Santri dan “Ngalap Berkah” Kiai yang Dipandang Feodal

3,559 kali dibaca

Bagi para santri, kiai adalah simbol keteladanan dalam bertauhid dan berjihad dalam jalur ilmu. Oleh sebab itu tidak jarang jika santri memiliki sifat tawadhu’ yang sangat luar biasa kepada kiai. Namun, jika dibenturkan dengan pengetahuan empiris, tentu saja hubungan santri dan kiai tersebut akan terkesan vertikal dan sangat feodal. Namun bagi saya, pengetahuan modern tidaklah bisa menampung semua aspek ilmu Allah dan belum bisa menguraikan konsep “berkah” sehingga banyak sekali lelaku santri kepada kiainya yang disalahartikan dan terkesan dipaksakan untuk memenuhi ruang ilmu modern.

Ngalap berkah, pasti santri mengetahui betapa berharganya “perlombaan” itu. Santri rela berlari-larian untuk merebut kopi kiai yang masih tersisa di gelas. Santri rela sikut-sikutan untuk mendapatkan sisa air putih dari gelas kiai. Santri juga rela berdesak-desakan untuk mencium tangan kiai dan berlama-lama memegang tangan kiai. Ada apa sebenarnya dengan pendidikan pesantren ini, kok kelihatannya berbeda dengan penuntut ilmu modern. Sepertinya ada ruang kosong yang tidak dimiliki penuntut ilmu modern yang jauh dari budaya luhur ini.

Advertisements

Ngalap berkah, atau mencari berkah, memang dari perlombaan untuk mencari berkah yang sudah saya sebutkan tadi terkesan seperti “merepotkan diri sendiri”. Untuk apa harus saling mendahului dan rela mengeluarkan tenaga hanya untuk meminum sisa minuman kiai dari gelas atau hanya untuk mencium tangan kiai? Bagi kaum kontemporer dan sekuler, mungkin hal itu adalah hal yang aneh. Namun perlu kita ketahui bahwasannya ngalap berkah adalah fenomena budaya Timur yang sanadnya juga tersambung ke sahabat radhiallahu ’anhu.

Budaya di pesantren memang bukan sekadar menuntut ilmu, melainkan budaya memupuk dan menghidupkan lelaku yang siap untuk menghadapi jagat raya dengan sifat yang rahmatan lil ‘alamin. Sifat tawadhu’ kepada guru atau kiai adalah kemutlakan dan merupakan sebuah adab. Apakah kita pernah mendengar tentang kisah Sahabat Rasulullah, Khalid bin Walid, yang pada saat perang ia menjatuhkan topi perangnya. Lalu ia merasa tidak konsentrasi dengan peperangan dan mengutuskan prajurit untuk mencari topi itu. Prajurit yang bingung itu kemudian bertanya, “Apa istimewanya topi itu sehingga engkau tetap berusaha mencarinya?”

Sambil memegang erat topi perangnya, Khalid menjawab, “Topi ini tidak berharga sama sekali. Namun, ada sesuatu yang berharga yang terdapat di dalamnya.”

Prajurit bertanya lagi. “Apakah gerangan yang terdapat di dalam topi itu?”

“Di dalam topi ini terdapat beberapa helai rambut mulia milik Rasulullah. Keberkahan dari beberapa helai rambut itulah yang membuat Allah senantiasa memberikan kemenangan kepadaku dalam setiap pertempuran.”

Seperti yang sudah saya sebutkan, bahwa lelaku ngalap berkah ini sanadnya tersambung hingga ke masa sahabat. Tidak ada yang janggal dan ganjil dalam perilaku yang demikian. Tapi tentu saja, mungkin kaum intelektual kontemporer masih bersikukuh bahwa budaya feodal masih berlaku di dalam pesantren.

Bagi saya pribadi, terserah stigma apa pun yang digambarkan oleh pihak lain, kiai tetap menjadi simbol ketawadhu’an dan ilmu yang bersanad. Sehingga tentu saja berebut air dari sisa minum kiai menjadi hal yang patut disebarkan ke yang lain bahkan dunia, karena ada banyak kebaikan di dalamnya. Kaum intelektual yang memberi lambang feodal pada tingkah laku santri di pesantren hanya bisa melihat semua sisi secara empiris. Empiris berarti bahwa semua data harus bisa dijelaskan dengan hal yang masuk akal dan berteori. Sedangkan, mencari berkah dengan mencium tangan kiai tidaklah empiris. Mencium tangan kiai melebihi jangkauan ilmu manusia. Kami, santri, hanya mengetahui bahwa tangan yang kami cium adalah tangan yang senantiasa memegang kitab dan digunakan dalam kebaikan. Air minum sisa dari kiai yang ada di gelas, adalah dari mulut seorang hamba Allah yang senantiasa berdzikir dan mengingat Allah, pasti dalam mulutnya selalu ada kebaikan dan keberkahan.

Tentu saja hal yang demikian tidak kami lakukan untuk sembarang orang. Kami, santri, tidak meminum air dari sisa minum pejabat atau pengusaha. Kami, para santri, tidak berlomba mencium tangan dari seorang kaya raya. Kami mengetahui naluri hati kami, bahwa yang berhak dan patut untuk didapatkan adalah berkah Allah melalui kiai yang setiap harinya mengajarkan ilmu Allah kepada kami.

Lantas, di mana salah santri jika kesopanan dan adab Timur diperdebatkan? Dan yang paling menyedihkan, jika konsep berkah saja tidak bisa dijelaskan oleh kaum intelektual yang memuja empirisitas, lalu bagaimana mereka bisa mengklasifikasikan kami sebagai pelaku feodal?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan