Revolusi Mental dari Pendidikan Pesantren

1,571 kali dibaca

Dulu sekali, saya dipaksa pergi ke sebuah kota yang bahkan tidak pernah terbayang apa yang harus dilakukan di tempat asing itu. Seperti anak kecil pada umumnya, menikmati kehidupan dengan cara bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya adalah sebuah anugerah. Tetapi hal itu tidak bisa saya rasakan, bahkan tidak pernah terpikir untuk bisa mengulanginya.

Saat liburan sekolah tiba, tentu saja harapannya adalah bisa bermain sampai puas, tidak perlu memikirkan pelajaran atau tugas yang sebenarnya tidak masuk akal. Bagaimana tidak kebelenger, saya yang saat itu duduk di kelas 2 Madrasah Tsanawiyah disuruh membuat ulasan soal semua mata pelajaran satu sementer penuh?

Advertisements

Kadang, saya berpikir, kok bisa ya, satu murid dituntut untuk memahami semua bidang pelajaran, padahal satu guru pun belum tentu bisa menguasai semua mata pelajaran yang ada. Maksudnya, mereka diberikan pilihan untuk menguasasi satu bidang khusus, sedang murid tidak diberi kesempatan tersebut. Sehingga, tolok ukur kepintaran siswa di sekolah sering diidentikkan dengan nilai-nilai yang besar. Ada juga, yang mereka tidak jago pelajaran eksak sering disebut tidak pintar, begitu pun sebaliknya. Padahal, setiap anak punya keahlian dan minat yang berbeda.

Sebagai anak yang biasa-biasa saja dan tak pintar-pintar amat, saya sadar bahwa bermain adalah cara satu-satunya menikmati kehidupan. Banyak hal yang bisa didapatkan; saling pengertian, pertemanan, hablu minal alam dan hablu minan nas rasanya bisa didapatkan dengan proses tersebut. sayang sekali, dulu sekali, saat liburan semester tiba, pilihan saya hanya satu; pergi ke pondok pesantren untuk belajar ilmu agama.

Hanya bermodal nekat, saya diantarkan menuju sebuah pondok pesantren di daerah Karawang, Jawa Barat, selama satu bulan. Orang lazim menyebut kegiatan tersebut dengan “Ngaji Pasaran”. Bayangan soal bermain di halaman masjid dekat rumah bersama teman-teman pupus sudah. Waktu itu, mengikuti kebiasaan orang dewasa yang menjadi teman baru di pesantren tersebut menjadi pengalaman yang cukup unik. Dewasa sebelum waktunya, istilah itu mungkin sedikit tepat.

Kegiatan pengajian yang cukup padat sebenarnya membuat saya sedikit bosan. Tak jauh beda seperti di sekolah, padahal yang seorang anak kecil harapkan adalah ada waktu untuk bermain meski hanya sebentar. Namun, di sela-sela kegiatan pesantren yang begitu padat, saya sering mencuri-curi waktu supaya bisa bermain atau jajan di kantin. Untung saja, orang-orang di pesantren itu sedikit mengerti. Biasanya, hal itu saya lakukan pada sata pengajian umum yang diadakan di masjid setiap malam selesai salat Isya.

Tidak main-main, santri yang datang ke tempat itu berasal dari berbagai pesantren yang berada di sekitaran kampung tersebut. Karena tempatnya cukup sesak, tak jarang para santri yang mengaji duduk di luar masjid, di warung, di tempat ngopi, dan tempat-tempat lain yang masih bisa dijangkau oleh pengeras suara.

Biasanya, saya memilih tempat di sebuah ruko bakso. Memang, ruko bakso tersebut terkenal enak di sana. Sayangnya, semua yang ada dipengajian itu adalah orang-orang dewasa. Hampir setiap malam saya berada di tempat bakso itu selama satu bulan. Kadang-kadang, penjual bakso memberikan satu porsi gratis, mungkin karena iba melihat seorang anak kecil dengan perawakan mungil berada di tengah-tengah orang dewasa, seperti orang hilang.

Agak sedikit bingung saat itu, kenapa orang tua memilih liburan sekolah untuk saya di sebuah pondok pesantren yang didominasi oleh orang dewasa dan jauh dari rumah. Biasanya, orang tua ingin menghabiskan waktu bersama anak-anaknya atau mengontrol anak-anak dalam setiap aktivitasnya.

Namun, kini beberapa hal saya sadari. Bahwa membiasakan hidup di lingkungan pesantren menjadi sebuah kebutuhan di tengah krisis akhlak. Ada mental yang dibangun oleh pesantren untuk santri-santrinya. Selemah-lemahnya mental seorang santri, paling tidak, ia bisa menjadi seorang imam salat atau memimpin tahlil di tengah masyarakat. Artinya, seorang santri sudah terbiasa hidup bercampur dengan masyarakat dan tampil di depan umum. Begitupun yang kini saya rasakan setelah melewati perjalanan panjang tersebut.

Pada tahap selanjutnya, apa pun yang ditempuh oleh seorang santri dalam menjalani kehidupan, dia tetaplah seorang santri, dan identitas tersebut tidak bisa dihilangkan. Mental lain yang didapatkan adalah mampu hidup dalam situasi dan kondisi apa pun. Dengan kebiasaan hidup yang jauh dari keluarga, sederhana, dan memanfaatkan sesuatu yang ada, santri bisa menjalani hidup dalam keadaan susah apalagi senang.

Begitulah, revolusi mental yang sebenarnya berawal dari pola pendidikan di pesantren.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan