Santri dan Ancaman Intoleransi Keberagamaan

957 kali dibaca

Secara garis besar, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Indikasinya dapat dilihat dengan menjamurnya organisasi masyarakat atau Ormas dengan keislaman sebagai ruh gerakan. Semua itu tidak lepas dari agama Islam sebagai mayoritas.

Namun, di Indonesia juga hidup beragam agama. Di tengah heterogennya agama, budaya, dan kultur, Indonesia menjadi alasan untuk dapat disebut sebagai negara yang sangat majemuk. Kendatipun begitu, kenyataan ini acapkali dihadapkan pada sebuah persoalan, salah satunya yang erat hubungannya dengan agama itu sendiri.

Advertisements

Hal ini bisa dilihat dari maraknya kaum-kaum Islam kanan, yang memobilisasi pemurnian ajaran Islam. Seolah-olah ajarannya yang paling benar di setiap sikap maupun pernyataan yang dilontarkan ke publik. Padahal pemikirannya sangat inkonstitusional dan terkesan tekstualis dalam menyikapi persoalan yang berbau agama. Buktinya, gerakan Islam kanan, seperti HTI dibubarkan oleh pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2017 karena dianggap menabrak benteng ideologi bangsa, yakni Pancasila.

Persoalan yang kerap kali digiring dalam urusan agama, yakni perbedaan pandangan dalam beragama yang mengarah ikhwal teologi. Padahal, sebenarnya itu adalah hak masing-masing sebagai rakyat Indonesia, sebagaimana amanah UUD 45 dalam Pasal 28E ayat 1 dan juga sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 256. Adanya perbedaan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik antaragama dan sesama Islam itu sendiri.

Contoh kecilnya ketika tahun baru Masehi. Beberapa golongan umat Islam melarang bahkan seorang muslim lain untuk mengucapkan Selamat Hari Natal pada umat Kristiani, karena berbeda agama dan keyakinan. Padahal, dalam Islam kita ketahui banyak sekali hasil ijtihad para ulama yang berbentuk fatwa, walaupun hasilnya berbeda dari ijtihad tersebut. Dengan begitu, semestinya harus lebih dewasa dalam beragama agar tidak memunculkan embrio intoleransi -bahkan memunculkan sikap takfiri — hanya karena ketidakpahaman dalam memahami hukum dalam Islam.

Justru hal seperti ini, jika dibiarkan nantinya akan menimbulkan sikap intoleransi di kalangan umat beragama. Maka dari itu perlu ada satu benang merah untuk menengahi persoalan yang terus-menerus terjadi. Karena masifnya intoleransi merupakan akar dari tidak pahamnya sebuah agama, maka diperlukan adanya institusi yang dapat memberikan pencerahan dalam persoalan agama, yakni pesantren. Di sini, pusat pendidikan yang masih konsisten dan berbasis keislaman adalah pesantren. Maka, seharusnya santrilah yang nantinya dapat mengedukasi publik dalam hal agama.

Santri dan Intoleransi

Pesantren, dari dulu hingga kini dipercaya konsisten dalam mengedukasi para santri di bidang agama. Sehingga tidak heran jika semakin banyak pesantren berdiri, baik atas usulan masyarakat maupun inisiatif tokoh agama di tempat tertentu. Jumlah santri dari tahun ke tahun pun bertambah.

Berdasarkan data statisktik di website Kemenag RI, jumlah pesantren saai ini 27.722 dengan jumlah santri 4.175.555. Ini belum masih terdata secara keselurah, kerena data Kemenag adalah hasil dari pendaftaran setiap pesantren. Ini membuktikan perkembangan pesantren di Indonesia begitu masif. Artinya ada harapan besar bagi negara Indonesia akan adanya regenerasi yang mumpuni dalam bidang ilmu agama. Paling tidak dengan berjuta-juta santri yang terpencar di Nusantara menjadi catatan penting untuk dapat menjawab segala persoalan yang erat hubunganya dengan agama.

Intoleransi belakangan ini terjadi sangat marak. Justru itu juga bagian dari tugas santri untuk tidak lepas tangan. Karena bagaimanapun tidak dapat dimungkiri polemik yang terjadi selalu berangkat dari isu antaragama dan sesama.

Jika persoalan agama tidak diberikan pada ahlinya, dalam konteks ini adalah santri, maka tentunya akan menimbulkan polemik lagi dalam menyikapi cara pandang dalam menyelesaikan masalah itu. Seperti halnya tadi persoalan ucapan Selamat Hari Natal. Semestinya itu tidak terjadi apabila wawasan ilmu agamanya sangat luas, begitu pula sebaliknya.

Cara pandang santri begitu elegan dan komprehensif dalam menyikapi persoalan. Karena kehidupannya sudah terbiasa dengan kondisi perbedaan budaya, kultur, dan daerah. Sehingga tidak merasa terperangkap dalam perbedaan, apalagi perbedaan cara pandang suatu hukum. Untuk itu, tidak berlebih jika santri dikatakan cukup dalam memahami ilmu agama. Karena berada di pesantren dan juga mengerti soal kebangsaaan, karena hidup dalam lingkungan kultur dan budaya yang berbeda.

Tiga Alasan

Ada beberapa alasan bahwa santri harus terlibat dalam persoalan intoleransi. Pertama, santri merupakan dari sekian banyak umat Islam yang mempunyai kesempatan menimba ilmu agama di pesantren. Artinya, jika intoleransi berangkat dari latar belakang agama, maka santri mempunyai peran penting untuk berada di tengah hiruk-pikuk perdebatan soal perbedaan pandangan, apalagi antaragama. Setidaknya santri menjadi alasan penting untuk menjadi rujukan yang sudah dipandang tahu dalam soal agama.

Kedua, santri bagian dari orang yang paham soal kebangsaan, karena ia sudah terbiasa dengan segala perbedaan di pesantren. Sehingga apabila intoleransi akarnya perbedaan, maka santri tidak perlu diragukan lagi untuk menyikapi itu, dan pasti sikapnya lebih bijaksana.

Ketiga, santri dari dulu tidak pernah lepas dari garis perjuangan, apalagi sebelum kemerdekaan, perjuangannya pun dihargai dengan adanya Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2015. Tanggal itu merujuk pada perjuangan kaum sarungan yang terbungkus dalam peristiwa Revolusi Jihad. Jejak itu harusnya menjadi pemantik untuk ikut serta menjaga keutuhan NKRI, khususnya mencegah intoleransi ini.

Hemat penulis, tiga alasan itu setidaknya menjadi sebuah formula sederhana bagi kaum sarungan untuk ikut serta dalam menangkal intoleransi. Agar santri tidak selalu hanya dipandang sebelah mata. Karena sebenarnya santri bisa mengisi di berbagai bidang, sesuai porsinya. Jadi tidak heran apabila seorang santri ada di ruang birokrasi, akademisi, pengamat, dan lainnya. Semua itu menjadi jembatan yang sangat penting untuk bisa dijadikan sarana ataupun sebuah institusi dalam menangkal intoleransi itu sendiri.

Namun, apabila sikap dan tindakannya tidak ada, maka yang menjadi imbasnya adalah keutuhan bangsa Indonesia. Saat ini santri harus benar-benar mengokohkan rasa tanggung jawab sebagaimana cendekiawan muslim. Santri tidak harus berada di posisi pemerintah untuk menerima amanah mengaja NKRI. Walaupun tidak dimungkiri, di saat berada dalam sistem lebih gampang menyelesaikannya, karena sebagai pemangku kebijakan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan