Seabad NU, Berabad-abad Ke-NU-an

1,417 kali dibaca

Sepanjang Januari-Februari 2023 ini, warga nahdliyin sedang merayakan seabad kehadiran Nahdlatul Ulama (NU). NU didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 H. Hari bersejarah itu bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M.

Jika dihitung menggunakan penanggalan Hijriah, 100 tahun kelahiran NU adalah 16 Rajab 1444 H yang bertepatan dengan tanggal 7 Februari 2023 M. Namun, jika penghitungan dilakukan menggunakan kalender Masehi, seabad NU akan jatuh pada akhir Januari 2026 M.

Advertisements

Tampaknya, untuk merayakan seabad kelahirannya, NU memilih menggunakan penghitungan kalender Hijriah. Karena itu, rangkaian perayaan seabad kelahiran NU sudah dimulai sejak Januari 2023 dan akan berujung pada akhir Februari 2023 ini.

Tentu, momentum ini memiliki makna yang sangat strategis ketika NU telah mampu bertransformasi menjadi organisasi berbasis massa Islam terbesar di dunia justru di tengah turbulensi ideologi transnasional berbasis keagamaan yang difasilitasi kecanggihan teknologi informasi digital. Ini menghadirkan tantangan yang jauh lebih berat bagi NU dibandingkan dengan seabad yang telah lalu.

Seabad Perjalanan NU

Sebagai sebuah organisasi, suatu jamiyah, NU lahir dari suatu momentum dan terus mencoba untuk memainkan peran pada setiap momentum baru yang dihadapinya selama seabad kehadirannya. Jika ditilik mundur ke seratus tahun yang lalu, situasi global dan lokal yang menjadi pendorong lahirnya NU memang dapat menggambarkan garis lurus perjuangannya selama seabad ini.

Pada awal abad ke-20, terjadi perubahan konstalasi paham keagamaan di negeri-negeri muslim, terutama di Tanah Arab di mana Kerajaan Arab Saudi yang belum lama berdiri sedang mengonsolidasi kekuatan dan kekuasaannya. Konsolidasi itu salah satunya dilakukan melalui gerakan “purifikasi agama” yang diusung oleh Wahabisme sebagai penyokong berdirinya Kerajaan Arab Saudi.

Gelombang pasang “purifikasi agama” ini membawa konsekuensinya sendiri. Paham dan praktik keagamaan yang berbeda dari Wahabisme, dengan alasan “pemurnian” dan “kembali pada Al-Qur’an dan Hadis”, harus diperangi termasuk dalam hal permazhaban. Tempat-tempat bersejarah peninggalan Islam, termasuk makam Nabi, pun harus dihancurkan karena dikawatirkan menjadi tempat pemujaan yang menimbulkan kesyirikan.

Gelombang pasang “purifikasi agama” ini tak hanya terjadi di Arab Saudi, tapi juga melanda negeri-negeri muslim lain, termasuk Indonesia. Bahkan, dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi sasaran utama gerakan purifikasi ini. Istilah yang cukup popular ketika itu adalah gerakan pembasmian apa yang disebut sebagai penyakit “TBC”, yang merujuk pada paham dan praktik keagamaan yang dianggap penuh takhayul, bidah, dan (c)khurafat.

Ulama-ulama Nusantara, yang begitu tekun mencermati perubahan situasi ini, kemudian mendirikan NU. Di tingkat global, NU yang pendiriannya didahului oleh Komite Hijaz, ingin memainkan peran menjaga keajekan paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dianut oleh mayoritas muslim dunia. Cara yang ditempuh adalah dengan meminta kepada Raja Ibnu Sa’ud, penguasa Kerajaan Arab Saudi ketika itu, agar umat Islam tetap dibebaskan dalam bermazhab dan tempat-tempat bersejarah peninggalan Islam, terutama makam Nabi, dibiarkan tetap lestari. Permintaan NU tersebut diakomodasi oleh Raja Sa’ud.

Misi pertama NU di tingkat global ini terbilang sukses diukur dari dua hal. Pertama, kebebasan dalam menganut mazhab dan menjalankan praktik keagamaan di pusat perkembangan Islam dunia itu tetap terjaga sehingga masyarakat muslim dunia memperoleh jaminan dapat menjalankan praktik keagamaan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Kedua, menurunkan ketegangan dan kekhawatiran di negeri-negeri muslim sebagai dampak dari gelompang pasang gerakan “purifikasi agama” yang didorong dari Arab Saudi.

Sementara itu, di tingkat lokal, mayoritas masyarakat muslim Nusantara memperoleh tekanan dari dua arah sekaligus. Yang pertama dari hantaman gelompang pasang gerakan “purifikasi agama” yang digerakkan kaum Wahabi. Yang kedua dari penindasan kaum penjajah, terutama dari penjahan yang dilakukan Belanda dan kemudian Jepang. Itulah yang menjadi keprihatinan ulama-ulama Nusantara yang kemudian mendirikan NU.

Misi pertama NU di tingkat lokal ini juga terbilang sukses diukur dari dua hal. Pertama, NU berhasil membentengi dan melindungi masyarakat muslim Nusantara dari gempuran gelombang pasang gerakan “purifikasi agama” Wahabisme. Sebab, jika tak ada pengadangan dan perlindungan itu, sangat mungkin terjadi konflik dan pertentangan di tingkat akar rumput dan umat Islam akan tercerai berai. Berkat NU, tradisi dan praktik keagamaan masyarakat muslin Nusantara lestari hingga kini.

Kedua, NU memiliki andil sangat besar dalam menyatukan dan menggerakkan rakyat dalam melakukan perlawanan terhadap kaum penjajah. Bahkan, NU memiliki peran sangat besar dan strategis dalam membidani lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk dalam perumusan ideologi dan dasar negara. Pada babakan-babakan krusial berikutnya pasca-kemerdekaan, NU selalu menjadi pelopor dan pilar utama dalam membela dan menjaga tegaknya NKRI.

Dua wilayah itu, yaitu tradisi keberislaman masyarakat muslim Nusantara dan keutuhan NKRI, yang selama seabad ini benar-benar dirawat dengan begitu gemati oleh NU. Kenapa? Karena keduanya merupakan satu kesatuan bak rajutan benang pada sehelai kain, yang keduanya tak bisa dipisahkan atau saling menegasikan. Jika yang satu koyak, maka otomatis akan mengoyak yang lain juga.

Untuk yang pertama, merawat tradisi keberislaman masyarakat muslim Nusantara, NU benar-benar total dalam berkhidmah dalam bidang pendidikan, terutama melalui pondok pesantren dan madrasah. Begitu intensifnya dalam mengembangkan pendidikan melalui pondok pesantren dan madrasah yang distigma sebagai lembaga pendidikan tradisional, hingga NU sendiri memperoleh cap sebagai komunitas tradisionalis, kolot, jumud, dan bahkan anti-kemodernan —yang biasanya diperlawankan dengan Muhammadiyah yang modernis.

Tapi pandangan miring terhadap model pengembangan pendidikan ala NU tersebut pada akhirnya terbantahkan. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional yang tertua di Indonesia ternyata tak pernah mati, bahkan terus bertumbuh dengan subur di seluruh pelosok negeri. Ia juga terus bertransformasi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Dengan berbagai klasifikasinya, kini tercatat di Indonesia sedikitnya ada sekitar 28,8 ribu pondok pesantren. Dari jumlah itu, sebanyak 23.372 pesantren berada di bawah Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU.

Untuk yang kedua, yaitu merawat keutuhan NKRI, NU mengambil jalan politik “kelas tinggi”, yaitu apa yang disebut sebagai politik kebangsaan dan politik kerakyatan. Apa yang ditempuh NU di jalan politik itu semata-mata memang untuk menjaga keutuhan NKRI. Untuk itu, ada masanya NU menjadi partai politik sendiri, atau menjadi bagian dari partai politik tertentu (seperti Partai Persatuan Pembangunan di masa Orde Baru), atau memiliki partai politik untuk warganya (seperti pada Partai Kebangkitan Bangsa), atau mengambil jarak yang sama dengan seluruh kekuatan politik.

Atas kiprahnya di dunia politik seperti itu, NU pernah memperoleh stigma sebagai organisasi yang oportunis atau penjilat kekuasaan karena tidak pernah bersikap keras atau bahkan memberontak pada pemegang kekuasaan. Pada akhirnya terbukti, NU dikenal sebagai organisasi yang paling lentur dalam berpolitik, dan tak bisa “dimatikan” pun oleh penguasa Orde Baru, dan terus bertransformasi hingga kini menjadi kekuatan politik terbesar di negeri ini. Jika ada kekuatan politik yang akan mengacak-acak NKRI, misalnya, maka ia harus berhadapan dengan kekuatan NU. Sampai ada ungkapan, jika ingin menguasai atau menghancurkan NKRI, maka yang harus dirongrong adalah NU.

Struktutal dan Kultural

Melewati seabad usianya, NU kini menjadi suatu kekuatan yang begitu diperhitungkan tak hanya di Indonesia bahkan di mata dunia internasional. Kekuatan NU itu setidaknya dipandang dari dua hal.

Pertama, dari jumlah anggotanya yang disebut sebagai nahdliyin, warga NU. Berdasarkan hasil riset yang dikeluarkan oleh lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 18-25 Februari 2021, jumlah nahdliyin mencapai 108 juta jiwa. Jumlah itu merupakan 49,5 persen dari total populasi muslim Indonesia. Artinya, dari sekitar 237,5 juta jiwa penduduk muslim yang merupakan 86,7 persen dari total penduduk Indonesia, hampir separonya adalah nahdliyin alias anggota NU. Inilah yang menempatkan NU sebagai organisasi berbasis massa keagamaan terbesar di dunia.

Kedua, dari paham dan praktik keagamaan. Paham dan praktik keagamaan NU, yang lebih mengedepankan moderatisme, toleran, dan menghormati kemajemukan kini menjadi perhatian dunia di tengah maraknya kekerasan dan konflik berlatar dan bermotif keagamaan yang merundung berbagai belahan dunia, terutama di kawasan Timur Tenggah. Dunia kemudian menoleh ke Indonesia, berpaling ke NU, dan menjadikan apa yang dilakukan NU, juga muslim Indonesia, sebagai “best practice” dalam beragama di negara demokratis. Indonesia, salah satunya berkat NU, menjadi kiblat baru perkembangan dunia muslim.

Tapi jangan pernah kecele melihat NU. Di lingkungan nahdliyin dikenal apa yang disebut “NU struktural” dan “NU kultural”. Istilah yang pertama merujuk pada NU sebagai sebuah organisasi berikut organ-organnya, lebih khusus pada pelaksana kepengurusan organisasi. Sedangkan, istilah kedua merujuk pada apa yang tak dirujuk oleh istilah pertama, namun justru menjadi bagian terpenting dari keberadaan NU. Istilah kedua lebih pas merujuk pada masyarakat yang mempraktikkan kultur NU atau kultur kesantrian —yang dalam istilah Gus Dur disebut sebagai subkultur dari kultur keindonesiaan.

Contoh sederhananya kira-kira begini. Jumlah warga NU yang disebut sebanyak 100 juta lebih itu, dapat dipastikan mayoritas tidak punya relasi formal dengan NU sebagai organisasi. Jika ditanya satu per satu, dapat dipastikan sebagian besar tidak memiliki kartu keanggotaan NU. Tapi jika diminta mengidentifasi diri soal paham dan praktik keagamaan, orang sebanyak 100 juta lebih itu mengaku sebagai NU. Bahkan, kultur mereka ini sudah NU jauh sebelum NU sebagai organisasi lahir. Sebab, paham dan praktik keagamaan yang diusung NU memang sudah hidup di tengah masyarakat berabad-abad sebelum NU sebagai organisasi dibentuk. Itulah paham dan praktik keagamaan yang disebarkan dan diajarkan oleh para ulama terdahulu sejak masa awal masuknya Islam ke wilayah Nusantara hingga Wali Songo.

Dengan demikian, sesunguhnya, peringatan seabad kelahiran NU kali ini lebih pas untuk “NU struktural”, bukan “NU kultural”. Sebab, usia “NU kultural” ini, yaitu paham dan praktik keagamaan nahdliyin, paham dan praktik ke-NU-an, sudah berabad-abad, mungkin sejak awal masuknya Islam ke Nusantara di abad ke-8 atau ke-9 Masehi dan makin mengkristal di masa Wali Songo di abad ke-14 atau ke-15 Masehi. “NU kultural” inilah yang penyokong utama “NU struktural”, sehingga NU sebagai jamiyah memiliki daya hidup yang begitu kuat sehingga mampu bertahan hingga bilangan abad.

Tantangan Abad Baru

Tentu, apa yang dihadapi NU selama abad yang telah lalu akan berbeda dengan apa yang bakal dihadapi pada abad yang baru. Situasi dunia telah berubah demikian cepat dan kompleks. Dalam abadnya yang baru ini, NU harus mampu merespons dan memberi jawaban yang tepat pada tantangan-tantangan baru yang bakal dihadapi.

Jika melihat situasi terkini dan membaca tren masa depan, NU akan berhadapan dengan tantangan baru di bidang pendidikan yang makin terspesialisasi, ekosistem ekonomi baru yang terus berubah, dan sains dan teknologi informasi yang semakin menentukan di masa depan. Karena itu, abad baru bagi NU ini mengharuskan adanya rumusan strategis agar 100 juta lebih warga nahdliyin tak ketinggalan oleh laju peradaban dunia.

Jika dipetakan secara sederhana, mayoritas warga nahdliyin memang masih tertinggal di bidang pendidikan yang terspesialisasi sesuai tuntutan zaman, belum menguasai ekosistem ekonomi baru, dan masih jauh dari penguasaan sains dan teknologi informasi. Hal ini bisa menjadi titik lemah NU dalam persaingan global, dan bisa menjadi pintu masuk bagi kekuatan-kekuatan luar yang ingin merongrong dan memperlemah NU dari dalam. Jika pintu masuk ini dimanfaatkan pihak luar, akan sangat berbahaya. Sebab, merongrong dan memperlemah NU nyaris sama artinya dengan merongrong dan memperlemah NKRI.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan