Revolusi Mental dari Pendidikan Pesantren

1,555 kali dibaca

Dulu sekali, saya dipaksa pergi ke sebuah kota yang bahkan tidak pernah terbayang apa yang harus dilakukan di tempat asing itu. Seperti anak kecil pada umumnya, menikmati kehidupan dengan cara bermain dan menghabiskan waktu bersama teman-teman sebaya adalah sebuah anugerah. Tetapi hal itu tidak bisa saya rasakan, bahkan tidak pernah terpikir untuk bisa mengulanginya.

Saat liburan sekolah tiba, tentu saja harapannya adalah bisa bermain sampai puas, tidak perlu memikirkan pelajaran atau tugas yang sebenarnya tidak masuk akal. Bagaimana tidak kebelenger, saya yang saat itu duduk di kelas 2 Madrasah Tsanawiyah disuruh membuat ulasan soal semua mata pelajaran satu sementer penuh?

Advertisements

Kadang, saya berpikir, kok bisa ya, satu murid dituntut untuk memahami semua bidang pelajaran, padahal satu guru pun belum tentu bisa menguasai semua mata pelajaran yang ada. Maksudnya, mereka diberikan pilihan untuk menguasasi satu bidang khusus, sedang murid tidak diberi kesempatan tersebut. Sehingga, tolok ukur kepintaran siswa di sekolah sering diidentikkan dengan nilai-nilai yang besar. Ada juga, yang mereka tidak jago pelajaran eksak sering disebut tidak pintar, begitu pun sebaliknya. Padahal, setiap anak punya keahlian dan minat yang berbeda.

Sebagai anak yang biasa-biasa saja dan tak pintar-pintar amat, saya sadar bahwa bermain adalah cara satu-satunya menikmati kehidupan. Banyak hal yang bisa didapatkan; saling pengertian, pertemanan, hablu minal alam dan hablu minan nas rasanya bisa didapatkan dengan proses tersebut. sayang sekali, dulu sekali, saat liburan semester tiba, pilihan saya hanya satu; pergi ke pondok pesantren untuk belajar ilmu agama.

Hanya bermodal nekat, saya diantarkan menuju sebuah pondok pesantren di daerah Karawang, Jawa Barat, selama satu bulan. Orang lazim menyebut kegiatan tersebut dengan “Ngaji Pasaran”. Bayangan soal bermain di halaman masjid dekat rumah bersama teman-teman pupus sudah. Waktu itu, mengikuti kebiasaan orang dewasa yang menjadi teman baru di pesantren tersebut menjadi pengalaman yang cukup unik. Dewasa sebelum waktunya, istilah itu mungkin sedikit tepat.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan