Santri dan Tanggung Jawab Kebhinekaan

1,259 kali dibaca

Abad-abad di mana budaya Jawa terpusat pada kehidupan keraton dan pedalaman adalah titik pijak yang pada dasarnya membentuk karakteristik sosial itu sendiri. Kita bisa melihat bagaimana perebutan Portugis terhadap Malaka pada tahun 1511. Di mana sebelumnya, dalam catatan Marco Polo, daerah Perlak di Sumatera Utara sudah memeluk agama Islam, lantas di tahun berikutnya 1414 kerajaan Malaka menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat masif. Dengan demikian, Islam sebagai agama dapat dipastikan memberikan nilai-nilai yang sedikit banyak mempengaruhi gerak sosial saat itu.

Bebarengan dengan itu, kemunduran Majapahit mengakibatkan beberapa wilayah pesisir Jawa, bahkan pedalaman Jawa seperti Madiun, masyarakatnya mulai memeluk Islam. Vlekke memberikan satu gambaran bahwa Islam bisa dilihat dari dua sisi. Pertama sebagai bentuk perlawan terhadap Majapahit, dan kedua Islam dianggap sebagai alternatif terhadap keseluruhan pandangan dunia Hindu. Vlekke menyebut bahwa Islam membawa manusia menghadap Tuhan tanpa ada pengantar atau ritual yang ruwet, pun menjadi cara ampuh untuk meruntuhkan hierarki struktur sosial masyarakat Majapahit.

Advertisements

Dari pandangan di atas kita dapat menerka, bahwa Islam adalah sikap yang dipilih untuk kepentingan sosial yang mencakup ragam aspek. Dalam konteks sejarah, kita tahu bahwa peran-peran keraton atau kerajaan dalam memandang Islam, baik untuk kepentingan social ataupun untuk kepentingan personal, dalam hal ini kegiatan-kegiatan religius sebagai sarana untuk menambah tenaga batin atau kekuatan gaib yang mereka miliki, memberi gambaran bahwa Islam bukan dibatasi pada koneksi ketauhidan semata, melainkan aspek-aspek kepentingan sosial pun anggota keraton.

Lantas bagaimana dengan pesantren? Di mana pesantren seperti pada tulisan-tulisan sebelumnya, adalah wadah edukasi Islam yang multidimensi. Sehingga santri, sebagai warga pesantren, memiliki cakupan yang lebih luas dan leluasa dalam menjalani kehidupan yang beragam ini.

Seperti halnya tradisi NU ataupun Muhammadiyah yang sama-sama bergerak dari dalam pesantren, yang memiliki cara pandang yang luwes di ranah sosial. Keberpihakan ini justru menepis anggapan bahwa santri berbedadengan kelompok masyarakat sosial lainnya. Di mana dikatakan, jika masyarakat yang hidup di pesisir atau di pedalaman yang masih erat dengan tradisi-tradisi warisan leluhur disebut abangan, maka mereka yang belajar di pesantren atau di surau dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya disebut “putihan”, dan tidak diperkenankan untuk berbaur dengan masyarakat yang beragam. Maka perlu ada reorientasi dalam pendidikan pesantren itu sendiri. Hal ini memicu polarisasi.

Pada abad ke-16, misalnya, kemudian muncul anggapan bahwa Islam sebagai agama baru mampu mempengaruhi gerak perkembangan sosial politik baik di dalam maupun di luar Nusantara. Hal ini menjadikan Belanda bersikap dengan mengeluarkan kebijakan untuk pembatasan haji.

Albertus J. Duymaer Van Twis adalah tokoh di balik penetapan dan pencabutan resolusi tersebut. Ricklefs dalam penelitiannya memang bahwa Islam memang anti-kolonial. Ia juga menyebut dalam penelitiannya tentang hierarki masyarakat Jawa yang oleh Geerzt dikategorisasi sebagai santri, priyai, dan abangan.

Namun, tesis bahwa kaum priyai lebih cenderung untuk mengembangkan pola kehidupan keagamaan yang lebih bersifat kejawen daripada memilih menjadi santri dibantah oleh D.K. Emmerson dalam India’s Elite: Political Culture and Cultural politics. Dikatakan bahwa, walaupun Belanda sebagai subjek pembatasan-pembatasan, terutama kepada warga pemeluk Islam, pada kenyataannya Islam justru menjadi daya tarik utama sebagai wadah perjuangan melawan kolonialisme selama tiga abad.

Sementara itu, polarisasi santri dan abangan masih terus menyimpan permasalahan tersendiri. Di mana abangan dalam ragam stigma masih menuai penilaian miring. Berbeda dengan santri. Namun, sejauh ini, ketika abangan dianggap sebagai agama, maka ada pengaburan tradisi keberagaman di mana tradisi pesantren dapat masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan sosial. Pengaburan ini berangkat dari proyeksi masa lalu, bahwa ke depan Islam akan menjadi agama yang terpetakkan, baik secara nilai atau tradisi religiusnya.

Oleh karenanya, santri atau warga pesantren perlu membuka lebih luas dan lebar lagi proyeksi pembauran dengan kondisi sosial yang terus berkembang. Berangkat dari pemahaman rahmatan lilamin, maka polarisasi santri, priyai, dan abangan sejatinya justru menjauhkan dari konteks rahmatan lilalamin itu sendiri. Mengapa? Karena semakin banyak polarisasi-polarisasi, maka bukan keberpihakan atas kemanusiaan atau kepentingan sosialnya, melainkan kepentingan kelompok, fanatisme, dan pengkultusan-pengkultusan.

Pada hakikatnya, sikap sosial juga menjadi tanggung jawab santri untuk turut menjaga negeri ini agar tetap mamayu hayuning bawana, tata tenterem karta raharja, baldatun tayyibun warabbun gafur. Oleh sebab itu, santri, berangkat dari bagaimana akulturasi budaya yang menjadi sikap sosial religius para wali saat itu, maka perlu adanya permenungan kembali atas pilihan sikap sosial yang harus dimiliki oleh setiap santri. Tujuannya untuk apa? Yang paling jelas adalah menjaga kemanusiaan dan keberagaman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan