Riwayat Halimah

1,066 kali dibaca

Aku bertemu Halimah sore ini. Rona wajah dan bentuk pipinya masih sama, tidak ada yang berbeda. Saling bertukar cerita, ia menemaniku berjalan menuju masjid di ujung jalan. Sepanjang jalan, wajahnya selalu tersenyum saat kuceritakan kisah-kisah Siti Khadijah.

Cerita-cerita itu sengaja aku persiapkan sebagai ungkapan rasa terima kasih dan rasa sayang. Lambat laun malam pun datang dengan meganya, orang-orang makin sibuk berlalu-lalang, dan di antara mereka datanglah cucuku menjemput tangan yang ringkih ini, “Ayo kita pulang, Nek.”

Advertisements

***

Perkenalan kami bermula dari narasi cepat malam itu. Aku tertunduk lesu dan letih sekali. Saat menunduk, halusnya angin berembus, membawa pikiranku kembali saat bersekolah di ujung pulau Jawa. Tempat itu telah membentuk jiwa santriku yang luhur, namun belum sempat terlalu lama kenangan itu diputar, kupingku kaget bukan main. Belasaan motor mengomel di jalan sempit penuh kios dari arah selatan jalan.

Aku mengamati jalanan itu yang semakin malam menjadi pasar dadakan. Semuanya begitu sesak dengan orang-orang yang mondar-mandir. Di antara pejalan tersebut, segerombolan bocah menghampiri para pejalan kaki sambil menawarkan tisu. Terkadang salah satu dari mata mereka tertaut dengan mataku, namun enggan menghampiriku yang lelah ini.

Masih memperhatikan sekitar, mataku perih dengan asap si penjual sate. Asapnya membumbung tinggi membungkus langit malam. Alhasil baunya mengejar indra penciuman orang-orang malam itu. Tidak berapa lama, asap itu bercampur dengan asap lain. Makin pekat, asap itu membuat sesak dan perih di mata. Orang-orang mulai menjauh karena muncul percikan api dari bilik-bilik warung yang padat.

Sontak saja kejadian itu membuat orang-orang panik dan berlarian, bocah-bocah berteriak histeris dan ketakutan. Api yang semula kecil terus  membesar, warna merahnya cepat meloncat dari kios ke kios. Tertahan sejenak, tiba-tiba suara letusan memukul udara, bergema ke seluruh penjuru. Beberapa pengendara panik, melesat melarikan diri.

Menoleh ke arah jalan, aku melihat sesosok tubuh terempas, “Astaga… itu bocah yang aku lihat barusan.” Tubuh kecilnya menggelepar di depan mataku, dengan sekantung tisu yang berserakan di tengah jalan. Anak itu tergeletak, menelungkup kaku, pipinya bulat membiru, dan bulir air perlahan jatuh dari mata mungil.

Aku membalik badannya dan membenarkan hijabnya, dengan cepat kuraih botol dan menadahkan isinya di tangan. Air itu kubalurkan ke wajahnya, mengusap, dan mencoba menyadarkannya. Sesekali aku menepuk pipinya, berusaha menyadarkannya, tapi jari mungil itu tetap saja tidak ada daya. Pikiranku berkecamuk di depan jalan bersama nyawa bocah itu. Api menjelma menjadi lautan berwarna merah, menyapu dan membakar kios-kios. Luka bocah ini tidak terlalu parah, pikirku. Hanya beberapa tangannya lecet. Aku yakin bocah ini masih bernyawa.

Menarik napas, aku menekan dadanya perlahan. Bertempo, aku mencoba menekan kembali, aku menyerah. Beberapa kali tetap tidak ada yang terjadi. Mencoba yang terakhir. Astaga, ia berkedip, terbatuk hebat di kerumunan asap, liur muntah di tengah pekatnya asap. Allahu Akbar, anak ini bernapas lagi. Ia merengek, kupeluk erat bocah itu, mengusap wajahnya. Dari arah berseberangan terlihat seorang pria berlari, memakai rompi oranye, berlari ke arah kami. Terengah-engah, ia merebut anak itu dari dekapanku. Pria itu memberikan pelukan erat, sambil menangis menyesal.

“Terima kasih, buk,” terbata-bata. Dipeluknya lagi bocah itu.

“Terimakasih sudah menolong anakku, aku menyesal tidak menjaganya.”

“Iya-iya, tapi kita harus pergi dari sini pak.”

Anak dan bapaknya itu terisak-isak di tengah jalan. Tapi anak itu terus melihatku. Tatapannya kaku dan sama sekali tidak tersenyum lagi melihat bapaknya. Justru, tangannya menunjuk ganjil ke arah belakangku. “Itu… itu…”

Mencerna isyarat anak itu, aku menoleh. Aku memutarkan pandanganku yang perih. Astaga asap ini menyakiti mataku. Tubuhku hening sejenak, tertahan asap pekat. Mencoba membuka mata, tiba-tiba saja ledakan itu terjadi lagi, mengguncang telingaku, membunuh indra pendengaran, berdenging hebat, tubuhku terhuyung jatuh ke jalan. Tubuhku mencoba bangkit, menyadarkan diri, tapi pria di depanku melotot melihatku, anaknya berteriak kencang.

Aku mencoba membuka mataku, perlahan, seketika dia menendangku. Kini pandanganku menjadi putih, sayup-sayup kudengar suara erangan, teriakan, lalu semuanya hening. Semua indraku lumpuh malam itu. Bapak dan anaknya itu berpelukan dengan damai tanpa suara. Mata pria itu terbuka, mengucurkan air mata yang membasahi jalan. Sambil memeluk buah hatinya, pria itu tersenyum malam itu. “Ya Allah, sesungguhnya kami adalah milikmu dan sungguh hanya kepada-Nya kami akan kembali.”

Tiga hari kemudian, aku terjaga, merasakan seorang mendekapku, dekapan yang hangat, dekapan seorang ibu. Menarik napas perlahan aku mencoba duduk di kasur. Udara kamar ini begitu dingin dan berbau. Aku mencoba merasakan sekitar, udara bertiup, membuat tubuh ini menoleh ke arah itu. Tanganku meraba angin yang berembus, terasa hangat perlahan, ya ini sinar matahari yang lembut. Tapi, kenapa semua seperti malam.

“Maaf kamu harus kehilangan matamu,” suara itu terdengar lembut di kupingku. Air mataku tumpah di kamar ini, terisak-isak aku memeluk ibu. “Sabar, nak,” kata ibu, kemudian dia membenamkan kepalaku ke pangkuannya dan mengusap keningku.

Beberapa minggu sudah aku dirawat dan sudah waktunya aku pulang. Tidak banyak yang kulakukan saat mobil itu mengantarkanku pulang. Saat melewati jalan yang sama, aku mencium asap masuk lewat celah jendela mobil, terdiam sejenak, pikiranku bekerja hebat, mengingat apa yang telah terjadi.

“Anak itu, ya anak itu, ke mana anak itu,” bertanya-tanya kepada diri sendiri, terngiang memikirkan bocah itu. Aku tersadar.  “Ya bapak dan anak telah menolongku,” hatiku seolah hancur mengingat kejadian malam itu, seketika air mataku tumpah untuk yang sekian kalinya.

Saat sore menjelang malam, aku mencoba berdiri di sebuah tempat bekas reruntuhan kebakaran yang masih terlihat jelas. Hari-hari berjalan memutar minggu, bulan, musim, dan tahun. Sedangkan kakiku tetap berpijak di tempat yang sama. Tempat itu sekarang menjelma menjadi taman yang dipenuhi bermacam-macam jenis bunga di sekelilingnya. Sebuah taman pemakaman yang indah, layaknya tempat orang-orang yang mati syahid.

ilustrasi: lukisan van gogh.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan