Ramadan Mengajarkan Kesederhanaan

217 kali dibaca

Gerbang ampunan yang telah lama dinanti-nantikan itu akhirnya kembali terbuka lebar. Setelah menunggu 11 bulan lamanya, bulan penuh kemuliaan itu sudah tiba. Sudah sepantasnya kita bersyukur kepada Allah Ta’ala dengan segala sifat rahman dan rahim-Nya yang telah memberikan kita nikmat keimanan, kesehatan, dan kesempatan untuk dapat menunaikan rukun Islam keempat ini.

Ramadan menjadi pembasuh dosa-dosa yang penuh kita lakukan selama hidup. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi jika ingin bebas dari segala dosa tersebut, yaitu siangnya harus dilalui dengan shiyam dan malamnya dengan qiyam. Kombinasi puasa dan salat yang diniatkan dengan ikhlas dan hanya mengharap balasan dari-Nya semoga akan memudahkan terampuninya dosa-dosa yang sudah kita lakukan di masa lalu.

Advertisements

Ramadan pada dasarnya adalah syahrul at-tarbiyyah. Bulan pendidikan yang membentuk keimanan, kepribadian dan pola hidup kita di masa depan. Kesederhanaan menjadi kata koentji bahwa puasa itu bukan mengajarkan sifat berlebihan bahkan kemubaziran layaknya fenomena yang lazim kita lihat saat sekarang.

Ketika waktu menjelang berbuka alias ngabuburit tiba, masyarakat berduyun-duyun penuh sesak memadati penjual takjil yang ada di pasar-pasar hingga di pinggir jalan. Mulai dari berbagai jenis es, bubur, kolak, jus, gorengan hingga jajanan pasar lainnya. Semuanya berlomba-lomba untuk memuaskan hawa nafsunya yang tak tertahankan, persis layaknya orang yang sedang kesurupan.  Istilah ini yang akrab kita  kenal dengan “puasa balas dendam”.

Namun, anehnya ketika lantunan azan berkumandang, hanya dengan mengunyah beberapa potong kue dan seteguk air sudah cukup rasanya untuk mengenyangkan perut yang seharian kosong. Apa boleh buat, memang masih beginilah cara berbuka puasa kita.

Padahal, esensi berbuka puasa sesungguhnya adalah kesederhanaan dan kesyukuran setelah 13 jam lebih menahan lapar, haus, serta hal-hal yang membatalkan puasa. Bukankah seseorang baru merasakan nikmatnya sesuap makanan setelah merasakan lapar? Itulah syariat puasa, mengajarkan bahwa pentingnya empati terhadap sesama yang nasibnya lebih tidak beruntung daripada kita. Puasa insyaallah akan mendidik kita untuk terus bersyukur dengan semua keadaan yang kita alami saat ini.

Kisah Rasul Berbuka 

Rasulullah sebagai uswatun hasanah belum pernah didapati mencontohkan dalam hadis cara berbuka puasa seperti yang saat ini kita lakukan. Beliau berpegang pada prinsip kesyukuran, kesederhanaan, dan kebersahajaan.

Nabi tidak pernah sekalipun memanfaatkan statusnya sebagai kekasih Allah untuk bermewah-mewah dalam hal apapun, termasuk soal urusan perut.

Dalam hadis, Nabi mencontohkan untuk berbuka puasa dengan kurma basah, jika tidak ada dengan kurma kering, jika tidak ada juga dengan beberapa teguk air. Dilansir dari NUOnline mengutip dari kitab As-Syamail Muhammadiyyah karya Imam At-Tirmidzi, disebutkan bahwa Nabi pernah suatu kali berbuka puasa sunah dengan menu yang bernama hais. Takjil dengan cita rasa manis ini merupakan sejenis adonan kue yang dibentuk bulat-bulat dan terbuat dari campuran kurma, minyak samin (mentega), keju, dan tepung.

Hadis tentang berbukanya Nabi dengan kurma atau menu kombinasi kurma sebenarnya tak boleh dipahami secara tekstual saja. Memakan kurma memang sunah Nabi, tapi bukan berarti hanya memakan kurma saja yang sunah.

Apabila tidak memiliki kurma untuk berbuka, boleh dengan makanan atau minuman lain yang tak kalah manis dengan kurma, seperti buah semangka atau dengan segelas teh manis.

Ulama besar Nusantara Syekh Nawawi Al-Bantani yang menjadi imam besar di Mekkah setelah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi  mengqiyaskan untuk berbuka dengan makanan atau minuman yang hampir sama tingkatan manisnya dengan kurma ketika berada di daerah yang memang tidak ditumbuhi pohon kurma. Beliau pernah mengajarkan kepada murid-muridnya di Mekkah untuk berbuka dengan buah rambutan manis sebagai pengganti kurma saat berbuka. Hal ini merupakan contoh sederhana pengaplikasian hadis sesuai demografi masing-masing daerah.

Rasulullah sebagai teladan sungguh mencerminkan pribadi yang penuh rasa syukur dan tawadhu. Paling banyak beribadah, namun paling sedikit makan dan tidurnya. Bahkan, beliau pernah tidak memakan makanan apapun selain dari kurma dan air.

Coba bandingkan dengan cara berbuka kita, paling banyak makan dan tidurnya namun paling malas ibadahnya. Salat tarawih hanya penuh saat malam pertama, selanjutnya shaf salat semakin mengalami “kemajuan”. Ya, semakin hari semakin “maju” hingga hanya menyisakan imam, Bilal tarawih dan 1-2 shaf jamaah. Belum lagi dengan acara bukber atau buka puasa bersama yang kita praktikkan, entah itu bukber dengan keluarga, saudara, ataupun teman sejawat yang sampai-sampai melewatkan salat maghrib berjamaah. Sungguh celaka model puasa kita ini.

Bukan Bulan Pembalasan

Penting bagi kita untuk tidak mempraktikkan cara berbuka puasa yang berlebihan. Jika memang ingin membeli lebih, maka lebihkanlah untuk disedekahkan kepada saudara, tetangga, atau masjid. Jika tidak, berbukalah dengan membeli takjil seperlunya. Hal ini tentulah lebih baik jika kita mengetahui.

Berbuka puasa secara berlebihan hanya akan melemahkan badan, menjadikan malas beribadah, mengantuk, dan menimbulkan berbagai penyakit. Terakhir, puasa itu hakikatnya bulan yang mengajarkan kesederhanaan, bukan bulan pembalasan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan