Rezeki Seorang Pendongeng

389 kali dibaca

Dialah lelaki tua yang mencoba bertahan hidup sebagai pendongeng keliling. Penghasilannya tidak menentu, bahkan kadang tak mendapat uang serupiahpun, tetapi ia tetap bersemangat.

Sore itu Pak Wicara berhenti di pos ronda dekat pertigaan sebuah kampung. Ia memukul genta kecil kuning keemasan beberapa kali, suaranya nyaring. Tak lama kemudian, datanglah anak-anak menghampiri pos ronda, lalu duduk berjejer di teras pos ronda.

Advertisements

Pak Wicara meletakkan kaleng di lantai, lalu memulai mendongeng. Ia memasang bulatan merah di hidung ketika mengisahkan kancil sedang sakit demam, memasang telinga panjang dari kertas karton ketika mengisahkan kelinci, mengenakan rambut rafia merah ketika mengisahkan harimau. Anak-anak senang melihatnya.

Setengah jam kemudian, Pak Wicara selesai mendongeng. Ia melihat kaleng di depannya masih kosong. Tak ada anak yang memasukkan uang ke kaleng itu.

“Kabuuur!” seru seorang anak, lalu bersama teman-temannya lari menjauh dari pos ronda sambil tertawa.

Pak Wicara menghela napas, mencoba bersabar. Sudah biasa ia mengalami hal itu. Mungkin di kampung lain ia akan mendapat keberuntungan. Ia meninggalkan pos ronda itu, sambil mengenang masa lalunya.

Dahulu, Pak Wicara sering diundang ke sekolah-sekolah untuk mendongeng di hadapan murid-murid. Sekarang, tak ada sekolah yang mengundangnya, karena tiap sekolah sudah punya televisi dan DVD dongeng.

Pak Wicara memilih menjadi pendongeng keliling demi bertahan hidup, berharap masih ada orang yang mau mendengarkan dongeng dan memberinya uang. Meski banyak orang mencibir, tetapi Pak Wicara tetap tekun dengan profesinya. Menjadi pendongeng adalah jalan hidup dan pilihan hidupnya. Terlebih, istri dan anak-anaknya pun mendukung pula.

Ketika sampai di ujung jalan kampung, Pak Wicara mendengar suara orang memanggilnya. Ia menoleh ke belakang dan melihat seorang ibu berjalan gegas mendekatinya.

“Maaf, ibu memanggil saya?” tanya Pak Wicara.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan