Sedikit Membaca Pemikiran Kebudayaan Gus Dur

1,202 kali dibaca

Membaca karya-karya Gus Dur kesan yang pertama akan kita dapati dan sangat menonjol menjadi bahasan-bahsan juga kajian-kajian oleh berbagai pihak maupun komunitas, dan betapa pentingnya tema ini, adalah tentang kebudayaan dalam keseluruhan pemikiran Gus Dur.

Sebelumuya perlu penulis sampaikan bahwa tulisan ini hanya sebatas untuk membaca “kebudayaan” menurut Gus Dur, bukan bermaksud menafsiri, karena kiranya sangat sulit memahami sosok Gus Dur. Namun, paling tidak di sini mencoba membaca pemikiran kebudayaan ala Gus Dur tadi.

Advertisements

Sulit kita temukan Gus Dur membahas atau mengulas kebudayaan dalam satu kompartemen khusus atau seperti kotak bernama kebudayaan yang terisolasi dari isu-isu atau bidang kehidupan yang lain. Permasalahan kebudayaan oleh Gus Dur selalu dibahas kaitannya dengan masalah-masalah lainnya.

Gus Dur selalu mengelaborasikan budaya kaitannya dengan bidang-bidang lain, seperti agama, sosial, politik, dan ekonomi. Hal ini dalam beberapa tulisan disebut dengan dialektika. Seperti halnya pemikiran Gus Dur soal “Pribumisasi Islam” bahwasanya Gus Dur memahami wahyu harus dipahami melalui lokalitas dan dinamika relasi yang memuat sejarahnya sendiri, dan tentunya juga dalam konteks realita sosial.

Berangkat dari itu, maka nilai-nilai agama/wahyu universal harus dihadirkan di tengah-tengah lokalitas yang ada, di tengah-tengah masyarakat, di mana wahyu yang diperas yang kemudian menjadi sari pati nilai-nilai keagamaan dan berorientasi pada isu-isu ketuhanan, keadilan, dan kesetaraan yang telah diajarkan oleh Gus Dur merupakan bagian dari aspek sosial.

Kita juga bisa melihat dari situ, bahwa Gus Dur juga secara langsung telah menggunakan ilmu-ilmu sosial modern sebagai alat analisisnya, menakar dan mengamati isu-isu dan atau fenomena sosial, ekonomi, keagamaan, dan juga budaya. Bahkan melalui budaya, Gus Dur mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan seni yang mengatur hidup dan menghasilkan pilar-pilar penyangga untuk menjaga tatanan sosial.

Selanjutnya kembali pada bahasan pemikiran kebudayaan ala Gus Dur. Dalam buku yang berjudul Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan pada kolom “Negara dan Kebudayaan” kita akan mendapati begitu luasnya pembahasan mengenai kebudayaan ala Gus Dur, mulai dari kesenian, adat istiadat, birokrasi, kebangsaan, negara, Pancasila, liberalisme, krisis pemikiran, Islam, hingga pada pelacuran.

Beberapa tokoh, seperti Hairus Salaim HS dan Bisri Effendy, telah berusaha merumuskan kembali pandangan Gus Dur tentang kebudayaan, paling tidak keduanya berangkat dari empat definisi yang dikemukakan oleh Gus Dur. Pertama, kebudayaan sebagai seni hidup atau the art of living dalam mengatur kelangsungan hidup dan menghasilkan pilar-pilar untuk menjaga tatanan sosial. Dalam hal ini kebudayaan merupakan kreativitas dalam menjalani hidup, yang merupakan suatu pengalaman hidup lahir batin masyarakat.

Kedua, kebudayaan sebagai penemuan suatu masyarakat dalam arti buah yang hidup dari interaksi sosial antara manusia dengan manusia, dan begitu juga kelompok dengan kelompok. Dalam hal ini, keduanya mengartikan kebudayaan sebagai sesuatu yang dibangun, diciptakan, dan dikonstruksi dengan dan melalui interaksi sosial (M Nurul Huda, 2020). Baik interaksi sosial satu generasi maupun antargenerasi, kebudayaan memuat bagian yang diwariskan dan bagian-bagian yang ditinggalkan.

Ketiga, kebudayaan hanya akan menjadi kebudayaan jika ia hidup dan mengacu pada kehidupan. Hidup dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu yang bermakna, dihayati, dalam peristiwa yang asal dan usulnya kebenaran kebudayaan tidak dipertanyakan lagi oleh pelaku budaya, dalam hal ini masyarakat.

Sementara yang mengacu pada kehidupan diartikan sebagai suatu unsur kebudayaan yang memiliki referensi pada kehidupan, tidak berjarak dari kehidupan sehari-hari atau dalam hal ini kebudayaan menyatu dalam derap hidup perasaan, hati, atau pikiran sehari-hari masyarakat, baik itu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan atau pencarian jati diri.

Lalu apakah karya estetika seperti lukisan termasuk dalam kebudayaan?

Karya estetika seperti lukisan, puisi, atau sejenisnya, karena diciptakan hanya untuk dan demi estetika itu sendiri, maka ia tidak termasuk kedalam kebudayaan. Contoh lain seperti kesenian pentas atau teater yang menampilkan pemujaan belaka terhadap masa lampau tanpa berusaha menampilkan gambaran kerumitan perwatakan manusia dalam perkembangan kehidupan politik yang nyata dan dinamis. Menurut Gus Dur, teater yang seperti itu “lebih baik tidak perlu ada” karena sudah kehilangan ekspresi kehidupan yang komunikatif terhadap masyarakat atau bangsanya (PNAK, 45-52).

Terakhir, keempat, kebudayaan adalah kehidupan itu sendiri, yaitu kehidupan sosial manusiawi atau human social life. Yang dimaksud Gus Dur dalam hal ini adalah keseluruhan aktivitas usaha dan teknik-teknik yang dilakukan, pranata sosial dan kelembagaan yang dikembangkan, serta sistem sosial yang terbentuk dalam kerangka tujuan pelestarian hidup dan menjaga tatanan sosial (M Nurul Huda, 2020). Maka kemudian tidak heran jika Gus Dur dalam setiap pembahasannya terkait kebudayaan akan selalu dielaborasikan dengan hal-ikhwal kehidupan ekonomi, politik, negara, pendidikan, dan lainnya sebagai human sosial life.

Sumber bacaan:
Islam Nusantara; Perspektif Abdurrahman Wahid Pemikiran dan Epistemologinya (Muhammad Rafi’i).
Pesantren dan Kebudayaan (Lesbumi Yogyakarta).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan