Prabu Bayangan

1,967 kali dibaca

Kakek sedang asik membersihkan tumpukan wayang lamanya, di depan Televisi yang sedang menyiarkan berita, di ruang tamu yang sepi penghuni. Sang cucu sedang asik menjalankan mobil mainannya di kamar. Meluncurkan imajinasinya, melarutkan kesenangannya. Mereka melakukannya sepanjang pagi. Orang-orang dewasa lainya sedang bekerja di luar. Dengan kesibukan dan rutinitas yang melelahkan.

Menjelang siang si cucu merasa bosan sendirian. Jemu hanya bermain dalam kamar dengan penuh mainan. Dari yang manual, imajinatif, sampai edukatif. Akhirnya ia keluar kamar untuk pertama kalinya pagi ini. Sang kakek masih asik dengan wayangnya, kenangannya, dan cerita di baliknya. Si cucu yang dari dapur menggenggam segelas air putih menghampiri kakeknya.

Advertisements

“Itu wayang kakek?”

“Iya, barang berharga kakek.”

“Oh, aku tahu ini….”

Si cucu mulai menyebutkan satu per satu tokoh wayang yang ada di kotak lama kakeknya. Dari mulai Arjuna hingga seterusnya. Setahu yang dia pelajari, sekuat yang dia ingat dari pelajaran sekolah. Namun ada satu sosok yang tak dia tahu. Bentuknya seperti perawakan wayang kesatria, namun batiknya hitam abu-abu, coraknya kusam dan tak mencolok layaknya wayang lain. Namun yang tak sama itu membuat ketertarikan sediri di hati bocah itu.

“Hmm… ternyata seleramu memang bagus nak,” jawab kakek sebelum sang cucu bertanya.

“Ini… wayang apa?”

“Prabu Bayangan,” jawab kakek tegas dan singkat. Dengan nada agak dibesar-besarkan dan membusungkan dada.

Cucunya semakin kebingungan. Dalam beberapa kisah yang dia tahu tak pernah ada tokoh itu. Atau mungkin dia yang masih kurang dalam mempelajari kisah pewayangan. Namun dia masih berkutik dalam benaknya saja. Seakan menggali-nggali pengetahuannya yang hilang. Padahal memang tak pernah ada.

“Wayang adalah manifestasi sifat manusia,” ucap pak tua itu masih dengan mengelapi wayang-wayangnya.

Bahkan, katanya, mereka adalah bentuk manusia yang dimasukkan dalam sebuah kisah, dibekukan oleh sejarah, dan lalu dialirkan oleh waktu. Hingga saat ini kita masih bisa mengenangnya. Pun, seperti sang Prabu Bayangan ini. Adalah manifestasi kesepian yang sejati, bentuk keikhlasan sebenarnya.

“Bukankah semua juga berjuang, kek?”

“Iya, menurut kebenaran yang mereka genggam.”

Tapi tidak dengan Prabu Bayangan. Dia menggenggam kebenarannya lebih kuat dari segalanya. Bahwa bayangnya tak pernah berpihak pada cahaya atau kegelapan. Pernah sekali sisi cahaya dan sekali sisi kegelapan mengulurkan tangan. Mereka berbicara tentang impiannya masing-masing. Menjunjung harapannya sendiri-sendiri. Namun sang Prabu berdiri lalu membelakangi mereka dan berkata, “Bagi kalian harapan adalah kunci, tapi bayangan tak pernah punya pengharapan,” lalu dia pergi kembali ke tempatnya semedi.

Dalam menyimak cerita kakek, si cucu sempat terkesima dengan sosok Prabu Bayangan. Di sebuah perang tak ada kebenaran sesungguhnya. Saat itulah di mana manusia dan hewan tak lagi bisa dibedakan sifatnya.

“Lalu Prabu Bayangan memilih pihak mana, kek?” sela sang cucu pada cerita kakeknya yang membuatnya terkekeh.

“Bayangan hanya mengikuti mereka yang telah mantab hatinya menerima konsekuensi dari perang!” kakek menggoyangkan telunjuk wayang seolah memang Sang Prabu yang berkata padanya langsung.

Namun dari perkataannya tersebut si cucu yang masih belia tak mudeng dengan maksudnya. Lalu Sang Prabu berucap kembali bahwa hanya manusia yang berani mengorbankan seluruh dirinya, jiwa dan raganya dalam sebuah tirakat yang mampu memperoleh bantuan dari Sang Prabu. Bila kedua belah pihak melakukannya, maka tinggal tekad mana yang lebih menancap kuat ke bumi.

“Tirakat itu apa, kek?”

“Ho-ho-ho. Itu laku spiritual untuk menguji diri.”

“Dari apa? Kenapa?” lontar si cucu lagi.

“Dari semua godaan selain tujuan, le. Dan seberat-beratnya musuh ada dalam diri orang itu sendiri.”

Sejak pagi kakek sudah menceritakan berbagai hal tentang si wayang. Cucunya sampai tak sadar mangkuk serealnya telah habis berjam-jam lalu. Angin di luar sudah mulai meniupkan hawa kegerahan. Sebelum membungkus kembali wayang-wayangnya dengan rapi, Sang Prabu kembali dipegang dengan mantab. Dan diarahkan menuju sang cucu.

“Le, dunyo ini bakal semakin hancur ketika manusia semakin kedoniyan. Ketika itu terjadi, maka ikutilah jalanku. Maka Tuhan akan merestui hidupmu,” ucap kakek seolah itu pesan langsung dari Sang Prabu. Lalu mengembalikan wujud sang wayang ke kotak penyimpanannya.

Kedua teman akrab beda usia itu lalu beranjak ke dapur. Mencari makanan untuk lambung mereka yang bergemuruh. Makanan biasanya tersedia untuk mereka berdua sedari pagi hingga sore. Hasil masakan si Ibu yang pagi buta telah bangun, menyiapkan bekal sang ayah. Menyiapkan makanan untuk mereka berdua, dan menyiapkan batinnya untuk kembali bekerja sedari pagi hingga petang. Tak ada yang mereka berdua beri selain makanan dan uang. Untuk masalah kasih sayang dan perhatian, si kakek yang memberikannya untuk saat ini. Entah sampai kapan Izrail datang mengajaknya pergi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan