Santri dan Jurang Media Sosial

926 kali dibaca

Era digital cukup massif menyerang generasi muda, termasuk dalam kehidupan di pesantren. Di mana setiap orang diajak untuk selalu menampilkan aktivitas dan pola kehidupan yang ada di masyarakat lewat media sosial. Tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa nilai Pancasila semakin tergerus dengan ketidakmampuan kita dalam mengatur dan membendung arus informasi. Lihat saja pada perilaku egoisme, antisosial, sikap individual, hedonis, dan perilaku yang tidak mencerminkan nilai-nilai luhur atas dasar Pancasila.

Dampak dari media sosial sudah tidak bisa kita simpan rapat di saku kebangsaan. Tapi, setidaknya kita belum terlambat. Dalam hal ini, peranan santri sangat dibutuhkan, terutama dalam menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang sudah lama tumbuh subur di pesantren. Misalnya, bagaimana santri harus bersikap santun, hormat, tidak gegabah dalam menerima informasi yang sumbernya belum jelas keabsahannya, dan menghargai setiap perbedaan yang lahir dari pemikiran di luar kelompoknya.

Advertisements

Santri juga harus bisa memanfaatkan media sosial dengan baik, sebisa mungkin lebih open minded untuk menyikapi setiap problem dan perubahan yang mengarah pada gesekan individu maupun kelompok.

Hal ini bisa dilakukan dengan cara aktif di media sosial, lewat akun dan platform sosial media dan website yang menyuarakan konten positif. Semacam ceramah dan diskusi yang ada di pesantren juga ditampilkan secara live, membentuk narasi-narasi yang mengarah pada kesatuan dan sikap toleransi. Sehingga sampah intoleran, radikalisme, dan sikap konservatif bisa diimbangi dengan narasi-narasi yang lebih adem, damai, dan penuh kebaikan.

Dari sini, sikap kritis santri begitu dinanti dan dibutuhkan. Sikap gegabah dalam artian mudah terpancing untuk ikut arus radikal dan intoleransi yang juga menjadi kepanjangan tangan dari berita hoax bisa diantisipasi. Namun perlu kita ingat bahwa untuk terjun dalam peperangan media sosial, santri tetap diwajibkan merujuk kepada teks dan konteks yang sudah dipelajari di pesantren. Ini diperlukan supaya tidak terjebak pada perilaku yang justru tidak mencerinkan nilai-nilai santun, kebersamaan, tawadhu, dan kebaikan.

Saat ini, pesantren tidak hanya berada dalam pusaran regional-based curriculum yang lebih cenderung mendambakan sikap jauh di langit, tetapi juga mencoba menghadirkan kurikulum yang menyentuh fenomena sosial masyarakat secara langsung (society-based curriculum). Dengan itu, kehidupan pesantren bukan lagi dijadikan sebagai basis pendidikan yang hanya berkutat dalam lingkaran kesucian teologi, tetapi sudah sepatutunya hadir dalam relung dan menjelma fakultas-fakultas sosial, yang perannya nyata dan bisa merespon persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat.

Dalam hal ini, saya mencoba untuk merekomendasikan nilai-nilai pesantren dalam perhelatan dunia virtual, di mana kesadaran seorang santri yang lahir dan besar dalam tradisi pesantren mempunyai beban moral sosial dalam kehidupan media sosial.

Kita tentu masih ingat adigum al-muḥâfaḍatu ’alâ al-qadîmi al- ṣhâlih wa al-akhdu bi aljadîdi al-aṣlah yang sering didengar saat pengajian dan diskusi di emper masjid, atau bahkan ditempel di depan kamar santri. Di sinilah sebuah harapan akan perubahan dalam tradisi pesantren diharapkan. Tentu, sekali lagi dalam kubangan media sosial, santri hadir dengan membawa nilai-nilai luhur pesantren yang tidak kaku dan menyebarkan kedamaian.

Ahmadi dalam buku Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris (2005), membagi nilai-nilai pesantren menjadi dua bagian. Pertama, nilai-nilai yang memang banyak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan Hadis. Di antarnya adalah ajaran akhlak yang meliputi akhlak dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia, dan alam.

Kedua, nilai-nilai universal yang mana sesuai dengan fitrah manusia yang membutuhkan cinta kasih, mengaharap keadilan, demokrasi, HAM, dan juga kemanusiaan. Pendidikan pesantren di sini sangat dibutuhkan untuk merambah semua kalangan, melintasi ruang dan waktu, sehingga santri tidak hanya menjadi subjek yang bermanfaat untuk diri sendiri dan kalangannya, tetapi menjangkau masyarakat umum.

Dengan demikian, dalam proses pendidikan pesantren, santri diharapkan bisa menemukan jalan yang mampu menghidupkan kembali tujuan pendidikan agama sebagai rahmatan lil ‘alamin. Pendidikan agama untuk kebersamaan dan toleransi, mengawal moralitas umat manusia, serta menjadi spirit dalam menggali keilmuan sesuai dengan penkembangan dan tuntutan zaman.

Santri hadir dalam realitas sosial yang sudah bergeser ke ruang virtual, menjadi penyeimbang dan menawarkan kearifan dan membentengi hiruk-pikuk ketegangan akibat kurangnya sikap kritis atas berita yang hadir di media sosial.

Referensi:
Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Musthofa Rembangy, M.SI, Pendidikan Transformatif; Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Yogyakarta: Teras, 2010.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan