PUAN YANG BERPUASA (1-SUNDAL)
Sehari kemarin, di keramaian bordil (cakela) tak kulihat lenggak-lenggok Marni.
Tak biasanya.
Kudengar desas-desus, ia mendapat telepon dari Ramadan yang telah tiba di depan rumahnya.
PUAN YANG BERPUASA (2-KARLOTA)
Telinga ibu-ibu tetangga sungguh besar tiada dua.
Menakutkan: mampu menjangkau bisikan paling jauh; paling kecil.
Setelahnya, tak akan ada yang selamat dari mulut berbusa para tetangga itu.
Tapi ketika bulan puasa tiba, konon suami-suami mereka mendadak lebih beringas: barangkali menyadari kegagalan menjaga mulut istrinya. Atau barangkali sebenarnya mereka sedang sibuk mengumpulkan gosip untuk dijual besar-besaran di hari raya.
Sejenak ini kabar baik; setidaknya, suara anak-anak tertawa lepas bisa mengganti lonceng ghibah di sore hari — tapi tak abadi. Ramadan tak pernah memperpanjang waktu kunjungan. Ia hanya datang sekali; sebulan dalam setahun.
Setelahnya–telinga dan mulut para ibu yang dipenjara itu–akan bebas mencuri dengar dan menjual gosip lagi.
PUAN YANG BERPUASA (3-DOSA PUAN)
(yang mengaku) penjual pahala
mendadak miskin di bulan puasa.
Calo-calo (yang katanya) mempermudah urusan orang lain
justru mengalami kesulitan di jalannya sendiri.
Para penghitung dosa (begitulah mereka merasa)
justru terancam kehilangan penghasilannya.
Siklus ramadan mengacaukan semesta mereka yang tak mendapat keuntungan di dalamnya.
Miris.
Lalu para perempuan, menyajikan menu sahur komplit– ajakan menuju kesadaran, taubat, lengkap dengan sepiring kiat-kiat ibadah– tapi mereka memakannya ketika pagi tiba; menjadi sarapan ketika matahari telah meninggi.
Siapa yang berdosa?
PUAN YANG BERPUASA (4-DI KURSI PANAS PEJABAT)