Relasi Islam Nusantara dan Budaya

1,398 kali dibaca

Hakikatnya semua manusia memiliki kodrat sebagai makhluk budaya. Manusia diciptakan Tuhan dengan segala potensi yang ada dalam dirinya, sehingga patutlah setiap orang menghargai setiap potensi secara positif.

Islam hadir tidak lantas menghilangkan potensi budaya Nusantara, melainkan memakainya sebagai sarana memperkenalkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Indonesia. Percampuran antara nilai Islam dan budaya di Nusantara membuat Islam kaya dalam corak, dan membuat budaya Nusantara tetap terjaga dan dilestarikan dalam segala bentuk. Proses percampuran antara keduanya juga mengalami pasang surut.

Advertisements

Namun kenyataannya perkembangan pemikiran nilai Islam yang dikemas dalam budaya bisa tetap eksis sampai hari ini. Pribumisasi bukan Arabisasi, itulah tujuan dari Islam Nusantara. Implikasi dari hubungan akrab antara Islam dan budaya lokal adalah, penerimaan terhadap kebhinekaan bukan pemaksaan radikal, karena Islam dalam sejarah Nusantara mampu beradaptasi dan mengadopsi keragaman budaya Nusantara yang kaya budaya dan bahasa.

Islam Nusantara bukanlah Islam model yang baru, tetapi Islam yang ingin kembali seperti dulu sesuai dengan sejarah dan perkembangannya di Indonesia yang bercorak kearifan lokal Indonesia; ramah, penuh kasih sayang, semangat gotong royong, toleransi. Islam yang hadir di Nusantara yang bercorak sufisme bertemu dengan agama kebatinan ala Nusantara.

Agama dengan konsep budaya impor membuat jurang pemisah sesama anak bangsa semakin lebar. Ketika semua agama di bungkus dengan budaya Nusantara, maka tidak ada hal yang bisa membuat kita saling bergesekan. Itulah Islam dan Budaya Nusantara.

Kedatangan Islam di Nusantara berlangsung secara damai dan sangat cepat beradaptasi dengan budaya Nusantara, tidak ada benturan dengan budaya setempat. Mafhum, Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Para pedagang dari Arab datang melalui rute laut, sehingga tidak heran penduduk Indonesia di daerah-daerah pesisir mayoritas memeluk agama Islam. Beberapa daerah pantai, kota-kota pelabuhan menjadi kota-kota yang bercorak Islam, seperti: Samudera Pasai, Aceh, Palembang, Malaka, Jambi, Demak, Gresik, Tuban, Cirebon, Banten, Gowa, Banjarmasin, Ternate, Tidore dan sebagainya.

Di antara kota-kota tersebut ada yang berfungsi sebagai pusat kerajaan yang bercorak Islam, kadipaten dan sebagai kota pelabuhan. Kerajaan di pinggiran pantai bercorak maritim, sedangkan kerajaan di pedalaman bercorak agraris. Selain bercorak Islam, ada juga yang percampuran antara unsur-unsur magis-religius budaya setempat, sehingga Islam di Sumatera berbeda dengan Islam di Jawa.

Meski demikian, faktanya selalu ada perdebatan mengenai kedatangan Islam di Nusantara. Ada empat tema pokok yang berkaitan dengan kedatangan Islam ke Nusantara. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar; Ketiga, pihak yang mula-mula masuk Islam adalah penguasa. Dan, keempat, mayoritas para penyebar Islam profesional ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13. Jadi Islam sudah diperkenalkan ke Nusantara sejak abad pertama Hijriyah, dan abad ke-12 M Islam semakin tampak secara nyata.

Faktanya, Islam tersebar di Pulau Jawa atas jasa Walisongo. Tak heran jika nama-nama mereka diabadikan melalui lembaga-lembaga bahkan pondok pesantren. Misalnya, Pondok Pesantren Walisongo Situbondo. Jauh sebelum Walisongo datang Islam sulit diterima. Namun dengan menggunakan metode pendekatan terhadap budaya, Islam semakin mudah untuk diterima. Di Jawa khususnya, saluran Islam melalui seni tari, seni musik, dan sastra dalam upacara-upacara keagamaan seperti acara Maulid nabi, ditampilkan seni musik tradisional tabuhan gamelan. Inilah yang digunakan Walisongo sebagai salah satu alat syiar Islam sehingga membuahkan hasil yang signifikan.

Sebut saja Sunan Kalijaga yang paling getol dalam menggunakan budaya Nusantara sebagai alat dakwahnya melalui seni musik gamelan, kentong dan bedug, tembang dan kidung, batik, dan wayang. Penggunaan wayang oleh Sunan Kalijaga yang dikenal mahir memakai wayang, hanya untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat Jawa.

Tak hanya itu, Sunan Kalijaga juga sangat toleran terhadap budaya lokal. Baginya masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya.Pendekatan budaya lokal adalah salah satu strategi jitu untuk mendekati masyarakat secara perlahan-lahan, sehingga mereka bisa meninggalkan kebiasaan lamanya. Dia tak pernah meminta upah dalam pertunjukannya, modal menonton adalah dengan mengucapkan kalimat syahadat.

Syahdan, rupanya tidak hanya Sunan Kalijaga, tapi Sunan Gresik juga melakukan penyempurnaan bentuk dan lakon wayang agar tidak bertentangan dengan agama Islam. Sunan Bonang pun juga sukses melakukan penyiaran agama Islam dengan melakukan penyempurnaan wayang dengan menggunakan seni musik gamelan, bonang, kenong, kempul dan dia juga menciptakan Tembang Macapat dan Suluk Wujil.

Sementara Sunan Drajat juga berdakwah melalui kesenian. Salah satu karyanya adalah Tembang Pangkur yang isinya mengandung pesan untuk keselarasan rohani, dunia akhirat untuk memperoleh kesejahteraan hidup. Sunan Giri, murid Sunan Ampel mengembangkan budaya permainan tradisional dalam dakwahnya, seperti: Jetungan, Jemuran, Gula Ganti, Cublek-cublek Suweng, Tembang Asmaranda, Tembang Pucung, dan Ilir-ilir, yang mengandung pesan untuk menggunakan kesempatan hidup di dunia untuk bekal di akhirat.

Juga, Sunan Kudus berdakwah dengan menciptakan karya sastra berupa Tembang Maskumambang dan Tembang Mijil. Sementara Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati melakukan penyiaran Islam di Jawa Barat turut aktif mendukung sastra dan budaya di Kerajaan Demak. Demikian juga dengan Sunan Ampel yang dikenal melalui karya lagu Tombo Ati sebagai obat bagi hati yang gelisah.

Melalui karya sastra dan seni Nusantara yang dilakukan oleh Walisongo, akhirnya dapat menyentuh hati masyarakat Indonesia untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Islam dan Budaya

Dalam perbincangan mengenai perpaduan sebuah budaya satu dengan budaya lainnya, terdapat tiga istilah yang saling terkait yang sering digunakan, yaitu akulturasi, asimilasi, dan sinkretisasi. Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul ketika suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Arti akulturasi sendiri adalah proses mengenai adat, kepercayaan, ideologi dan tatanan dengan peralihan tingkah laku, dari satu kebudayaan menuju budaya yang lain seperti, dua kelompok sosial yang bebas bertemu dan bergabung.

Akulturasi pada Islam di Nusantara dapat dilihat, misalnya, pada gaya arsitektur Masjid Menara Kudus yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dan budaya Hindu. Di Indonesia, kita tahu masjid merupakan salah satu simbol penting dalam penyebaran ajaran Islam. Berdirinya masjid di berbagai wilayah di Indonesia menginsyaratkan bentuk ekspresi kesalehan masyarakat pada daerah tertentu.

Berbicara tentang istilah akulturasi, tentunya akan bersamaan dengan istilah asimilasi dan sinkretisasi. Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada segolongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda saling bergaul secara intensif dan dalam waktu yang lama, sehingga budaya masing-masing berubah sifat khasnya dan menghasilkan budaya campuran karena adanya proses penyesuaian diri. Sementara asimilasi dapat dilihat pada orang-orang etnis Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia yang tetap berdialek China, namun tidak lagi asli karena sudah bercampur dengan bahasa Indonesia.

Sisi lain, arti kata sinkretisasi adalah penyerasian, penyesuaian, penyeimbangan antara dua aliran agama atau budaya. Tak dapat dimungkiri bahwa proses pertemuan dua budaya atau lebih akan berdampak pula pada sinkretisasi. Tak ada agama yang bebas dari sinkretisasi ketika bertemu dengan konteks budaya setempat. Misalnya sinkretisasi adalah percampuran agama Buddha dan agama Syiwa menghasilkan Buddha Mahayana; Budaya selamatan nyewu di Bumirejo (peringatan seribu hari kematian keluarga) adalah percampuran budaya Jawa, Sunda, dan Islam.

Budaya nyewu ini sudah jauh berbeda dengan ritual nyewu yang asli. Sesaji yang tadinya untuk leluhur berubah menjadi ditujukan kepada Rasullulah. Sinkretisme dianggap negatif karena berhubungan dengan gerakan Wahabi yang menumpas praktik-praktik yang bertentangan dengan “Islam murni”, padahal sinkretisme juga bagian dari metode penyampaian nilai-nilai Islam atau pribumisasi nilai-nilai Islam.

Ironisnya, menguatnya paham Islam transnasional yang bermusuhan dengan budaya dan produk lokal, malah kearab-araban dan sisi lain menguatnya gejala globalisasi budaya barat (kebarat-baratan) yang melanda kehidupan bangsa ini menimbulkan kehawatiran memudarnya semangat nasionalisme pada generasi muda. Hal ini perlu disikapi oleh agama-agama di Indonesia, khususnya Islam, agar menekankan sikap keberagamaan yang merangkul budaya dan kearifan lokal agar tidak punah dan goyah.

Kalau kita telisik, ternyata hubungan Islam dan budaya lokal secara positif adalah merupakan bagian dari sumber kearifan, sebagaimana sudah dijelaskan dalam Al-Quran 49:13. Bahkan, Al-Quran 10:47 sudah menjelaskan juga. Bahwa, budaya sebagai warisan hikmah ketuhanan yang diturunkan lewat nabi-nabi yang pernah diutus Tuhan sepanjang sejarah umat manusia (apalagi peninggalan budaya tersebut tidak bertentangan dengan agama justru mendatangkan kemaslahatan bagi banyak orang).

Beda halnya jika dilihat dari tasawufnya, bahwa Tuhan itu bermanifestasi atau mengejawantah dalam ciptaan-ciptaanNya. Dalam hal ini, setiap makhluk membawa dalam dirinya sifat Tuhan yang dikenal dengan paham tauhid wujudi atau meminjam bahasa Ibnu Arabi wahdah al-wujud. Tuhan dipahami memiliki dua sifat sekaligus; transenden dan imanen (imanensi Allah terlihat pada budaya). Budaya justru membawa kita pada pengenalan dan kedekatan kepada Tuhan, sehingga patut jika mayoritas orang Indonesia Muslim memelihara dan cinta pada budayanya sendiri.

Seiring dengan berkembangnya zaman, rupanya sudah terjadi beberapa akulturasi budaya di Indonesia. Pertama, periode awal (abad ke-5-11 Masehi). Pada periode ini masih menguatnya budaya Hindu dan Budha dan kebudayaan asli Indonesia sendiri terdesak, terbukti dengan ditemukannya berbagai macam patung dewa Brahma, Siwa, Wisnu, dan Budha yang tersebar di kerajaan-kerajaan seperti Tarumanegara, Kutai, dan Mataram Kuno.

Kedua, periode pertengahan (Abad ke-11-16 Masehi). Dalam periode ini, budaya Indonesia mulai menguat bersamaan dengan budaya Hindu Budha sehingga cenderung terjadi sinkretisme. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya peninggalan candi-candi yang bercirikan Hindu Budha, peninggalan zaman kerajaan di Jawa Timur (Kediri, Singasari, dan Majapahit).

Kita tahu bahwa Tantrayana adalah contoh aliran religi yang merupakan sinkretisme dari kepercayaan Indonesia asli dengan agama Hindu-Budha. Mereka mengakui dewa-dewa yang sama dengan Hindu, namun tidak mengakui sistem kasta seperti keyakinan Hindu sehingga dikeluarkan dari agama Hindu dan mereka memiliki pandangan yang sama dengan Mahayana (ajaran Budha yang mendewakan Buddha Sidharta).

Ajaran ini menyimpang dari Budha karena penggunaan minuman keras dan mengutamakan makanan-makanan lezat dan mewah. Padahal Budha melarang minuman keras dan berfoya-foya. Alih-alih demikian melarang minuman keras, dengan masuknya Islam abad ke-12-13, justru menawarkan budaya baru bagi masyarakat Indonesia dengaan menyesuaikan budaya lokal dan mengangkat nilai-nilai kemanusiaan yang setara dan gaya hidup sederhana.

Ketiga, periode akhir (Abad ke-16- Sekarang). Pada periode ini, unsur Indonesia lebih kuat dibandingkan periode sebelumnya, sedangkan unsur budaya Hindu Budha semakin menurun. Candi tidak lagi dipakai dipakai sebagai pura, tetapi kepada Shang Hyang Widhi sebagai perwakilan Tuhan yang Maha Esa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan