Santri yang Tak Kenal Kiai

7,553 kali dibaca

Coba seumpama ditanya, mana yang lebih Anda kenal, Felix Siauw atau KH Ishomuddin? Mana yang lebih Anda kenal, Hanan Attaki atau Gus Afifudin Dimyati? Mana yang lebih Anda sering dengar ceramahnya, Ustadz Abdul Shomad atau KH Ma’ruf Khozin? Atau, yang terakhir, pilih mana, KH Abdulloh Gymnastiar alias Aa Gym atau KH Bahauddin Nursalim?

Pertanyaan-pertanyaan itu, apabila dijadikan kuesioner dengan objek masyarakat umum, kira-kira mana yang lebih banyak jawabannya? Yah, Anda mungkin sudah bisa menebak.

Advertisements

Faktanya, masyarakat awam, khususnya generasi milenial, lebih mengenal Felix Siauw daripada Gus Ishom, meski keilmuannya jauh di bawahnya; lebih paham dengan suara khas Hanan Attaki ketimbang Gus Awis Jombang (bahkan disebut daerah pun belum tentu ada yang tahu); dan, yang terakhir, sudah pasti mengidolakan Aa Gym dan Ustadz Shomad dari pada KH Maruf Khozin. Kalau untuk Gus Baha masih mendinglah; cukup masyhur namanya.

Kenapa kok demikian? Kiai-kiai kita yang lebih ‘alim, ahli kitab, lulusan pesantren, bisa kalah tenar dibanding ustadz-ustadz sebelah? Kira-kira begini penjelasannya.

Masyarakat awam yang belum sempat merasakan nikmatnya mengaji di pondok pesantren pada akhirnya tiba masanya mereka haus akan ilmu agama. Dan, untuk bisa memenuhi rasa hausnya itu, maka manalagi tempat majelis paling mudah didatangi selain Youtube dan Google. Atau, mereka menjadikan Facebook dan Instagram sebagai wasilah dalam mengaji dan memahami ilmu agama.

“Ngustadz” Sosmed

Nah, di sinilah anehnya. Kok, ya, algoritma Youtube dkk “rohimahulloh” itu lebih sering memunculkan nama-nama “ustadz sebelah”.

Coba saja searching tentang hokum. Misalnya, bagaimana hukumnya mandi kalau bla-bla-bla; bagaimana hukumnya sholat dengan bla-bla-bla; bagaimana hukumnya merayakan hari… bla-bla-bla. Pasti yang muncul adalah pendapat mereka itu tadi: Ustads Abdul Shomad, atau Adi Hidayat, Hanan, Basalamah, bahkan sampai Yazid Jawas.

Pernah saya ngobrol dengan tukang potokopi sewaktu ngampus. Petugasnya seorang laki-laki seumuran saya, tapi maaf masih ganteng saya.

“Sampean dari pondok ya mas,” tanya si mas tukang potokopi.

“Oh, iya,” jawab saya ketus.

Lalu dia cerita panjang lebar, dan pura-pura saja saya dengarkan. Cuma saya jawab iya-iya, biar cepat urusan fotokopi.

Tapi kemudian, kok, tiba-tiba dia ngomong, “Itu, lo, mas, saya kok suka dengar ceramahnya ustads muda itu, lo, yang ngomongnya enak banget didengar.”

Saya yang semula bodo amat, ya jadi penasaran. Siapa sih yang dimaksud? Lalu dia kasih ciri-ciri ustadz yang dimaksud. “Yang dari Bandung kayaknya itu,” katanya sambil utak-utik mesin yang sepertinya macet.

“Oh yang pakai topi lentur kayak karet nutup jidat itu, to?” jawab saya.

“Oh, ya, mas,” katanya sambil tersenyum. Entah kenapa dia kok tak peka disindir.

“Yang sukanya nyebut-nyebut hijrah-hijrah itu bukan? (hijrah ke Israel ?),” yang dalam kurung cuma saya batin.

“Oh iya, benar mas. Sampean juga sering dengar to? Bagus ya ceramahnya?”

“Hmm…, Hanan Attaki, bukan,” kata saya.

“Uh iya, benar, mas.”

Damn it, saya juga disangka suka ceramahnya. Tuduhan yang baik, tapi rasanya seperti disuudzoni.

Terus saya memmbatin, wong sampean itu lo punya kiai kampung, kenapa kok malah nonton ustadz Youtube. Saya paham karena di daerah sekitar kampus saya basisnya NU, dan desa tempat si masnya tinggal itu juga banyak kiai dan gus gus yang ‘alim, ahli agama; tapi kok malah idolanya Kanan Attaki. Hadehh….

Sanad Ilmu

Satu cerita lagi. Di rumah pernah ada geger gara-gara masalah bacaan ba’da tahiyat. Saat ada kiai kampung mengisi ceramah di pengajian emak-emak, beliau menyampaikan tentang kesunnahan bacaan ba’da tahiyat sebelum salam.

Usai pengajian, lha kok ya aneh-aneh, para ibu itu yang entah dari mana sumbernya, berkasak-kusuk yang intinya tidak setuju dengan apa yang disampaikan sang kiai. Berikut ppercakapan mereka.

“Memang ada to bacaan itu. Setahuku habis tahiyat ya sudah, tinggal salam. Tak pakai bacaan-bacaan.”

“Iya, Bu, benar. Setahuku juga tak ada tuh. Malah bid’ah itu kalau ditambah-tambahkan.”

Pada akhirnya, itu menjadi bukti bahwa masyarakat kurang bisa menghormati kiai kampung yang ada di daerahnya. Entah apa karena kenal kehidupan sehari-hari mereka sehingga kurang diajeni, sementara yang biasa dilihat di layar, di dunia maya, karena jarang bertemu dan tampak lebih powerful, perfecto, jadi lebih dipuja, diidolakan.

Yang payah, kalau kemudian setelah melihat ustadz-ustadz di Youtube, mereka berpandangan, “Kok, kayaknya enak ya bisa ceramah?”

Lebih parah lagi, kalau kemudian mereka yang tentu bukan pakemnya untuk berbicara tentang agama, mendadak “ngustadz”, merasa bisa dan layak untuk berceramah, dan orang lain dianggapnya jahil dan sesat sehingga perlu ia luruskan. Ribet, kan, jadinya. Orang lain bukannya semakin cinta, justru semakin menjauh dari agama. Sebab, sifat kaku dan kasar si pemeluknya itu.

Belajar agama memang tak bisa disamakan dengan belajar ilmu umum. Kita mungkin boleh membaca buku tentang ilmu kedokteran selama sehari semalam sampai paham, belajar ilmu robotika selama satu waktu, memahami ilmu astronomi lalu menelaah sendiri, mungkin saja kita akan benar-benar paham dan menguasai ilmu itu.

Tapi, untuk membaca satu kitab agama, bahkan untuk satu ayat saja dari firman Tuhan, satu hadist saja, tidak bisa serampangan. Perlu bimbingan secara ta’aqquli. Harus melalui perantara seorang guru secara langsung, yang tidak hanya menyampaikan dengan lisan, tapi batinnya pun harus sambung dengan sang guru. Sehingga, benar-benar bisa memahami makna dan maksud sebuah ayat. Itulah satu keistimewaan ilmu agama yang tidak dimiliki cabang ilmu mana pun: sanad keilmuan.

Seperti yang dikatakan Abdulloh Ibn Mubarak ra. “Al isnaadu minaddiin, falaulal isnaad, laqoola man sya’a maa syaa’a.”  Artinya, Sanad keilmuan itu bagian dari pada agama. Kalau tidak ada sanad dari guru ke guru, maka siapa pun akan berbicara apa pun.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan