oleh bos Jismu ke tempat bekerja mereka.

“Kenapa, Cak?” pertanyaan dari Jismu sedikit membuat I’am terkejut. Namun tak lama dia langsung memahami apa yang dipertanyakan oleh adik tingkatnya tersebut.

“Ini adalah hasil angan-angan dari guruku dulu,” I’am mulai menjabarkan alasannya. Bahwa dulu gurunya pernah berpesan, manifestasi dari sebuah manusia yang paling bijaksana ada pada tanaman padi.

Oryza Sativa itu bukan hanya simbol dari sebuah kerendahan hati, semakin berisi semakin menundukan diri. Namun juga simbol kepekaan diri. Lihat saja padi yang dulu ditanam, bukankah yang ditancapkan oleh para petani itu dulu hanya sebatang. Namun ia menunggu anak-anaknya berkembang dan tumbuh. Membagikan makanan dan sinar mentari dari Tuhan kepada batang padi yang baru tumbuh di sekitarnya. Lalu tumbuh bersama, sampai akhirnya sama-sama berisi dan dipanen bersamaan.

“Tak ada persaingan dan ego, bahwa padi yang ditanam paling dulu harus dipanen paling dulu juga. Itulah yang membuat padi lebih manusiawi daripada manusia zaman sekarang,” kalimat itu menutup cerita I’am.

“tapi, Cak, saya tidak mengerti. Pekerjaan ini bisa saja tak dibayar lo, Cak. Bos mungkin sudah tak punya uang buat bayar orang lain.”

Mendengar hal ini I’am malah tertawa. Sontak Jismu semakin tak mengerti dengan tingkah seniornya itu. Dari dulu memang tindakannya kadang lebih nyeleneh dari pada orang lain. Bahkan, kadang dia dijauhi teman sepermainannya. Tapi ketika ada orang yang meminta bantuan tak sekalipun ragu dia menjawab dengan anggukan. Kecuali bila memang itu hal yang tak benar.

“Mu, Jismu, lebih berharga mana sekam ini dari emas?” sekali lagi pertanyaan itu membuat Jismu meninggikan sebelah alisnya.

“Ya emas-lah.”

“Bagi manusia mungkin emas, kalau untuk para anak ayam yang ada di kandangmu?”

Kalimat itu membuat Jismu tak lagi bisa membantah. Di hadapan tumpukan dedak persak yang tinggi itu dia hanya terduduk manis dengan kopinya yang belum sempat ditenggak habis. Namun matahari mulai meninggi, dan masih banyak karung-karung yang belum terisi. Dalam pikirannya dia mungkin telah lama salah memahami dunia, dan yang mengingatkannya adalah sang senior di kehidupannya. Bahwa sebaik-baik manusia, tetaplah yang bermanfaat bagi sesamannya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan