Rumah di Samping Masjid

972 kali dibaca

Meski berat tapi tekad Romlah sudah bulat. Rumah peninggalan orangtuanya yang berada persis di samping masjid akan ia jual. Ia pun mulai mendatangi satu per satu tetangganya. Siapa tahu ada yang sudi membeli rumah yang sejatinya terasa sangat berat ia jual itu. Sayangnya hingga seminggu berselang sejak Romlah bertekad menjual rumahnya, tak satu pun tetangga yang tertarik untuk membeli. Alih-alih ingin membeli, niat Romlah menjual rumah malah menumbuhkan kasak-kusuk para tetangga.

“Pamali menjual rumah peninggalan orangtua, semiskin-miskinnya aku, tak bakalan mau menjual tempat tinggalku.”

Advertisements

“Betul, rumah warisan kok dijual, amit-amit jabang bayi, jangan sampai aku menjual rumah warisan orangtuaku.”

“Heran aku sama Bu Romlah, sudah tua bukannya memperbanyak ibadah di masjid, eh malah mau pindah rumah.”

“Oh, jadi dia mau jual rumah buat beli rumah baru di tempat lain ya.”

“Iya, dia kemarin bilang begitu sama aku.”

“Aneh-aneh saja, kalau aku jadi dia sih, mendingan memperbanyak ibadah, eh malah mau menjual rumah.”

“Betul, harusnya Bu Romlah bersyukur rumahnya dekat masjid, bisa rutin berjamaah salat lima waktu.”

“Kalau begitu, kamu aja yang beli rumahnya, biar bisa sering beribadah ke masjid.”

“Ish, jangan ngaco, aku kan sudah punya rumah, ngapain beli rumah lagi?”

Tak ada seorang pun yang bisa membungkam mulut-mulut tetangga yang begitu tajam menghakimi kehidupan Romlah. Mereka hanya melihat sesuatu yang tampak mata saja, tanpa berusaha mencari tahu alasan sebenarnya, mengapa perempuan paro baya yang statusnya telah menjanda itu ingin segera menjual rumahnya agar bisa segera pindah dan mencari tempat tinggal yang baru.

“Kenapa tho, kamu ini ngebet banget ingin menjual rumah?” tanya Kirman, kakak sulung Romlah saat bertandang ke rumah adik bungsunya.

Kabar sang adik mau menjual rumah rupanya telah sampai ke telinganya. Kirman yang setelah menikah bermukim di kampung sebelah bersama istri dan mertua langsung mendatangi Romlah untuk mendapatkan kejelasan. Apakah kabar yang didengungkan orang-orang itu benar atau kabar burung belaka.

“Tak betah aku, Kang.”

Jawaban Romlah jelas tak masuk akal dan tak memuaskan rasa penasaran Kirman. Bersebab raut wajah Romlah terlihat begitu lesu dan seperti berusaha menyembunyikan sesuatu.

“Kenapa baru sekarang merasa tak betah? Toh, sejak kecil kita sudah lama tinggal di rumah ini?”

Romlah tak menanggapi ucapan sang kakak.

“Apa kamu merasa kesepian?”

Romlah menatap Kirman. “Aku kesepian? Ya, aku memang kesepian sejak lama, Kang. Tepatnya sejak suamiku meninggal dan kedua anakku memilih bermukim di kota besar dengan alasan di kampung susah mencari pekerjaan.” jawab Romlah dalam hati.

“Aku nggak keberatan kalau Tias tinggal bersamamu, biar kamu ada yang menemani.”

Tias adalah anak bungsu Kirman yang kini sudah lulus Sekolah Dasar. Seingat Romlah, Tias memang anak yang baik dan penurut. Dia pasti mau andai dirayu ayahnya agar tinggal bersama bibinya. Tapi bukan itu yang menjadi akar permasalahannya. Ia memang kesepian tinggal di rumah seorang diri, tapi selama ini ia sudah terbiasa dengan kesendirian.

“Tak usah, Kang, aku tak kesepian, kok.”

“Lalu, apa alasanmu ingin menjual rumah peninggalan orangtua kita?”

Romlah lagi-lagi terdiam. Sebenarnya ia ingin menceritakan permasalahannya pada sang kakak. Tapi… ah. Persoalannya tak sesederhana itu. Romlah merasa tak yakin apakah dengan bercerita lantas Kirman akan mendukungnya atau malah menghiburnya dengan nasihat-nasihat ala pemuka agama itu.

“Terus, seumpama rumah ini dijual, kamu akan pindah ke mana? Jangan-jangan kamu mau ikut tinggal bersama anak-anakmu di Jakarta?”

“Tidak, Kang. Aku hanya ingin pindah rumah saja, mencari suasana baru yang lebih tenang.”

“Oh, jadi selama ini ada hal yang mengganggumu? Tolong katakan padaku, apa ada tetangga yang diam-diam mengusik kehidupanmu?”

Romlah menggeleng lemah. Ia akhirnya memilih tak banyak bicara, khawatir kalau ia keceplosan mengatakan apa yang menjadi problem hidupnya. Kepada Kirman, ia lantas kembali menegaskan ingin menjual rumah. Sementara raut Kirman tampak masih sangat keberatan dengan keinginan sang adik yang ingin menjual rumah peninggalan orangtua mereka.

***

Pagi itu, Romlah kedatangan tamu. Tamu yang tak pernah disangka. Tamu yang merupakan tetangga dekat tapi baru kali ini datang berkunjung ke rumah Romlah. Sederet tanya menyesaki benak Romlah saat membuka pintu dan membalas salam pria muda yang selama ini menjadi imam masjid, meneruskan perjuangan Kiai Idris, ayahnya yang telah meninggal dunia setahun lalu.

“Silakan masuk, Mas Kiai,” agak gugup Romlah menyilakan Abas, putra bungsu Kiai Idris yang selama ini biasa dipanggil Mas Kiai oleh para tetangganya. Mengingat usianya yang masih muda, maka para tetangga berinisiatif memanggil “Mas Kiai” ketimbang “Pak Kiai”.

Abas tersenyum sekilas lalu masuk dan duduk di salah satu kursi kayu di ruang tamu rumah Romlah yang sederhana. Tanpa banyak basa-basi, Abas langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Rupanya ia tertarik ingin membeli rumah dan tanah pekarangan yang tak begitu luas milik Romlah. Mulanya Romlah merasa bungah karena akhirnya ada yang sudi membeli rumahnya. Namun Romlah dicekam bimbang ketika Abas memberikan penawaran yang tak masuk akal. Rumah dan tanahnya yang tak begitu luas itu ditawar dengan harga murah. Di bawah harga pasaran pada umumnya.

“Sekalian diniatkan untuk beramal, Bu Romlah, insyaallah pahalanya sangat besar, karena tanah ini nantinya akan digunakan untuk perluasan pembangunan masjid,” terang Abas sambil tersenyum. Romlah sama sekali tak tahu bila jauh-jauh hari sebelum ia berniat menjual rumahnya, diam-diam Abas telah berencana ingin membeli rumah dan tanah pekarangannya untuk digunakan sebagai perluasan pembangunan masjid.

Akhirnya Romlah merasa tak punya pilihan lain selain mengiyakan penawaran kiai muda yang pernah menimba ilmu selama bertahun-tahun di salah satu pesantren di daerah Jawa Timur. Karena yang dipikirkan Romlah selanjutnya ialah bagaimana ia bisa secepatnya angkat kaki dari rumahnya sendiri, rumah yang telah menyimpan beribu kenangan bersama suami, anak, dan almarhum orangtuanya.

***

Lega. Itulah yang dirasa Romlah setelah menjual rumahnya. Meski dengan harga murah. Tapi tak mengapa daripada batinnya tersiksa. Kini ia mendiami sebuah rumah kontrakan di kampung sebelah. Sebenarnya bukan rumah yang sengaja dibuat kontrakan. Rumah tak begitu besar tapi lumayan bagus yang ditinggali Romlah saat ini merupakan rumah kosong karena pemiliknya sedang bekerja di luar negeri. Rumah tersebut dititipkan pada saudaranya yang rumahnya bersisian dengan rumah kosong tersebut.

Romlah merasa senang dan bersyukur karena ia hanya diminta membayar uang kontrakan seikhlasnya. Ia juga merasa senang karena tak lagi merasa terganggu dengan bising pengeras suara yang berasal dari masjid yang dulu bersisian dengan rumahnya. Ya, itulah yang menjadi alasan Romlah ingin menjual rumahnya.

Sudah setahun terakhir ini ia merasa sangat terganggu dengan aktivitas keagamaan yang secara rutin diadakan oleh Abas. Ia terganggu karena aktivitas tersebut menggunakan pengeras suara yang cukup keras dan memekakkan telinga. Romlah merasa sangat yakin tak hanya dirinya saja yang merasa terganggu, tapi juga sebagian tetangga yang rumahnya berdekatan dengan masjid. Romlah kerap tak bisa tidur karena aktivitas keagamaan itu digelar hingga larut malam.

Padahal dulu, sebelum Kiai Idris tutup usia, ketika Abas masih menimba ilmu di pesantren, Romlah sangat rajin menyambangi masjid, mengikuti salat berjamaah, dan juga beragam aktivitas keagamaan seperti tadarus dan pengajian yang rutin diadakan tiap malam bakda salat Isya. Romlah sangat menghormati Kiai Idris karena pembawaannya yang ramah dan bijaksana. Kiai Idris juga tak pernah menggunakan pengeras suara ketika melakukan aktivitas keagamaan. Ia menggunakan pengeras suara hanya untuk azan salat lima waktu saja.

“Ah, mengapa aku tiba-tiba merindukan salat berjamaah dan mengaji bersama Kiai Idris, ya?” Romlah bergumam dalam hati.

Puring Kebumen, 25 Juni 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan