Langit senja di Surabaya memantulkan warna merah keemasan yang menyelimuti gedung-gedung pencakar langit di pusat kota. Di kawasan elite Darmo, sebuah rumah megah berdiri mencolok dengan arsitektur modern dan kaca besar yang memantulkan kilauan lampu-lampu kota. Di dalam rumah itu, di sebuah ruangan luas dengan jendela yang menghadap ke panorama kota, Herman duduk di kursi malasnya. Kopi mahal di tangannya nyaris tak tersentuh. Angin sepoi-sepoi dari laut di Tanjung Perak menyelinap masuk melalui celah jendela, namun tidak cukup untuk meredakan rasa tegang yang merayap di dada Herman.
“Kenapa semua ini terjadi padaku?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada dunia di luar sana. Segalanya telah hancur, dan kini rumah megah itu hanya menyisakan bayang-bayang kenangan manis yang perlahan memudar.
Di luar, suara klakson kendaraan, deru motor, dan gemuruh kota yang tak pernah tidur menderu tanpa henti. Herman menutup matanya sejenak, mencoba menghalau kenyataan yang menyakitkan. Keluarganya—istrinya, Diana, dan anak-anaknya, Anya dan Bimo—telah pergi meninggalkannya. Ia tak menyalahkan mereka. Bimo, anak sulungnya, terseret dalam skandal kriminal yang menguras habis segala yang dimilikinya, baik kekayaan maupun kehormatannya.
Ia mengingat saat telepon dari polisi itu datang, di tengah malam yang sunyi. “Pak Herman, anak Bapak terlibat dalam pencurian mobil mewah,” kata suara dingin di ujung sana. Jantung Herman hampir berhenti berdetak. Bimo? Mencuri? Itu mustahil!
Namun kenyataan tak dapat ditolak. Bukti-bukti menguatkan bahwa Bimo terlibat dalam kejahatan itu. Herman habis-habisan berusaha menutupi masalah itu dengan uang—mengupah pengacara terbaik, menyuap polisi, dan mengganti kerugian. Tapi akhirnya semua itu sia-sia. Kasus Bimo terkuak ke publik, reputasi keluarga mereka hancur, dan semua aset Herman terkuras habis. Tak hanya kekayaannya yang hilang, tapi juga keluarganya.
Diana tak bisa lagi menerima kenyataan hidup tanpa kemewahan. Dengan air mata yang menetes di pipinya, ia berkata, “Aku tak bisa hidup seperti ini, Herman. Kita tak lagi sama.” Anya dan Bimo berdiri di belakang ibunya, memandang Herman dengan tatapan dingin. Seperti sebuah vonis, keluarganya meninggalkannya malam itu.