Relasi Afghanistan, Taliban, dan Muslim Indonesia

1,405 kali dibaca

Berbicara mengenai Afghanistan, maka pikiran kita dengan mudah akan merujuk pada konflik dan kekerasan, aksi dan eksistensi kelompok ekstremis, dan gejolak regional. Keadaan kelam ini setidaknya dimulai sejak Uni Soviet mengintervensi Afghanistan dengan kekuatan militer pada tahun 1979 . Hal ini bagaikan momentum kelam yang berkelanjutan bagi masyarakat Afghanistan yang nota bene mayoritas muslim, mengingat Uni Soviet sendiri berhaluan komunis. Maka dimulailah teriakan-teriakan kesakitan, kesedihan, dan kemarahan dari masyarakat Afghanistan yang membumbung tinggi.

Intervensi (baca: penjajahan) oleh Uni Soviet terhadap Afghanistan ini berujung pada pecahnya perang militer. Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Pakistan sepakat untuk membentuk dan membiayai sebuah pasukan guna melawan intervensi Uni Soviet. Kesepakatan ini tentu mudah ditebak motifnya, mengingat pada dekade 1970-an adalah masa-masa perang dingin antara Blok Barat (Amerika Serikat dan sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya). Kelompok yang dibentuk dan didanai atas kesepakatan ini adalah apa yang hari ini kita pahami sebagai: Kelompok Mujahidin. Dan tahun 1986 kelompok Mujahidin berhasil memukul mundur kekuatan militer Uni Soviet.

Advertisements

Mundurnya kekuatan militer Uni Soviet dari Afghanistan tidak begitu saja mengakhiri konflik yang ada. Momentum atau babak baru yang berdarah pun pecah, yang melibatkan kelompok Mujahidin dan pemerintahan Afghanistan yang waktu itu di bawah Presiden Najibullah. Karena pemerintahan waktu itu masih dalam setiran Uni Soviet, sehingga timbulah perlawanan dari kelompok Mujahidin. Pemerintahan Najibullah pun berhasil ditumbangkan, selaras dengan selesainya perang dingin.

Lantas di tengah proses rekrontruksi-rekonsiliasi pemerintahan baru Afghanistan pecahlah perang saudara, dalam hal ini adalah antara kelompok Mujahidin moderat yang berhasil menumbangkan pemerintahan Najibullah dengan faksi Mujahidin dari wilayah pinggiran yang keras. Faksi Mujahidin pinggiran pun berhasil menumbangkan kelompok Mujahidin moderat. Dan faksi Mujahidin pinggiran tersebut adalah cikal-bakal dari Taliban.

Taliban dan Afghanistan

Taliban dan Afghanistan adalah dua hal yang berbeda, namun sangat lekat kaitanya. Terkadang saling tumpang tindih, saling serang, atau pun selaras dalam beberapa visi. Bagaimana pun relasi  antara pemerintah Afghanistan dengan Taliban, rakyatlah yang selalu ketar-ketir menjadi korban. Pendeknya, pemerintah Afghanistan diisi oleh rakyat Afghanistan, dan berlaku juga pada kelompok Taliban, bahwa mereka “mayoritas” yang nota bene adalah juga rakyat Afghanistan. Dan hal ini berujung pada hegemoni pemerintahan di tanah air Afghanistan, dengan adanya dua otoritas kekuasaan besar yang menguasai dan memerintah.

Mengutip dari beberapa literatur politik, Taliban berkuasa di Afghanistan dari tahun 1996-2001. Visi dan misi ketika Tabliban berkuasa berseberangan dengan faksi perjuangan melawan Uni Soviet, yakni membebaskan rakyat Afghanistan dari penjajahan dan perbudakan. Taliban menjadi petaka besar bagi Afghanistan itu sendiri dengan menegakkan model pemerintahan yang represif. Mereka memberlakukan hukum hudud yang begitu ketat, mendiskriminasi kaum perempuan, dan menyerang rumah ibadah yang juga sesama muslim yang tidak sepaham (moderat) dengannya. Kekuasaan Taliban berakhir ketika Amerika Serikat menggulingkannya dengan dalih melindungi pemimpin al-Qaeda pasca peristiwa berdarah (serangan teroris) serangan WTC 9/11 di New York.

Apakah invansi militer oleh Amerika Serikat terhadap Taliban telah mengakhiri gejolak sepenuhnya? Tidak! Meskipun Taliban digempur habis-habisan dan digulingkan, nyatanya kekuatan dan semangat ekstremis Taliban masih menyala-nyala. Mengutip jurnal Timline: The Fall of Kabul, pada kisaran awal tahun 2006-2009 pemberontakan dan serangan Taliban membesar kembali. Pemerintahan pun kembali chaos, dan beberapa provinsi di selatan Afghanistan jatuh ke tangan Taliban. Hal ini menjadi momentum yang berkesinambungan; kekerasan, teror, pemberontakaan terus dilakukan oleh Taliban.

Taliban sendiri mengakui dan bertanggung jawab atas serangkaian serangan dan teror yang dilakukan. Melansir dari laman berita CNN bulan Febuari 2020, Sirajuddin Haqani, Wakil Pemimpin Taliban, menjelaskan serangan yang dilancarkan tersebut bukanlah atas keinginan kelompoknya, melainkan dalam hal pembelaan diri atas serangkaian serangan militer Amerika Serikat. Hal ini wajar, karena militer Afghanistan sendiri juga ketar-ketir menghadapi Taliban, sehingga serangan dan pembersihan paling intens dilakukan oleh militer Amerika Serikat dengan daya yang begitu besar dan masif. Tetapi, bagaimana pun dalihnya, rakyatlah yang paling banyak menjadi korban atas tindakan saling serang kedua belah pihak.

Dalam kurun satu dekade tersebut, antara pihak pemerintah Afghanistan, Taliban, dan militer yang terjun di Afghanistan sudah beberapa kali melakukan pertemuan, yang tak lain tujuannya untuk menemukan titik temu: perdamaian. Bulan Juli 2019, pihak Taliban dan perwakilan pemerintah Afghanistan berkunjung ke Indonesia, untuk berembuk yang dimediasi oleh pemerintah Indonesia. Dari pemerintah RI diwakili Jusuf Kala, Kementrian Luar Negri RI, Badan Inteljen RI, DPR-MPR, dan PBNU.

Puncaknya, pada 29 Febuari 2020, disepakatilah perjanjian damai antara Taliban-Amerika Serikat di Qatar. Dan dihasilkanlah kesepakatan: kedua belah pihak mengurangi serangan, ditariknya militer Amerika Serikat selambatnya 14 bulan dari kesepakatan. Dengan catatan, Taliban tidak boleh/harus mengurangi serangan terhadap Amerika Serikat dan sekutunya (beberapa negara-negara superior Eropa ).

Pada awal Juli 2021, sedikitnya 90 persen kekuatan militer Amerika Serikat ditarik dari Afghanistan untuk menindaklanjuti kesepakatan damai di Qatar. Dan apakah hal ini mengantarkan pada perdamaian dan kestabilan di Afghanistan? Jawabanya, tidak. Taliban semakin berulah dan mengganas. Rangkaian serangan semakin intens. Melansir dari CNN, serangan Taliban tercatat menjadi salah satu yang paling masif. Setidaknya 400 distrik dikuasai Taliban dalam rentang dua minggu. Pasukan militer Afghanistan sendiri sampai melarikan diri ke Tajikhistan, karena negerinya dikepung serangan Taliban.

Sudut Pandang Indonesia

Bagaimana melihat situasi Afghanistan dari sudut pandang Indonesia? Semangat jihad dan perang (terorisme) berdasar keyakinan agama (Islam) sangatlah luar biasa. Ketauhidan yang tinggi dengan pemahaman yang keliru berimplikasi pada tindakan ekstremis yang terus beregenerasi. Buktinya, Taliban diserbu habis-habisan oleh Amerika Serikat selama dua dekade tetapi semangat juangnya masih berkobar, bahkan hari ini menindih pemerintah Afghanistan. Situasinya mirip-mirip dengan di Indonesia. Meskipun HTI, FPI, dan ormas radikal lainya sudah dibubarkan, tetapi simpati dan pemahamannya masih mengakar. Maka hal ini tidak bisa dianggap selesai begitu saja. Deradikalisasi harus tetap digencarkan. Dan jika ada yang berdalih terlalu sibuk mengurusi “radikal-radikul”, lantas apa pembandingnya: Apakah kita mau seperti Afghanistan dan negara Timur Tengah lainya? Mudahnya, jangan sampai kita meremehkan kekuatan atau potensi radikalisme sekecil apa pun, karena itu nyata dan bisa membesar dalam sekejap.

Posisi Indonesia dalam konflik Afghanistan setidaknya bisa dilihat dari dua hal besar. Pertama, sebagai juru dan mediator kedamaian Afghanistan, sama halnya dengan Palestina, bahwa teror, radikalisme, ekstremisme harus dihapuskan guna terciptanya keamanan dan kestabilan nasional dan internasional. Kedua, sebagai refleksi dan pembelajan berbangsa dan benergara kita. Berangkat dari dua sisi ini, maka seperti yang kita tahu, pemerintah RI dengan berbagai steakhorlders (ormas dan orgnisasi terkait) selalu mengupayakan dan menyuarakan stabilitas perdamaian di Afghanistan. Dan di dalam kehidupan nasional berbagai pihak terus mengupayakan juga menjaga rajutan toleransi, kemajemukan kehidupan beragama dan bernegara di Indonesia tercinta.

Mengenai sisi pertama, mengutip jurnal Mukadimah UIN Sumatera Utara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan posisi dan peran Indonesia dalam mewujudkan dan menjaga perdamaian di Afghanistan adalah dalam menggalang dukungan internasional untuk proses perdamaian di Afghanistan, membangun rasa saling percaya (trust building), dan pembangunan bina-damai (peace building) melalui capacity building untuk aparatur negara maupun kelompok masyarakat sipil. Dan hal ini terus dibawa dan dibicarakan oleh Indonesia dalam segala forum perdamaian. Mengingat, Indonesia adalah negara “satu-satunya” yang statusnya dihormati dan mendapat kepercayaan dari kedua belah pihak (Taliban dan pemerintah Afghanistan) untuk mengupayakan dan memediatori perundingan damai di tanah air Afghanistan.

Kontribusi dan kerja sama Indonesia dalam mewujudkan perdamaian di Afghanistan telah terjalin sejak lama. Mulai dari sisi politik, ekonomi, hingga pendidikan. Indonesia terus mengupayakan segala cara untuk mewujudkan tujuan besar tersebut. Meskipun, nota bene Indonesia tidak termasuk circle aktor dalam pihak ketiga konflik Afghanistan. Pihak ketiga dalam konflik Afghanistan adalah Pakistan, Arab Saudi, Turki, dan beberapa negara superior Eropa. Dan inilah salah satu yang menjadikan Indonesia sebagai pihak yang sangat dipercayai oleh Taliban-pemerintah Afghanistan. Bahwa Indonesia adalah pihak netral, tanpa kepentingan, dan sudah banyak menelan air garam dalam urusan mediasai dan upaya perdamaian.

Lantas sisi kedua, ini adalah urgensi dan poin yang juga besar bagi Indonesia. Kita harus mengambil konflik Timur Tengah, khususnya Afghanistan, sebagai refleksi dan pembelajaran besar. Taliban sendiri juga diisi oleh anak-anak Mujahidin. Dan dapat kita bayangkan jika anak-anak di Indonesia juga terjerumus dalam hal serupa. Bisa saja potensi kehancuran kita lebih parah, mengigat di Indonesia diisi oleh berbagai entitas. Termasuk, Taliban adalah faksi kecil pinggiran yang sebenarnya tidak diperhitungkan, mengingat daya dan kelompoknya kecil. Tetapi semangat kekeliruan dalam memahami agama menjadikannya kelompok yang berapi-api dan meluluhlantahkan tanah air Afghanistan.

Kemudian pertanyaanya, apakah Indonesia aman dari potensi-potensi tersebut? Jawabanya tidak. Kita hari ini juga dibayang-bayangi dengan hal serupa, meskipun daya dan skalanya tidak terasa. Dari catatan sejarah, kita tahu DI/TII, HTI, FPI, yang selalu bikin gaduh dan onar. Pihak-pihak tersebut mengemas sisi radikalis dan ekstremis dengan wadah agama. Dan buktinya? Simpatisanya membludak di mana-mana. Dan rakyat merasakan sendiri bagaimana sakitnya dan terlukanya karena opini, sumpah serapah, dan argumentasi-argumentasi keliru dari mereka. Mereka memang belum sampai pada posisi angkat senjata (potensi ini ada), tetapi efek kegaduahan dan keributannya sudah luar biasa. Dan dapat kita bayangkan, jika negara tidak tegas, rakyatlah yang akan sengsara.

Pendek kata, tidak ada negara yang aman dari bayang-bayang terorisme, radikalisme, dan ekstremisme. Meskipun itu toh negara-negara Islam superior dengan segala kekuatannya: Saudi Arabia, Turki, Mesir. Mereka adalah negara besar dengan kekuatan yang besar. Tetapi bayang-bayang terorisme, radikalisme, dan ekstremisme masih lekat dalam negaranya.

Lantas Indonesia yang rakyatnya beragam dengan perbedaan agamanya bagaimana? Jika kita lengah dan terlalu leha-leha, tidak berlebihan jika bisa saja sampai pada konflik berdarah, seperti apa yang pernah dicatat oleh sejarah kita. Maka Afghanistan adalah pembelajaran dan refleksi bagi Indonesia dan kita sebagai rakyat yang beragama. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan