Relevansi Akulturasi Dakwah Wali Songo

1,972 kali dibaca

Menurut banyak sumber dan beragam heruistik lain, Islam datang di Jawa melalui pedagang Arab, Gujarat, dan China. Tidak ada yang tahu pasti siapa yang membawa ajaran Islam ke Jawa. Sependek yang saya tahu, Islamisasi yang dilakukan oleh para Wali Sembilan, atau yang familiar kita sebut dengan Wali Songo dengan cara mengalkuturasikan budaya yang telah mendarah daging di masyarakat Jawa, seperti nyadran, grebek suro, tumpengan, dengan memasukkan nilai-nilai Islam di dalam budaya mereka itu.

Para wali mengimplementasikan ayat Allah yang berbunyi: ادع الى سبيل ربك بالحكمة وااموعظة الحسنة، وجادلهم بالتى هي احسن. Yang kira-kira artinya begini: Serulah (kepada manusia) ke jalan Tuhanmu (Allah Swt) dengan bijaksana dan tutur kata yang baik. (Jika suatu hal menuntut untuk ada perdebatan, maka) berdebatlah dengan cara yang baik pula.

Advertisements

Para wali tidak pernah mengenalkan masyarakat tentang Islam dengan cara kekerasan, tapi mengajak mereka dengan step by step, melalui proses, sedikit demi sedikit. Sebagai contoh, saya akan memaparkan cerita Kanjeng Sunan Kudus, Syekh Ja’far Shodiq: ketika datang saatnya hari raya Idul Adha, beliau mengganti hewan kurban —yang kebanyakan daerah menggunakan sapi— berupa kerbau, karena masyarakat Kudus sangat menghormati sapi.

Adanya kolam untuk mencuci kaki —di Jawa disebut dengan kolam canteng— karena banyak dari masyarakat Jawa yang jarang memakai sandal ketika akan memasuki masjid. Oleh sebab itu, Sunan Kudus menginisiasi pembuatan kolam sebelum masuk masjid, sebagai cara untuk mereka yang akan masuk masjid agar kakinya bersih. Itu salah satu contoh keteladanan para wali dalam menyampaikan ajaran Islam.

Sunan Kalijogo, Raden Sa’id, tak kalah menarik. Beliau menjadikan wayang sebagai ajang pertunjukan, yang tiketnya adalah membaca kalimosodo (kalimosodo adalah bentuk praktis lidah Jawa yang diambil dari lafaz kalimat syahadat). Sehingga, setiap orang yang akan menonton wayang, secara otomatis akan masuk Islam, meskipun mereka belum tahu esensi ajaran Islam.

Di dalam lakon wayang, orang yang menonton akan disuguhi cerita yang heroik dan hebat. Para dalang dituntut untuk bisa memvisualisasikan setiap tokoh dari cerita pewayangan. Kalau kita kaji dan kita telaah, setiap cerita wayang mengandung pelajaran hidup yang dalam dan sarat makna.

Seperti cerita Dewa Ruci. Di sana, dijelaskan, bahwa Bima mencari Tuhannya. Bima bertemu 4 warna, yang semuanya memiliki makna. Saya tidak akan sebut secara detail dan kompleks mengenai warna apa saja yang dilihat Bima di telinga sang Dewa Ruci, karena banyak versi mengenai warna tersebut. Yang terpenting, setiap dari 4 warna itu menyimbolkan nafsu yang ada di dalam diri manusia: nafsu ammarah, nafsu lawwamah, nafsu sufliyyah, dan nafsu muthma’innah.

Dari cerita Dewa Ruci, seorang penonton akan menemukan pelajaran-pelajaran berharga sepanjang dalang menceritakan setiap cerita. Oleh karena itu, setiap dari kita harus berhikmah, bijaksana dalam menyikapi setiap permasalahan dan problematika umat.

Di era globalisasi dan teknologi yang semakin marak dan berkembang pesat ini, kita dituntut untuk menggunakan alat tersebut sebagai “ajang dakwah” dan nasyrul ilm, menyebarkan kebaikan. Jadilah orang yang bijak dalam menyebarkan berita-berita, konten-konten, meme-meme, yang bermanfaat.

Maraknya teknologi membuat kehidupan bersosial masyarakat dan gumbul srawung semakin melandai. Banyak orang yang memprovokasi tentang ini dan itu di dalam media sosial. Mereka berkelakar sana-sini membicarakan aib-aib orang lain, mencela dan mencaci maki golongan yang lain.

Maka, sebagai seorang santri, kita dituntut untuk bisa bijak dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam. Kita harus menggunakan kata-kata yang baik. Semoga lahir generasi-generasi wali songo yang lain di Jawa ini. Aminn.

Wallahu a’lam bisshowab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan