Kegiatan muhadhoroh yang dilaksanakan di aula

Sastra Pesantren di Era Milenial

1,249 kali dibaca

Santri yang belajar di pondok pesantren tak hanya berkutat dengan pelajaran-pelajaran keagamaan. Dalam lingkungan pondok pesantren, secara langsung maupun tak langsung kehidupan santri juga akrab dengan pendidikan dan pengembangan sastra. Sebab, banyak teks-teks dari kitab-kitab yang dipelajari santri merupakan bagian dari karya sastra. Karena itu banyak sastrawan yang juga lahir dari lingkungan pondok pesantren.

Sekadar untuk menyebut beberapa contoh,banyak sastrawan berpengaruh yang lahir dari lingkungan pesantren, seperti  KH Mustofa Bisri (Gus Mus), D Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, Jamal D Rahman, Ahmad Tohari, Abdul Hadi WM, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, Kuswaidi Syafi’ie, dan lain-lain.

Advertisements

Dan di era milenial ini muncul novelis Habiburrahman El-Shirazy. Meraka merupakan sastrawan yang pernah belajar di pesantren. Hasil karya yang dihasilkan ini, pada umumnya bertemakan nilai-nilai religious pesantren (Tabroni, 2019: 13).

Istilah sastra sendiri merupakan serapan dari bahasa Sanskerta, yaitu shaastra yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”. Shaastra berasal dari kata dasar śās- atau shaas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Sedangkan, tra berarti alat atau sarana. Itulah kenapa banyak dari kitab-kitab yang dipelajari di pondok pesantren juga bisa disebut sebagai bagian dari karya sastra.

Dengan demikian, sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, proses pembelajaran di lingkungan pondok pesantren juga memiliki kontribusi yang besar dalam pengembangan sastra di Indonesia. Terbukti, banyak ragam karya sastra yang lahir dari lingkungan orang-orang pesantren, seperti novel, puisi, cerpen, drama, dan lainnya.

Di era sekarang, jenis karya sastra ini bertambah dengan maraknya media sosial dan teknologi yang mengalami banyak perkembangan. Selain jenis yang berdasarkan bentuk dan isinya, sastra juga dapat dibedakan berdasarkan tempat karya sastra itu berkembang dan hidup, seperti sastra pesantren.

Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan sastra pesantren? Menurut Abdurrahman Wahid dalam Sunyoto (2012), apa yang dimaksud sastra pesantren dapat dijelaskan dalam dua definisi. Pertama, sastra pesantren merupakan karya sastra yang mengeksplorasi kebiasaan-kebiasaan di pesantren. Kedua, sastra pesantren merupakan karya sastra yang bercorak psikologi pesantren dengan struktur agama (warna religius) yang kuat.

Keberadaan sastra dalam pesantren bermula sejak berdirinya pesantren pertama di Nusantara, yaitu Pesantren Tegalsari pada tahun 1742. Memang, dari berdirinya Pesantren Tegalsari tersebut hingga sekarang, tidak terdapat kurikulum sastra dalam pesantren. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan untuk mengajarkan sastra di lingkungan pesantren.

Sastra yang sering digunakan dalam pesantrren biasanya berupa syair atau puisi, seperti syair pada Nadhom Alfiyah Ibnu Maliki, Nadhom imrithi, Nadhom Aqidatul Awwam, dan sebagainya. Para santri bukan hanya dilatih untuk membaca, melainkan untuk dihafal dan diserahkan kepada guru atau ustaz. Para guru atau ustaz juga tentunya akan menjelaskan apa maksud yang terkandung dalam nadhom tersebut dalam pembelajaran di pesantren.

Sastra yang digunakan dalam pesantren bukan hanya berupa puisi atau syair. Kitab Mahfudzat atau kitab yang berisi kata-kata mutiara yang indah juga dipelajari. Kitab Mahfudzat ini umumnya dihafalkan oleh para santri dan diamalkan untuk memotivasi diri.

Salah satu contoh kata mutiara tersebut, yaitu “Man Lam Yaskurinnasa Lam Yaskurillah” “Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak mensyukuri Allah”. Kalimat tersebut akan memotivasi para santri untuk terus mensyukuri apa yang dimilikinya.

Tidak hanya dengan belajar dan mengaji saja, kegiatan sastra dalam pesantren juga sering digunakan, seperti Muhadhoroh, Musabaqoh, Porseni (Pekan Olahraga dan Seni), Pekan Bahasa, dan Lomba Akhir Tahun.

Pada era milenial sekarang, bukan hanya sastra media cetak yang digunakan dalam penyebaran sastra, dan begitu juga dengan sastra pesantren. Perkembangan teknologi saat ini tentunya sangat mendukung penyebaran sastra dengan mudah. Begitu juga dengan sastra dalam pesantren. Sastra dalam pesantren sudah dapat ditemukan di mana-mana tanpa harus masuk ke dalam dunia pesantren.

Oleh karena itu, pembelajaran sastra di pesantren juga tentunya dapat mengembangkan potensi yang dimiliki para santri melalui banyak kegiatan yang diselenggarakan. Seperti halnya lomba monolog, membaca puisi, pementasan drama, dan sebagainya. Dengan potensi yang mereka miliki, mereka dapat mengembangkan sastra yang ada di Indonesia dengan nilai keislaman di era milenial.

Multi-Page

One Reply to “Sastra Pesantren di Era Milenial”

Tinggalkan Balasan