Rumah Asyrofiyah

1,235 kali dibaca

Wanita itu tampak pucat dengan wajah sendu. Pikirannya semrawut terlihat dari gerak-geriknya. Banyak sekali panggilan telepon yang harus dia jawab. Semua jadwal yang ada di dindingnya tampak penuh. Meja kantornya bahkan tak menyisakan lagi tempat untuk sekadar menaruh cangkir kopi.

Dia menyandarkan punggungnya yang keras pada kursi. Sejenak matanya memandang foto kecil yang telah dilaminating dan ditempel di pojok meja. Sejenak memejamkan mata, dan pikirannya melayang entah ke mana.

Advertisements

Masih teringat jelas bagaimana kedatangannya pertama kali di sebuah pesantren. Pesantren kecil itu hanya memiliki tiga bilik kamar untuk para santrinya. Di atas tiga bilik kamar ada sebuah tempat menjemur pakaian. Di sampingnya tampak ada Taman Kanak-kanak sederhana. Beberapa wahana permainan yang tampak bermodel lama berjajar di depannya. Di tengah-tengah halaman yang terhampar luas ada dua pohon nangka dan sawo merimbuninya.

Satu alasan besar kenapa dirinya berada di sana adalah karena wasiat terakhir sang ibu. Sebelum meninggal, sang ibu menyarakan agar putri semata wayangnya diasuhkan di tempat ibunya dibesarkan. Ya, semenjak kelas tiga Madrasah Ibtidaiyah, ibunya memang telah mengampu ilmu di sana. Keterbatasan finansial yang memaksa orang tua sang ibunda menempatkan anaknya di sana.

Ada perasaan aneh saat dirinya menginjak tanah di tengah lapangan pesantren itu. Sang perempuan yang baru menginjak belasan tahun itu seakan bisa membayangkan. Segala napak tilas tentang ibundanya seakan terlintas kembali. Terbayang senyum manis ibunya saat masih muda.

“Zhera, ayo!”

Seruan ayahnya membuyarkan imajinasi sekilas itu. Saat bertemu dengan pengampu pondok, ada raut muka tak yakin di wajah ayahnya. Namun saat ditanya kembali, sang putri semata wayang hanya mengangguk.

Sebelum pulang dan berpamitan, ayahnya sempat membisikkan sesuatu. Zhera sempat kaget mendengarnya, namun dalam hati kecilnya dia yakin bisa melaluinya.

Zhera tak lagi memikirkan semua hal itu. Kehidupannya melangkah pada jenjang yang lebih baru. Saat pertama kali berada di sana, orang yang pertama kali menyapanya adalah Rima. Dilihat dari perawakannya, tampak umur mereka tak jauh berbeda. Rima yang pertama kali menemaninya mengelilingi pondok.

Keesokan harinya ngaji pertama Zhera dimulai. Baginya ini pengalaman yang sangat baru. Dia dulu hanya belajar dasar membaca Al-Quran. Terlebih beberapa jadwal ngaji menerapkan sistem arab pegon sebagai bahasa penulisan.

Beberapa santri yang telah lama di sana kadang ada yang meledeknya. Namun ketika sowan pada Bu Nyai, dia malah mendapatkan jawaban yang berbeda.

“Malu itu adalah kesalahan terbesar jika ingin belajar. Bahkan Rasulullah saja harus diajari Jibril dulu baru bisa baca tulis,” kata Bu Nyai sambil tersenyum manis.

Pada akhirnya hanya Rima yang mau mengajari Zhera berbagai hal tentang pelajaran pondok. Dia serasa memiliki saudara baru yang tak pernah dia miliki selama ini. Baginya, Rima bisa menjadi kakak sekaligus temannya. Bahkan hingga saat ini pengalaman itu masih terkenang. Sayang, sejak Zhera keluar dari pondok, mereka tak lagi bisa menyambung kabar.

Dia tak bisa lagi mencari keberadaan temannya itu. Karena, selain Rima tak punya akun sosial media, Zhera juga belum sekalipun kembali menyambangi pesantrennya itu.

Cessss

Tiba-tiba ada rasa dingin yang menyambangi keningnya. Zhera yang asik terlelap menjingkat seketika. Semua mata yang ada di kantor lekas melirik asal suara. Ternyata Doni yang sengaja menaruh sebuah minuman dingin di keningnya.

“Ih, apaan sih, Don. Kaget tau,” kening Zhera mengkerut.

“Ha-ha-ha, sorry-sorry. Lagian, istirahat di bilik sana, gih. Istirahat kok di depan komputer.”

“Kayaknya lo butuh cuti deh,” sekaleng minuman bersoda melayang ke arah Zhera dan ditangkapnya dengan baik.

“Hmmm, mungkin juga. Besok deh aku bicara sama bos.” Cesss… suara kaleng terbuka. Doni kembali ke mejanya dengan tangan jempol diangkat tinggi-tinggi.

Dua hari kemudian cuti Zhera dapat terlaksana. Setelah berkemas dia lekas menuju stasiun Pasar Senen. Dengan tujuan Stasiun Pasar Turi Surabaya, setidaknya membutuhkan 8 jam perjalanan. Di kereta dia kembali mengingat masa-masa di pesantren.

Salah satunya adalah kenangan pahit saat ayahnya memutuskan untuk menikah kembali. Ironisnya, kabar itu datang ketika status ayahnya sudah berganti dari duda menjadi beristri. Ayahnya mengabari Zhera seakan cuma ingin memberitahu bahwa dirinya telah mempunyai tanggungan baru. Dalam hati kecilnya ada perasaan bahwa dirinya seakan di buang.

Pada waktu itu tak ada yang tahu perasaannya selain Rima dan Bu Nyai. Selama tiga malam Zhera selalu menangis di pojok teras atap cucian. Dia hanya meneteskan air mata karena tak ingin santri lain terganggu. Namun, sahabatnya Rima seolah tahu dan menyusulnya ke loteng.

“Kenapa gak nangis yang kenceng aja?” kata Rima yang tiba-tiba duduk di sampingnya.

“Aku tahu kamu dari kemarin gak mau cerita, jadi sekarang nangis aja dulu yang keras.”

“Boleh?” tanya Zhera menahan air mata. Rima tanpa pikir panjang memeluknya, dan tangis gadis itu pecah seketika.

Tiga jam berlalu hingga tangisnya benar-benar reda. Setelah itu Zhera terlelap di pangkuan sahabatnya. Ketika tersadar ternyata Rima juga tertidur di loteng.

“Sudah bangun?” tanya Rima yang juga terbangun lalu meregangkan tubuhnya.

“Iya, sudah. Terima kasih, Ma.”

“Sudah mau cerita?Atau kapan-kapan saja?”

Zhera tertegun sejenak, lantas menganggukkan kepala.

Zhera masih belum bisa mengerti apa yang dipikirkan ayahnya. Dia ingin sekali bertemu, namun nomor terakhir yang dia simpan tak lagi aktif, dan dia tak tahu harus mencari ke mana.

Dua hari setelahnya mereka mencoba membicarakannya dengan Bu Nyai. Dengan malu-malu Rima memulai pembicaraan, namun Zhera yang akhirnya melanjutkannya. Sedang sang junjungan pesantren sejenak mendengar dengan khusyu.

“Akan selalu ada alasan bagi seorang laki-laki memilih pasangan. Sedangkan, ayah Nak Zhera mungkin punya alasan sendiri. Tapi jika ingin mencarinya sekarang, Ibu sarankan jangan. Tolong diredam sampai Nak Zhera lulus nanti.”

Meski agak berat hati waktu itu, namun Zhera meninggalkan egonya. Tiga tahun lamanya semua pertanyaan perihal ayahnya dia pendam. Ingin hati dirinya cepat menuntaskan segala pertanyaan. Tapi keadaan yang tidak mengizinkan. Akhirnya, ketika semua telah selesai dan restu dari Kiai dan Bu Nyai telah di dapatkannya, Zhera memutuskan pergi ke Jakarta.

Kereta telah menderitkan relnya di Stasiun Pasar Turi. Zhera segera melangkah keluar, dan memesan taksi. Segera menuju tempat memori bahagianya bermula.

Tiga jam perjalanan ditempuh. Dan akhirnya Zhera kembali ke pesantren itu setelah lima tahun lamanya meninggalkannya.

“Mbak, cari siapa ya?” seorang gadis bertanya pada Zhera.

“Bu Nyai ada dek? Saya mau sowan.”

“Oh, mari mbak. Saya antar.”

Ketika itu Kiai sedang mengaji bersama para santi di ruang tamu. Zhera hanya memperhatikan sembari sesekali memutar memori ingatannya. Semerbak rindu terasa.

Ketika kegiatan mengaji selesai, gadis santri itu mempersilakan Zhera masuk sembari menghaturkannya pada Kiai.

“Waalaikum salam, silakan mbak,” senyum Kiai mengembang.

“Ibu Nyai ada, Bah?” hatur Zhera santun.

Sejenak Kiai memperhatikan lamat-lamat, seakan ada yang ingin diutarakannya, namun ada keraguan.

“Nak Zhera?” Kiai mengerutkan dahi.

“Iya Abah, saya Zhera.”

“Masyaallah, buk… buk. Ke sini, Bu.”

“Iya, Bah, kenapa?” suara Bu Nyai keluar dari balik tirai.

Kedua wanita itu sempat membeku bertatapan. Lantas berpeluk mesra sembari berlinang air mata.

“Ke mana saja kamu, Nak. Kenapa tak ada kabar,” ucapnya sembari mengajaknya duduk. Tak lama Rima keluar karena ada keributan di ruang tamu.

Dia tak menyangka bila sahabat lamanya akhirnya kembali lagi. Mereka bertiga berbincang lama, saling bertukar cerita. Sedih, letih, dan tawa berbaur, termasuk cerita bagaimana Rima bisa menjadi menantu di sana.

“Lalu bagaimana dengan ayahmu, Nduk?”

“Ayah sudah meninggal dua tahun lalu. Dia meninggalkan segunung utang, sedang istri dan anaknya kabur entah ke mana. Sekarang saya sebatang kara di Jakarta. Tanpa tahu harus pulang ke mana. Dan bahkan tak mendapat jawaban dari ayah atas segala pertanyaan saya,” ujung mata Zhera mulai basah.

Bu Nyai lantas memeluk Zhera dengan erat. Mendekapnya dengan hangat sembari berkata, “Ini rumahmu, Nduk, pulanglah kemari kapan pun kamu mau. Kapan pun langkahmu terasa berat, kapan pun kamu kehilangan arah. Pulanglah, ini rumahmu.”

Tangis Zhera kembali pecah kedua kali. Selama bertahun-tahun bersama kesepiannya di ibu kota, pada akhirnya membawa hatinya kembali. Ke rumah yang kehangatannya mampu menyembuhkan dinginnya kesepian selama ini, bernama Asyrofiyah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan