Sandal Jepit

2,248 kali dibaca

Anak itu memandangi sandal jepitnya. Sandal jepit beralas putih, dan bertali biru. Anak itu masih memandangi sandal jepitnya, ada rasa iba terpatri dalam benaknya. Sebab, tampang sandal itu benar-benar tragis. Tak hanya ia, orang-orang yang melihatnya pun akan geleng-geleng kepala berpilu-pilu.

Sandal jepit sederhana dan barangkali berharga murah. Sandal itu sudah tipis tergerus waktu, kumal, dan nyaris putus. Sandal itu memiliki penderitaan, juga kebahagiaan. Derita, sebab tak kunjung dibuang dan hidup tenang. Bahagia, sebab anak itu tampak sangat setia hidup bersama sandal jepit tipis, kumal, dan nyaris putus itu.

Advertisements

“Ramal, ayo cepat! Lama sekali kau berwudhu,” panggil seorang temannya membuyarkan lamunan Ramal pada sepasang sandal yang ia pandangi.

Ia pun bergegas mengambil wudhu. Air mengalir ke beberapa bagian tubuhnya, seolah membersihkan segala dosa kebadungan anak yang baru akil balig. Tapi bukankah anak nakal itu memang sudah biasa, pikir Ramal. Ia tak tahu harus kesal, atau malah berterima kasih, pada sang Bapak. Sang Bapak telah tega membuang ia ke dalam jeruji pondok pesantren.

“Ah, Ramal. Lambat sekali engkau berjalan,” seru temannya lagi. Azan telah berkumandang, tentu mereka tak mau dihukum oleh keamanan pondok sebab datang terlambat. Ramal yang sedari tadi melamun, bergegas menuju teman-teman sepantarannya. Ia berlari kecil, membuat sarungnya agak melambai-lambai seolah diembus angin timuran.

Ia bergabung dengan kawan-kawan. Sembari bersenda gurau, mereka berjalan beriringan tanpa peta menuju rumah Tuhan. Andai aku tak mondok, ucapnya dalam hati. Barangkali, tak kurasakan syahdu perjalanan ini tiap memasuki waktu salat. Dan tak pernah kuberjumpa dengan kawan-kawan berwajah ceria dan sedikit mengesalkan seperti mereka.

Namun, ia juga merindukan kampung halaman, rumah, kawan-kawan di rumah, dan sang Bapak. Ia ingin pulang untuk berjumpa kawan-kawan di rumah, bermain seperti dulu, dan sedikit nakal dengan mencuri mangga tetangga. Ia ingin tahu, seperti apa wajah dan watak kawan-kawan lamanya sekarang.

Selain itu, ingin ia nikmati kemewahan yang tak ia dapati di pondok pesantren. Kenikmatan itu hanya ada di kampung halaman, di rumahnya. Misal, ia dapat makan bersama dengan sang Bapak. Terpancar jelas di mata anak itu, raut wajah seorang tulang punggung keluarga.

Ia berjanji, apabila ia memiliki kesempatan berjumpa dengan sang Bapak lagi, ia takkan nakal dan bandel seperti dulu. Begitu pula yang ia katakan pada sang Bapak, kala pertama kali menginjakkan kaki di halaman pondok pesantren.

“Jangan buang aku di sini, Bapak. Aku janji, aku takkan nakal lagi,” rengek Ramal.

Sang Bapak malah melempar senyum. Senyum itu yang telah menyihir Ramal untuk masuk pesantren. Karena senyum itu, Ramal berhenti merengek. Senyum itu memiliki daya magis, sehingga Ramal dapat bertahan sampai kini di pondok pesantren.

“Sudahlah, tak usah kau menangis. Kau kan seorang superman. Superman tak boleh menangis. Superman harus kuat.”

“Tapi Pak, di TV superman juga bisa menangis.”

“Itu kan superman lemah. Kalau anak ini, adalah superman terkuat sejagat raya,” seloroh Bapak berhasil membuat Ramal cekikikan.

“Pak, Bapak perginya jangan lama-lama ya. Ramal takut, Pak,” anak itu menarik-narik celana Bapak, tatkala sang Bapak mulai berpamitan.

“Bapak takkan pergi lama, Nak. Kau juga enggak akan lama di sini.”

“Serius?!”

“Iya serius.”

“Sungguh?!”

“Iya sungguh.”

“Be…,” belum tandas Ramal berbicara, sang Bapak tetiba menggendong anak itu. Ia meletakkan Ramal di bahunya, sungguh kenangan yang indah. Mereka menghampiri sebuah koperasi pesantren. Beberapa pasang mata santri memang tertuju pada mereka. Namun, mereka tak pernah mengindahkan perihal itu.

Di koperasi itu, sang Bapak membeli sepasang sandal jepit. “Ini kado untukmu.”

Bukan senang, Ramal malah merengut. “Mengapa sandal jepit? Kenapa bukan mainan, baju, atau lainnya yang lebih mahal dan berharga?” tanyanya yang hanya dijawab sunggingan senyum oleh sang Bapak. Kelak ia tahu, sandal jepit itu sangatlah berharga baginya.

Ramal kerap memakai dan merawat sandal jepit pemberian sang Bapak itu. Namun, barang tetaplah barang. Barang takkan awet seperti kenangan. Barang akan lekang pada waktunya. Akan tetapi, setipis-tipisnya dan sekumal-kumalnya sandal jepit itu kini, sandal itu tetap ia pakai.

Ia tak peduli pada sindiran santri-santri lain untuk mengganti sandal jepitnya. Ia tetap bersikukuh memakai sandal itu dengan tabah, merawatnya seperti merawat tubuh sendiri, dan tak pernah terpikirkan olehnya untuk menggantinya dengan sandal baru. Sandal itu menemaninya setiap saat. Sandal itu adalah tempat paling nyaman untuk kakinya berpijak. Sebab, sandal itu adalah pemberian dari sang Bapak.

Sang Bapak telah lama tak datang. Ia kerap menitikkan air mata di kamar mandi. Sebab, tak kuat menahan perihnya rindu. Kadang ia juga berpikir, Bapak tak lagi sayang padanya. Namun, secepat mungkin pula ia tepis pikiran itu. Sebab, ia tahu Bapak sangat sayang padanya. Kalau tidak, mana mungkin sang Bapak memberinya sebuah sandal jepit, sebagai pengganti kedudukan sang Bapak.

Oh, sungguh malang nasib Ramal, anak dengan sandal jepit kumal itu. Ia tak tahu harus menunggu sampai kapan lagi kedatangan sang Bapak. Sang Bapak tak kelihatan batang hidungnya lagi. Sandal jepit itu adalah hadiah terakhir dari Bapak, dan Bapak telah menyelipkan kenangan pada sandal itu. Bapak tak datang-datang, dan barangkali memang takkan datang.

***

“Pembohong!” kala aku masih di pondok pesantren, itulah kata-kata yang sering keluar dari bibirku. Aku sangat merindukan Bapak kala itu. Aku tak tahu mengapa ia tak datang-datang, dan benar, ia memang tak pernah datang menjengukku. Apakah ia melupakanku? Mustahil.

Pak, masih kusimpan sandal jepit pemberianmu. Namun sayang, talinya telah putus dan tak dapat kuperbaiki lagi. Alasnya telah retak, masih untung tak menjadi kepingan-kepingan. Masih kuingat kala itu, sandal jepit itu adalah barang satu-satunya yang harus kujaga. Sebab, sandal jepit itu adalah kado terakhir darimu.

Dulu, beberapa kawan-kawanku sempat ingin menyingkirkan sandal itu. Mereka diam-diam mengambil sandalku, dan dibuang ke tempat sampah. Alasannya sangat sederhana, mereka ingin aku membeli sandal baru. Sepertinya mereka iba pada sandalku yang sudah lama menuntut masa pensiun.

Ketika aku bangun, aku sudah tak menemukan sandal jepit kesayanganku itu. Aku telah mencarinya ke tempat sampah, tapi tak kutemukan. Sebab, kawan-kawanku telah menutupi sandalku dengan sampah-sampah lainnya. Aku menangis sangat lama, seperti anak kecil yang meminta sesuatu.

Tangis super iritku mengundang perhatian para pengurus. Mereka menanyakan penyebab tangisanku. Kujawab, ada yang mencuri sandalku. Maka dikumpulkanlah seluruh kawan-kawanku. Mereka diinterogasi. Dengan sangat berat hati, mereka pun mengembalikan sandalku itu. Aku senang bukan alang kepalang mendapati sandalku lagi. Dan sejak saat itu, mereka jera memisahkan aku dengan sandalku.

Ha, sungguh kenangan yang indah. Maka telah kuputuskan, Pak, aku juga akan memondokkan anakku ini. Aku ingin anakku merasakan apa yang kurasakan dulu. Kecuali satu, Pak. Aku takkan meninggalkan anakku, seperti kau meninggalkanku. Dan aku takkan membohongi anakku, seperti kau membohongiku.

Entahlah, kenapa dulu kau tega meninggalkanku. Membuatku berperang dengan rindu yang menyayat. Kupikir kau sudah mati, ternyata kau masih cengar-cengir ketika kelulusanku dirayakan. Kau datang di upacara kelulusanku, membuatku menangis, sebab senang bisa berjumpa denganmu.

Pak, aku tak tahu kau melakukan perihal itu untuk apa. Namun yang kutahu, sebab sekarang aku juga menjadi seorang bapak sepertimu. Setiap orang tua pasti punya rahasia. Benarkah, Pak?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan