Potret Relasi Politik-Agama Orang Madura

1,399 kali dibaca

Madura merupakan daerah yang menyimpan banyak potensi sumber daya alam dan manusia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Madura mempunyai sejuta ide, joke, dan cara unik untuk mencairkan suasana maupun ketegangan, baik ketegangan individu, social, maupun politik.

Tidak heran, banyak akademisi, peneliti, bahkan antropolog yang membicarakan tentang Madura. Bagaimana relasi masyarakat Madura dengan kiai-pesantren, pola komunikasi antarsatu daerah dengan daerah lain, corak budaya serta kultur keagamaan yang fanatik dan kontruksi sosial budaya Madura, menjadi bahan kajian yang selalu menarik.

Advertisements

Abdur Rozaki, dalam buku berjudul Islam, Oligarki Politik, dan Perlawanan Sosial ini mencoba memotret, mengulas, dan menghadirkan Madura dari segi agama, budaya, relasi blater dengan oligarki politik, pembangunan sosial, dan perlawanan sosial orang Madura dalam melihat industrialisasi serta pembangunan di wilayah Madura.

Dengan kultur agama yang kuat, masyarakat Madura diuntungkan oleh eksistensi pesantren dengan keluarga ulama, terutama Syaikhona Khollil Bangkalan, sebagai sosok ulama yang santrinya tersebar di mana-mana, bahkan menjadi pucuk pimpinan pesantren di berbagai wilayah Indonesia. Keberadaan Syaikhona Kholil sebagai ulama di Madura menjadikan sebab Madura dan Banten mempunyai titik kesamaan dalam memberikan penghormatan kepada kiai lokal.

Syaikhona Kholil menjadi ulama yang kualifikasinya sangat mumpuni dalam berbagai bidang agama. Kepakaran pada aspek keagamaan dan jaringan ulama dunia menjadi sebab bagaimana Syaikhona mendidik masyarakat sekitar dalam memahami ajaran agama, mengamalkan nilai nilai Islam, memberikan edukasi cara bermasyarakat dengan lemah-lembut, serta memberikan amaliah-amaliah untuk keberlangsungan masyarakat yang bermasalah, sehingga muncullah kecintaan kepada Syaikhona. Kecintaan ini terus dipupuk dengan hadirnya dhuriyah Syaikhona yang menjadi obor penerangan atas segala persoalan yang terjadi di lingkungan masyarakat Madura secara makro maupun mikro.

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Kuntowijoyo memberikan istilah dengan Collective Sentiment, yaitu sentimen kolektif tentang sebuah rasa, ikatan batin, dan identitas keberagaman di dalam masyarakat (hlm16).  Ketiga ikatan tersebut mampu menjadi kekuatan maupun relasi kultural yang menjadi jembatan dalam mewujudkan penghormatan terhadap sosok kiai, khususnya kiai yang dianggap sebagai guru sababi (asal muasaal penyebab) Islam masuk ke Madura.

Tidak hanya itu, relasi sosial dengan kalangan kiai juga menjadi salah satu kekuatan sosial yang mengamankan kondusivitas masyarakat dengan berbagai macam dinamika sosial. Kiai lokal dalam perjalanannya mampu membawa nilai-nilai agama sebagai habitus mayarakat tentang etika berelasi kepada kiai, ulama, terlebih kepada guru sababi sebagai sosok yang sangat dihormati masyarakat.

Dalam perjalanannya, eksistensi kiai sebagai ulama yang dihormati juga membentuk tradisi penghormatan masyarakat kepada bapak-ibu. Sosok kiai ini disebut dengan kiai dheghing, yaitu kiai yang mengajarkan pertama kali warga masyarakat belajar huruf, belajar membaca Al-Quran. Kiai dheghing biasanya sangat dekat secara fisik dan batin dalam rajutan ikatan kultural yang berlangsung lama dengan para keluarga di dalam masyarakat (hlm, 33).

Di samping aspek keagamaan, aspek sosial budaya meliputi dunia para jago/bandit/blater di Madura juga tidak kalah penting. Ong Hok Ham dalam karyanya Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong menyebutkan bahwa istilah blater merupakan kaki tangan pemerintahan kolonial Belanda sebagai bagian dari identitas dan cermin dinamika yang lahir di zaman kerajaan dan terus mengalami perkembangan peran dari era kolonial. Puncaknya, para blater tetap digunakan sebagai back up kebijakan kolonial dan juga ada yang tidak dipakai dan memilih untuk mengambil peran jagoan di masyarakat (hlm 64).

Tekanan masyarakat berlapis-lapis dari pemerintah kolonial, munculnya gangguan keamanan, kebijakan kolonial yang banyak merugikan petani, menjadi beberapa alasan kenapa para bandit/blater/jagoan untuk ambil sikap membela dan mempertahankan keamanan, kenyamanan, dan kesejahteran masyarakat yang mayoritas sebagai petani. Oleh sebab itu, mereka hadir esensinya sebagai respons terhadap ketimpangan sosial yang sengaja dikontruksi oleh rezim kolonial kepada masyarakat sekitar.

Di akhir catatan ini, penulis mengajak kepada para pembaca untuk melihat potensi Madura sebagai pulau yang dikelilingi oleh lautan dengan potensi produksi garam yang melimpah. Tidak aneh jika sebagian besar masyarakat Madura bercocok tanam dan bertani sebagai pekerjaan yang digelutinya. Hetrogenitas suku, bahasa, dan budaya tidak menjadi sebab munculnya masalah antara satu dengan lainnya.

Oleh karena itu, hasil kajian antropologi ini menunjukkan bahwa konflik dan perbedaan  pandangan tidak bisa dihindarkan dari setiap bentuk masyarakat, baik masyarakat yang majemuk maupun yang homogen sekalipun. Oleh karena itu, setiap masyarakat hanya mungkin survive dengan cara menghindari, mengendalikan, bahkan mengelola konflik. Setiap perangkat kebudayaan dilengkapi dengan pranata kelola konflik, tetapi tidak semua  masyarakat berhasil mengembangkan sistem kelola konflik dengan mengikuti dinamika    peubahan sosial. Wallahu a’lam.

Data Buku 

Judul               : Oligarki Politik, dan Perlawanan Sosial
Penulis             : Abdur Rozaki
Penerbit           :IRCiSoD
Tahun terbit     :Juni 2021
Tebal buku       : 333

Multi-Page

Tinggalkan Balasan