Puasa dan Pembentukan Karakter Remaja

628 kali dibaca

Saat ini seluruh umat muslim di dunia tengah menjalankan ibadah puasa Ramadan. Ini merupakan momentum yang sangat tepat bagi kita untuk meningkatkan kualitas ibadah baik yang wajib maupun sunnah. Tidak hanya perihal ibadah yang hubungannya dengan Allah, namun juga dengan sesama manusia dan makhluk hidup lainnya.

Puasa Ramadan adalah ibadah wajib seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”. Jelas sekali bahwa ayat ini diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman sehingga puasa menjadi media untuk menumbuhkan rasa takwanya kepada Allah SWT. Namun nyatanya ayat ini belum dimaknai secara mendalam, sehingga kebanyakan mereka berpuasa sekadar untuk menggugurkan kewajibanny, sehingga hanya mendapatkan lapar dan dahaga.

Advertisements

Sesungguhnya, ibadah puasa memiliki korelasi dengan perilaku seseorang. Melalui serangkaian penelitian yang sudah pernah dilakukan, terbukti bahwa puasa memiliki korelasi dengan pengendalian diri, menumbuhkan sikap prososial, dapat menjadi intervensi bagi individu yang mengalami problem psikologis, terutama pada mereka yang masuk dalam fase remaja.

Perlu diketahui bahwa remaja memiliki dinamika psikologis yang cukup kompleks, terutama pada aspek emosional dan sosial. Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan dewasa. Remaja belajar untuk menyesuaikan diri dengan menjadi individu yang mandiri. Belajar untuk lepas tidak bergantung pada  figur otoritasnya. Mereka memiliki tugas perkembangan yang harus dilakukan misalnya independen secara emosional dan sosial.

Tentu bukanlah hal yang mudah bagi seseorang menjalani masa remaja dengan baik. Pergulatan batin mereka menunjukkan begitu sulit fase ini. Belum juga adanya stereotipe dari masyarakat di mana remaja sebagai pribadi yang merusak, sulit dipercaya, sering melakukan tindakan kriminal, tidak bertanggung jawab. Apalagi diperkuat dengan berita di berbagai media, yang menayangkan aksi bejat sekolompok remaja atau individu yang melakukan tindak kejahatan. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak pejabat pajak misalnya, atau kasus pembacokan yang dilakukan oleh sekelompok remaja. Belum juga kasus kesehatan mental lainnya yang dialami oleh banyak remaja yang mungkin lepas dari sorot media.

Tentu ini menjadi problem yang bisa merusak citra positif dari remaja itu sendiri. Oleh karenanya menjadi tantangan bagi remaja untuk menepis anggapan bahwa remaja adalah individu yang emosional. Melalui momen puasa inilah, remaja bisa belajar untuk tumbuh sebagai karakter pribadi yang positif.

Karakter itu meliputi pemikiran (kognitif), sikap (attitude), perilaku, motivasi, dan keterampilan diri. Karakter positif dapat dibentuk melalui ritual ibadah puasa. Pada aspek kognitif, misalnya, remaja lebih mampu berpikir dengan jernih, bahkan berdampak pada prestasi akademik. Mereka menjadi mudah berkonsentrasi pada satu tugas sekolah. Pada aspek afeksi, puasa melatih kesabaran, emosi  lebih stabil, peka, dan empati. Sedangkan, aspek perilaku, remaja menjadi displin terutama dalam managemen waktu. Karekter positif tersebut secara langsung berdampak pada kesehatan mental dan fisik remaja.

Rasanya tidak mungkin, ketika seorang remaja sedang menjalankan ibadah puasa, di saat bersamaan melakukan perilaku-perilaku yang tercela. Jikapun ada di antara mereka, remaja yang berpuasa juga melakukan hal-hal diluar kendali seperti merusak atau bertindak secara kriminal, maka mereka belum memaknai puasa sebagai rangkaian ibadah untuk mendapatkan predikat takwa.

Definisi takwa sangatlah luas. Unsur ketakwaan itu sendiri adalah memperoleh ketentraman hidup dengan melakukan pengendalian diri dari perbuatan yang keji dan munkar. Oleh karenanya, untuk menanamkan nilai-nilai karakter positif bagi remaja, maka memang perlu dibangun lingkungan baik fisik maupun sosial yang kondusif melalui keteladanan dalam keluarga, misalnya di saat orang tua dan anak-anak berkumpul bersama, di sekolah misalnya membuat agenda tadarus selama bulan puasa, bersedekah, atau melaksanakan agenda salat sunat berjamaah.

Sedangkan, dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, remaja dengan komunitasnya dapat melakukan kegiatan sosial dengan membantu sesama. Jika semua unsur, baik sekolah, keluarga, maupun masyarakat yang lebih luas ikut andil dalam pembentukan karakter remaja, maka kita yakin dan opitmis bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa yang berkarakter, masyarakatnya yang bermoral dan berintegritas, serta memiliki sikap yang arif dan bijaksana.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan