Santri itu Bernama Sonhaji

816 kali dibaca

Pagi itu di bawah pohon trembesi, di sebuah gubuk bambu yang cukup reot ia berkisah tentang Susuhunan Ngampel. Katanya, Sang Sunan dulu memiliki tujuh orang murid, semuanya cerdas kecuali satu orang. Dia bernama Sonhaji. Tapi, bukan berarti Sonhaji ini—kelak lebih dikenal dengan nama Mbah Bolong—tak memiliki fadhol (kelebihan) sama sekali. Tunggu dulu.

Begitulah, di pondok ini kami biasa bercengkrama barang sebentar sambil menandaskan secangkir kopi. Dan tahukah kalian, pagi hari—meskipun tak setiap pagi—yang datang dan kemudian dilewati dengan ditemani seseruputan kopi adalah sebuah kenikmatan yang mesti disyukuri. Ya, mesti disyukuri. Kalian tak percaya? Kemarilah, akan kutunjukkan cara bersyukur kami yang sederhana ini.

Advertisements

Semua bermula ketika saat itu santri bernama Udin mentahbiskan diri sebagai abdi dalem pak kiai. Setiap habis subuh ia ditugaskan untuk belanja keperluan pesantren—yang tak begitu banyak mengingat jumlah santri yang hanya beberapa orang saja. Setelah menyelsaikan tugasnya, Udin biasa ikut nimbrung di gubuk bambu Pakdhe Mudi yang letaknya tidak terlalu jauh dari pondok. Sembari menikmati barang sebentar suasana pagi perdesaan yang berdekatan dengan lahan pertanian, Udin biasa mendengarkan cerita dari Pakdhe Mudi tentang apa pun. Kadang diselingi dengan guyonan dan tentu ada wedang kopi juga di situ.

Di tengah gurauan dan tawa itu Pakdhe Mudi berkisah pada Udin. Kisah yang barangkali para pembaca sekalian sudah pernah mendengarkan. Tapi tak apa, bukan masalah sudah pernah atau belum. Ini lebih cenderung mengajak untuk menepikan sejenak ego-intelektual dan merekatkan ikatan sahaja seduluran yang dipenuhi kemesraan saja. Jadi mari mendengarkan Pakdhe Mudi berkisah.

Lanjut Pakdhe Mudi, satu santri Sang Sunan yang bernama Sonhaji tadi, usut punya usut, memiliki kebiasaan yang ternyata tak dimiliki keenam santri pintar lainnya. Kebiasaan istimewa Sonhaji itu bisa jadi disebabkan kecenderungan orang pintar itu lebih suka untuk rajin sinau, maka Sonhaji pun memafaatkan celah itu untuk lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan membersihkan masjid Sang Sunan. Inilah jalan yang dipilih oleh Sonhaji guna mengimbangi teman-teman santri lainnya.

Karena tekad Sonhaji yang kuat, dan didasari dari mengenal kesalehan diri sehingga ia mengenal pula kesempatan untuk meningkatkan diri, ia teguh dan disiplin menjalankan laku membersihkan masjid.

Ketika ia melihat teman-temannya rajin sorogan, ngaji, dan wiridan, ia pun bertambah semangat untuk mengabdikan diri di bidang yang ia sanggup lakukan. Begitulah, dari kisah Sonhaji ini kita mungkin sedikit tergelitik dengan caranya yang memilih untuk mengambil jalan memutar atau jalan lain.

Betapa jika setiap orang mau mencari dan menyadari potensi masing-masing, niscaya hidup akan dipenuhi harmoni yang saling melengkapi. Bukan malah terjebak dalam ego untung-rugi dan tak silap akan kasta-kasta. Toh kehidupan lebih membutuhkan kebergunaan-kebermanfaatan. Bukan malah saling sikut-jegal berebut peran yang diinginkan hawa nafsu semata.

Pakdhe kemudian melanjutkan kisahnya. Suatu ketika, karena dipaksa kewajiban untuk menyempurnakan syariat Islam, Sang Susuhunan meninggalkan murid-muridnya untuk sementara waktu menjalankan ibadah haji. Syahdan, kepergian sang guru membuat hati Sonhaji gelisah dan rindu. Betapa tidak, sang guru adalah alasan paling utama ia lebih bersemangat untuk tetap mondok dan berbakti. Dan kehilangan sang guru lebih mengerikan, menurutnya, daripada kehilangan apa pun.

Sampai suatu ketika, dalam gelisan dan rindu yang menggebu itu, Sonhaji merasa hidupnya hambar setelah ditinggal Sang Sunan. Dalam kebimbangan itu tiba-tiba ia membulatkan tekad untuk menggali lubang serupa liang lahat. Ia memakai kain mori, memejamkan mata dan berkata dalan hati, “lebih baik aku tidur di sini saja sembari menunggu datangnya simbah guru, daripada aku hidup dalam rindu dan kesengsaraan.”

Di tengah suasana sunyi liang lahat yang telah ia buat sendiri itu, tiba-tiba datang sesosok yang mengaku jin dari gunung Himalaya. Bukannya takut, Sonhaji malah menanyainya, “Untuk apa kau ke mari? Pergilah, aku sedang tidak ingin diganggu siapa pun, aku hanya ingin menunggu dan bertemu guruku. Aku rindu.”

Singkat cerita, karena rasa cinta dan pengabdian Sonhaji yang begitu kuat pada Sang Sunan, ia dilimpahi anugrah. Ia dicintai gurunya dan juga dicintai oleh Allah. Karomah kewalian sosok Sonhaji ini kemudian masyhur dan dikenang oleh santri-santri lainnya. Begitulah cerita Pakdhe ketika Udin berkunjung ke gubuk bambu. Semoga santri-santri bisa mengikuti jejak Sonhaji.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan