Riwayat Pohon Bambu

1,136 kali dibaca

Nampaknya ketakutan yang selama ini mengendap dalam kepala Masdar akan benar-benar terjadi. Hal itu bermuara ketika kedatangan Pak Kalebun1 semalam yang mengungkit-ungkit pelebaran jalan di samping rumahnya. Jelas itu malapetaka besar terhadap pekerjaannya sebagai perajin layangan. Sebab, proyek jalan itu akan menumbalkan kebun di samping rumahnya yang ditumbuhi berbilah-bilah pohon bambu.

“Mau kerja apa lagi jika serumpun bambu itu digusur?” Syarifah memandang suaminya, meminta jawaban.

Advertisements

Masdar menggelengkan kepala, dibiarkan istrinya menunggu jawaban yang ia sendiri tak tahu harus menjawab apa. Malam yang dingin membuat Masdar membelitkan sarung ke tubuhnya yang kerempeng. Sesekali ia memandang ke luar jendela, seolah meratapi nasibnya yang tergantung di antara bilah-bilah pohon bambu.

“Orang-orang besar selalu main hidup seenaknya sendiri. Mereka tak pernah berpikir nasib orang seperti kita yang untuk makan saja harus pontang-panting,” Ujar istirnya lagi.

Terdengar berat Masdar melepas napasnya. Keningnya mengerut, berpikir keras mencari solusi harus dengan apa ia menghidupi anak istrinya jika pohon bambu itu benar-benar akan dibabat rata dengan tanah.

Masdar hanya lulusan SMA yang tak punya keterampilan apa-apa selain membuat layangan. Hanya gulungan kertas dan potongan bambu-bambu kecil sumber ekonomi satu-satunya. Seperti tertikam dada Masdar ketika mengingat bagaimana awal mula ia menekuni pekerjaannya sebagai perajin layangan. Ia menemukan ketenangan pada diri anak-anak yang membeli layangan dan memainkannya. Tak mudah membuat layangan, harus disertai ketekunan dan keterampilan agar layangan mekar indah di angkasa. Dalam wujud layangan pula ia menemukan arti hidup bahwa semuanya harus berjalan dengan seimbang agar tidak menimbulkan kesenjangan.

Dalam satu tarikan napas yang panjang, Masdar teringat ketika mengajari anak semata wayangnya bermain layangan. Berteduh di bawah rindang pohon mataba, sambil memasang benang, Masdar berujar pada Kasim.

“Ingat, Nak. Hidup kita harus bisa mencontoh layangan. Dia bisa terbang karena seimbang. Begitu pun dalam hidup manusia harus mampu menjaga keseimbangan hidup, bersikap toleransi agar menentramkan satu sama lain,” ucapnya pada suatu hari.

Dan malam itu, laron-laron kecil yang kehilangan sayapnya menyaksikan wajah keruh Masdar ketika Pak Kalebun kembali datang kesekian kalinya. Pak Kalebun itu mengatakan pembangunan jalan untuk kepentingan umum yang diharapkan bisa mempermudah segala akses ke pelosok desa. Sawah dan pekarangan harus direlakan agar pelebaran jalan sesuai dengan ketentuan pemerintah. Lidah Pak Kalebun terlalu licin, tak sedikit orang menolak tawarannya.

“Besok pagi segera pindah kandang ayammu itu. Proyek akan dimulai.” Sesaat bibirnya menyemburkan asap. Lekas tangan Pak Kalebun membersihkan percikan abu rokok di kerah jas potongan kunonya.

“Ini uang ganti ruginya. Diterima atau tidak, proyek itu akan tetap berjalan,” ujarnya lagi sambil menyodorkan sepucuk amplop warna coklat.

Di rumah serupa gubuk itu terdengar perbincangan hebat antara Pak Kelebun dan Masdar. Semula ia menolak keras terhadap proyek yang telah melumat segala kepunyaan penduduk. Tak sedikit sawah dan pekarangan melepuh diterjang buldoser. Orang-orang kampung hanya melihat pasrah begitu tangan-tangan besi meratakan tanahnya. Masdar tak ingin hal itu terjadi pada tanahnya. Tanah itu merupakan satu-satunya tanah sangkolan2 mendiang ayahnya.

Duduk di atas lincak reyot berwarna kusam, Pak Kalebun semakin kasar mencecar Masdar yang mulai gemetar. Masdar terdiam, wajahnya pucat. Terdengar nada Pak Kalebun seperti mengancam.

“Jika berani macam-macam jangan harap keluargamu dapat bantuan!” tajam mata Pak Kalebun menatap Masdar yang tak mampu berkata-kata.

Sejak itu keresahan nampak melingkar di wajahnya. Bagi Masdar, rencana pelebaran jalan itu tak ubahnya celurit takabuan yang setiap saat bisa menebas siapa saja. Mata celurit yang melengkung selaksa bulan sabit menyimpan keberingasan, dan menumpas sesiapa yang lengah. Atau barangkali, lorong yang sebentar lagi akan semakin lebar tak lebih dari gerombolan serigala. Bertaring tajam. Berkuku panjang. Sewaktu-waktu menerkam mangsanya dengan cara paling kejam.

Satu pikiran kembali bercabang bahwa proyek pelebaran jalan itu ibarat banjir bandang yang menyapu kebun, sawah, dan rumah. Alih-alih segala kepunyaan orang pinggiran.

“Dia pikir uang ini menjamin kebutuhan kita!” umpat istrinya kesal.

Angin malam berembus kencang. Dada Syarifah bergemuruh ketika mendengar derit pohon bambu diterpa angin. Baginya pohon bambu telah banyak mengalirkan kasih sayang. Pohon bambu adalah ibu yang selalu mengulurkan tangan ketika ia dalam kesulitan. Mengisi perut-perut lapar keluarganya. Mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan anaknya.

Syarifah hanya bisa menabahkan diri atas ketidakadilan dan kesewenangan Pak Kalebun. Dia sadar orang kecil sepertinya tak kan mampu melawan kekuasaan Pak Kalebun yang dibentengi orang-orang besar di belakangnya. Apakah yang lemah memang tercipta untuk ditindas? Syarifah membatin.

“Aku akan menguli. Siapa tahu masih ada sawah yang bisa digarap,” kata Masdar sambil memegang pundak istrinya.

“Apa kau lupa bahwa sawah di kampung ini telah terjual. Apa kau tak melihat fondasi bangunan yang mulai berjajar sepanjang jalan?”

Masdar duduk tepekur dekat jendela. Barulah ia ingat bahwa dua tahun terakhir telah banyak sawah yang dijual untuk dibangun toko modern, hotel, bank dan tempat-tempat mewah yang hanya dimasuki orang berbaju rapi dan wangi. Tak ada aktivitas menanam—memanen padi. Sawah-sawah yang membentang sejauh mata memandang telah terjual pada investor. Dan sebagian lainnya disulap menjadi jalan licin beraspal.

***

Dua tahun setelah pelebaran jalan, gedung-gedung berlantai keramik berdiri gagah di sekitar rumah Masdar. Rumah-rumah megah yang dipasangi pagar terlihat seperti penjara. Orang-orang di rumah itu selalu mengurung diri, seakan menutup kontak sosial walau hanya sekadar bertutur sapa. Di sepanjang jalan, tiang-tiang berjajar rapi dengan pesona kabelnya yang menjulur ke rumah-rumah warga.

Hanya rumah Masdar yang terbuat dari gedek. Sebagian telah ditambal koran dan karung bekas. Raibnya pohon bambu membuat rumah Masdar terlihat seperti kandang ayam. Andai pohon bambu itu masih ada, ia bisa kapan saja menebang dan memperbaiki gedek rumahnya.

Dampak pelebaran lorong itu semakin membuat perekonomian Masdar tercekik. Sulitnya pohon bambu membuat ia terpaksa membeli dari desa sebelah agar bisa menyokong pekerjaannya sebagai perajin layangan. Meski demikian, ia pun harus rela membeli dengan harga yang relatif tinggi. Di satu sisi justru keadaan semakin minindas. Peraturan daerah setempat telah mengeluarkan larangan bermain layangan, dikhawatirkan layangan tersangkut dan menyebabkan kerusakan pada gardu listrik.

Sebagai perajin layangan, Masdar tahu betul akan persaingan permainan saat ini. Dampak pelebara jalan itu  telah menularkan penyakit malas pada anak-anak. Permainan modern yang ada di telepon genggam telah merampas segalanya. Jika dulu bermain layangan mempertaruhkan kesabaran, maka permainan modern hanya butuh kelincahan jari tangan untuk menggeser segala macam fitur aplikasi.

Dan kini ketakutan yang bertahun-tahun mengendap di kepalanya telah benar-benar terjadi. Lorong aspal di atas tanahnya yang dulu ditumbuhi berbilah-bilah pohon bambu tak ubahnya ular piton. Membelit. Meremukkan pundi-pundi rupiah yang biasa ia dapat dari hasil menjual layangan.

Ia tak pernah melihat kesejahteraan yang pernah diucapkan Pak Kalebun. Justru ia merasa lorong panjang itu serupa karpet yang sengaja dihampar untuk mengundang kaum pemodal.

“Pak, lapar…” Kasim merengek menahan perih dalam perutnya.

Diam-diam selaput mata Masdar menetaskan bulir-bulir bening serupa gerimis. Lorong panjang yang menjelma ular piton telah membelit perut anaknya. Harus dengan apa ia mengusirnya, sedang serumpun pohon bambu itu telah lenyap dan merampas segala harapannya.

Catatan:

  1. Kepala desa
  2. Tanah warisan

Ilustrasi: art-mine.com

Multi-Page