Prisma Pemikiran Gus Dur (1): Anomali Sang Wali

969 kali dibaca

Ada salah satu buku yang juga berjudul Prisma Pemikiran Gus Dur, tetapi tujuan tulisan ini bukanlah hendak memberikan ulasan tentang buku itu, melainkan hendak “mengintip” bagaimana Gus Dur memainkan kaca matanya, sudut pandangannya, dan logikanya dalam membedah suatu hal ―yang boleh jadi agak sedikit-banyak berbeda dengan umumnya orang.

Untuk keperluan analisis, tulisan ini menggunakan esai-esai Gus Dur yang terkumpul dalam buku Tuhan Tidak Perlu Dibela (diterbitkan LKiS di tahun 1999). Tidak ada alasan khusus kenapa buku ini yang digunakan, selain alasan kepemilikan.

Advertisements

Esai-esai Gus Dur memang banyak tersebar di berbagai media dan bunga rampai. Tapi beberapa esai ―sependek hemat penulis― punya kelugasan tersendiri dalam memantulkan prisma pemikirannya.

Prisma pemikiran seseorang dapat ditelusuri dengan mengidentifikasi komposisi kata yang digunakannya, tata gramatikanya, cara ia mengorganisasi posisinya sebagai penulis/pengamat, dan jejak-jejak referensi berpengaruh yang digunakannya.

Prisma pemikiran umumnya merupakan produk dari posisi sosial seseorang, entah itu posisi jabatan, status, ideologi, pandangan, dan lain sejenisnya. Kadang, seseorang dengan posisi tertentu hanya memiliki satu prisma pemikiran. Dan kita dapat mengenalinya seketika saat ia berbicara.

Dalam beberapa kasus, kadang ditemukan juga segelintir orang yang omongannya merefleksikan beberapa prisma pemikiran. Pantulan ini dapat dikaitkan dengan keragaman tema bacaan dan lingkaran pertemanan yang ia miliki. Gus Dur sering kali dikenal sebagai seorang kiai, wali, pluralis, dan intelektual.

Tiga predikat yang paling awal disebutkan, agaknya punya nilai tersendiri yang saling berkaitan. Sementara satu predikat yang belakangan disebut, dapat diperdebatkan. Dua orang dengan afiliasi yang berbeda dapat saling memperdebatkan antara keutamaan intelektual Islam dan keutamaan intelektual Barat, misalnya.

Greg Barton pernah menilai, Gus Dur adalah sebuah anomali: tak ada di dunia ini yang satu sisi diagungkan sebagai wali, tapi di lain sisi juga dipuji sebagai pemikir liberal. Predikat wali dan pemikir liberal adalah dua kutub yang di tengah-tengahnya memuat keragaman spektrum lain yang bisa dijelajahi.

Misalnya, predikat Gus Dur sebagai kiai. Predikat kiai identik dengan posisi yang selalu suportif terhadap nilai-nilai dan ekspansi situs keislaman. Tapi dalam esai Qasidah (1982) dan esai Mereka Lalu Membuat Surau (1983), Gus Dur menempatkan dirinya pada posisi yang kontras.

Musik Islam umumnya disorot berdasarkan muatan ideologi dan doktrinnya. Sorotan yang kadang menumbuhkan pujian ataupun pembelaan nyaris fanatis. Di esai Qasidah, Gus Dur meninjau ulang apakah musik Islam cukup representatif untuk merepresentasikan umat Islam kalau hanya mengedepankan aspek ideologi dan doktrinnya, sementara mengabaikan ―misalnya― aspek kualitas sastrawi lirik dan teknik komposisi? Di esai Qasidah, Gus Dur menyatakan testimoninya yang bersebrangan dengan fanatisme ideologis ataupun doktrin:

“… Juga lirik Arabnya, yang tidak dimengerti bangsa kita, salah informasi. Belum lagi diingat mutu suara penyanyinya, yang tampak tak pernah dibekali pengetahuan teoritis tentang musik dan latihan menyanyi di tangan ahli … Penulis sendiri tidak lagi pernah dapat lepas dari pengaruh lagu ini [Fairuz- A’tini an Naya], yang judul Indonesianya berbunyi ‘Berikan Padaku Seruling’ yang sudah berusia dua dasawarsa. Seperti juga penulis tidak lepas dari karya Beethoven dan Bach yang terasa membawakan keagungan dan kebesaran Tuhan … Yang jelas, penyajian acara qasidahan sebagai representasi ‘musik Islam’ dalam bentuknya yang sekarang memang harus ditolak.”

Selain di isu musik, fanatisme juga kerap melekat pada situs keislaman: ekspansi situs keislaman seperti masjid atau musala kadang dipandang sebagai indikator maju atau tidaknya Islam. Esai Mereka Lalu Membuat Surau bercerita tentang diaspora mahasiswa muslim yang kuliah di luar negeri yang bergairah mengembangkan dan “menghidupkan” agamanya, tapi di saat yang sama juga bingung mencari posisi sosial dalam masyarakat asing.

Mereka Lalu Membuat Surau adalah lukisan etnografis tentang keruwetan administrasi, kesulitan lapangan kerja, keterbatasan privilledge sebagai “minoritas”, perjuangan menikah dengan saudara sebangsa-seagama, hingga mencari tempat aktivitas dan kerentanan sosial sejenis yang dialami kelompok kecil bernama “mahasiswa muslim”. Di bagian penutup Gus Dur menulis:

“Setiap warga kelompok kecil perantau itu memberikan subangan tenaganya, di samping dana. Ada yang mengerjakan pembuatan dinding, ada juga yang memasang pipa ledeng. Sementara yang lain bertukang, juga memasang instalasi listrik. Jam-jam yang begitu dihargai dengan upah sekian puluh gulden kalau bekerja di pabrik, diberikan cuma-cuma. Dengan begitu, tercapailah titik kulminasi yang melambangkan pola kehidupan mereka selama sepuluh tahun di rantau orang: membuat mushala. Kiprah yang indah. Seindah kiprah rakyat kecil.”

Tahun 2016-2019, populisme (Islam) meledak di Indonesia. Sebabnya tidak lain berakar dari perasaan keterpinggiran umat muslim dari kue ekonomi dan politik. Maka muncullah sentimen antagonistik terhadap identitas liyan, seperti Kristen dan Cina yang identik sebagai kelompok kaya. Eropa juga mengalami hal serupa. Hanya beda formasi identitas. Di Eropa, orang kulit putih merasa terancam secara kultural dan ekonomi karena banyak muslim dan migran yang mulai memenuhi negara mereka.

Bertanggal 5 Februari 1983, esai Mereka Lalu Membuat Surau itu ditulis. Dengan kata lain, esai ini pada dasarnya menggambarkan Gus Dur sedang memetakan faktor-faktor populisme seperti perubahan demografi (kependudukan dan ketenagakerjaan), perasaan keterpinggiran, eksklusi struktural, perasaan keterancaman, partikularisme, dan keterasingan. Jadi, ekspansi situs keislaman tidak selalu mengindikasikan hal positif, tapi bisa juga berkorelasi erat dengan masalah sosial yang mungkin sedang bergejolak di baliknya.

Dua esai yang telah diuraikan menyiratkan bahwa ada pengaruh referensi [musik] dan sudut pandang yang berbeda terhadap cara Gus Dur menempatkan posisi dirinya dalam membahas suatu isu, sehingga mengantarkannya pada kesimpulan-kesimpulan yang boleh jadi kontras dengan umumnya orang bila menyandang predikat kiai.

Di esai Qasidah tersemat selera musikal ala Eropa, di samping juga adanya pengaruh pertemanan Gus Dur dengan lingkaran seniman ―yang diceritakan di bagian pembuka dari esai Qasidah. Sedangkan, di esai Mereka Lalu Membuat Surau, terlihat bahwa Gus Dur menempatkan diri sebagai orang ketiga, yang seakan terpisah dari identitas yang sedang dibahasnya (Islam), sehingga mampu melihat pola-pola makro yang kemudian dinarasikan secara etnografis.

Mengintip Prisma Pemikiran Gus Dur bagian selanjutnya akan membahas tentang bagaimana Gus Dur memainkan kaca mata analisisnya ketika membedah suatu isu: mengapa tulisan Gus Dur kadang terasa berjarak, kadang terasa Marxis, dan kadang terasa dinamis.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan