Santri, Sastra, dan Terapi Mental

1,853 kali dibaca

Secara etimologi, sastra berasal dari Bahasa Sanskerta, yaitu shastra, artinya melek huruf, penuntut ilmu, dan pelajar. Kemudian muncul istilah kesusastraan yang berasal dari “su” yang artinya indah dan “sastra” yang artinya karya (tulis, lisan, dan lainnya). Secara umum, sastra adalah sebuah karya seni yang indah mewujud di sekitar kehidupan manusia.

Pesantren adalah tempat para pencari ilmu (agama, khusunya) di dalam sebuah area. Santri, secara khusus, adalah mereka yang mendiami sebuah pondok pesantren untuk menimba ilmu pengetahuan secara umum. Sedangkan, sastra pesantren erat kaitannya dengan literasi yang mempunyai ciri khas pesantren, yaitu pengetahuan agama (Islam) dan sarana kitab-kitab pengajaran yang biasa disebut dengan kitab kuning.

Advertisements

Tidak dapat dimungkiri bahwa di pondok pesantren mengalami perkembangan yang sangat pesat terkait sastra. Terutama, sastra yang berkaitan langsung dengan karya tulis (literasi) maupun karya sastra lainnya seperti lahirnya theater dan sanggar sebagai tempat untuk aktualisasi diri.

Sastra Menurut Para Ahli

Sastra adalah ungkapan ekspresi manusia berupa karya tulisan atau lisan berdasarkan pemikiran, pendapat, pengalaman, hingga ke perasaan dalam bentuk yang imajinatif, cerminan kenyataan atau data asli yang dibalut dalam kemasan estetis melalui media bahasa. Pengertian ini diperkuat oleh Sumardjo & Saini (1997: 3) yang berpendapat bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Mursal Esten (Esten, 1978: 9) berpendapat bahwa sastra adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia dan masyarakat umumnya, melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek positif terhadap kehidupan manusia.

Panuti Sudjiman mengatakan bahwa sastra merupakan karya lisan atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapanya (1990 : 68). Penekanan terhadap indah dan orisinil dimaksudkan sebagai sebuah karya satra yang harus mengedepankan etika tanpa adanya plagiasi yang mendorong kepada kemunafikan. Karya diri sendiri akan mencerminkan kecerdasan dalam memanfaatkan logika imajinasi yang dicintai oleh yang di atas maupun yang di bawah.

Menurut Ahmad Badrun, kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan simbol-simbol lain sebagai alat untuk menciptakan sesuatu yang bersifat imajinatif (1983: 16). Imajinasi tidak terbatas pada khayalan semata, tetapi terkait dengan kapabilitas penulis, untuk membangun nuansa keindahan karya agar diterima pembaca dan mudah dimengerti.

Lebih jelas, Sumardjo dan Saini mengatakan bahwa sastra adalah segala bentuk literasi baik yang bersifat imaji maupun realita untuk memberikan warna kehidupan. Sastra dapat bersifat fiksi dan non-fiksi. Berikut tabel sastra menurut Sumardjo dan Saini:

Tabel sastra
Tabel sastra menurut Sumardjo dan Saini

Realita Sastra Pesantren

Sastra pesantren dalam beragam bentuknya —hikayat, serat, kisah, cerita, puisi, roman, novel, syiir, nadhoman— adalah buah karya orang-orang pesantren dalam mengolah cerita, menulis-ulang hikayat, hingga membuat karya-karya baru, baik lisan maupun tulisan. Sastra pesantren merupakan realita literasi yang dilakukan oleh para santri (dalam arti khusus) bahwa di pondok pedantren kegiatan sastra juga tidak terbatas. Maksud dari tidak terbatas adalah bahwa pada saat ini perkembangan sastra pesantren sangat komprehensif, menyentuh berbagai bentuk sastra yang berkembang pada saat ini.

Menurut KH Musthafa Bisri, yang biasa dipanggil Gus Mus, sastra merupakan makanan sehari-hari para santri. Hal ini disampaikan oleh Gus Mus pada saat pidato kebudayaan Muktamar Sastra 2018 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo pada 2018.

Tidak sedikit sastrawan yang lahir dari kalangan santri. Termasuk, KH Musthafa Bisri juga sebagai sastrawan yang mempunyai lembaga pesantren. Menurut Gus Mus, KH Abdul Hamid Pasuruan dan Kiai As’ad Syamsul Arifin adalah sastrawan yang lahir dari kalangan santri. Tetapi, keduanya (Kiai Hamid dan Kiai As’ad) lebih menonjol kewaliannya daripada kesastraannya.

Sastrawan pesantren lainnya adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Menurut Gus Mus, Kiai Hasyim Asy’ari selalu membuat syair ketika terjadi beda pandangan atau khilafiyah di dalam suatu persoalan. Hal ini dimaksudkan agar para santri tidak mengambil pemahaman secara langsung. Hanya santri-santri tertentu (memahami perbedaan pendapat) yang mengetahui perbedaan tersebut.

Sastra di pesantren bukan sesuatu yang asing. Bahkan sastra dapat ditemukan di segala aktivitas santri, seperti pada saat dzikir sebelum salat jamaah, di kelas-kelas normatif semisal ilmu nahwu dan fiqih yang dimuat berupa karya nadhom, dan lain sebagainya. Jadi, realita sastra pesantren sudah lahir sejak pesantren itu didirikan.

Sastra dan Terapi Mental

Secara umum, membaca memberikan efek positif terhadap kesehatan mental. Dalam sebuah penelitian di sebuah distrik di Inggris membuat suatu skema bahwa dokter spesialis dan psikiater memberikan rekomendasi buku bacaan tertentu (sastra) untuk dibaca oleh para pasien. Dengan cara tersebut, terdapat kesimpulan bahwa membaca buku tertentu memberikan efek positif terhadap kesehatan seseorang.

Aristoteles pun menganggap sastra memiliki manfaat penyembuhan dan membaca fiksi adalah cara mengobati penyakit. Jadi, membaca sastra tertentu akan berdampak signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental. Bahkan konsep ini telah diketemukan sejak 300 SM. Pada masa itu prasasti yang berisi bacaan-bacaan tertentu memberikan efek terapi sehat bagi seseorang yang mempunyai masalah kesehatan. Hakikatnya, terapi membaca buku sastra untuk kesehatan telah diketahui jauh sebelum permasalahan ini menjadi diskusi kita bersama.

Tentu saja kita harus selektif dalam memilih buku bacaan. Tidak semua buku bacaan (bahkan sastra sekalipun) dapat dijadikan terapi dalam persoalan kesehatan. Karena tidak sedikit buku-buku bacaan yang memuat konten negatif. Maka, buku-buku semacam ini sangat tidak direkomendasikan untuk dijadikan bahan bacaan untuk terapi mental.

Jauh lebih dari sekadar membaca, membuat karya sastra juga memberikan efek baik terhadap kesehatan. Karena realitasnya, seorang penulis juga harus seorang pembaca. Menulis secara otomatis juga membaca, setidaknya karya yang mereka tulis. Tetapi dapat dipastikan, seorang penulis juga seorang pembaca yang baik.

Berikut bukti-bukti empiris yang menyatakan bahwa sastra memberikan efek positif bagi penikmatnya. Seperti Asrul Sani, seorang sastrawan, sutradara, dan penulis skenario film, lahir di Sumatra Barat, 10 Juni 1927 dan meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004 pada umur 76 tahun. Sapardi Djoko Damono, seorang profesor dan pujangga berkebangsaan Indonesia, lahir di Surakarta, 20 Maret 1940 dan meninggal di Kota Tangerang Selatan, 19 Juli 2020 pada usia 80 tahun.

Pramoedya Ananta Toer, secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Lahir di Kabupaten Blora, 06 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada usia 81.

Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi HB Jassin adalah seorang pengarang, penyunting, dan kritikus sastra berkebangsaan Indonesia. Lahir 31 Juli 1917, di Gorontalo dan meninggal  11 Maret 2000, di Jakarta pada usia 82 tahun.

Setelah memperhatikan kehidupan para sastrawan Indonesia, yang produktif hingga akhir hayat dalam usia yang cukup lanjut, menjadi bukti empiris bahwa sastra merupakan sarana efektif untuk kesehatan fisik dan mental. Oleh karena itu dapat dijadikan alternatif bagi seseorang yang mempunyai permasalahan kesehatan untuk menikmati bacaan buku sastra demi memberikan efek positif dalam kehidupan.

Membumikan Satra, Melangitkan Karya

Saatnya kita membumikan sastra agar karya ini mendapat tempat yang layak di dalam kehidupan. Karena stereotip saat ini, sastrawan masih dipandang sebagai profesi yang kurang memberikan harapan. Sastrawan (menulis sastra) hanya dijadikan kerja sampingan bukan sebagai kerja profesional.

Meskipun sudah banyak sastrawan yang telah berpenghasilan layak, namun sampai detik ini job ini belum menjadi pilihan banyak orang. Atau dengan kata lain, tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa menulis, termasuk menulis sastra, hanya untuk orang-orang tertentu saja.

Menjadi kewajiban kita bersama untuk membumikan sastra dan melangitkan karya. Karya tulis secara umum, tidak serta merta menjadi layak dibaca dalam waktu singkat. Harus melewati proses yang tidak sederhana, dan memerlukan waktu yang tidak sedikit. Diperlukan upaya dan komitmen yang kuat dari diri kita masing-masing.

Ke depan kita dihadapkan dengan kemajuan teknologi yang cukup pesat. Teknologi ini kita dapat jadikan sarana untuk membumikan sastra dan melangitkan karya. Karya sastra yang positif akan memberikan hikmah yang luar biasa, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang banyak. Aamiin!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan