Potret Danar

1,468 kali dibaca

“Sudahlah, Mak! Pokoknya biarkan Danar menentukan jalan hidup sendiri. Anakmu ini laki-laki. Beranjak dewasa. Jika tak sesuai harapan Emak apalagi Bapak, setidaknya tolong beri kesempatan!”.

Suara perlawanan Danar begitu menggelegar dan merubuhkan perasaan Emaknya. Tetangganya pun segan untuk memberi nasihat bahkan sekadar mengintip pembicaraan mereka. Watak yang keras kepala dan tegas itu menurun dari sang Bapak yang meninggal ketika Danar masih berumur sebelas tahun. Mungkin ini yang membuat Danar lebih temperamental ketimbang sang Bapak.

Advertisements

Emaknya yang selama ini bekerja sebagai penjual sayur di salah satu pasar dekat kota merasa tak bisa memberi yang terbaik bagi Danar. Terlebih Danar sebenarnya memiliki kemampuan di atas rata-rata remaja seusianya. Emaknya pun tahu apa yang diinginkan oleh anaknya. Semua terpampang jelas di balik pintu kamar tidur Danar. Tak ada yang istimewa memang. Bahkan cenderung sederhana mengikuti pola pikir remaja pada umumnya. Sebenarnya Danar bukan anak tunggal. Diumur delapan tahun tepat setelah sepeninggal sang Bapak, Adik perempuannya telah diadopsi oleh seorang pebisnis yang kebetulan juga kenalan dari sang Bapak.

Selepas perdebatan dengan Emaknya, Danar bergegas pergi menuju kota tetangga dengan menaiki bus. Di kota tersebutlah Danar akan menempuh pendidikan S1. Perguruan tinggi itu pun bukan main, salah satu perguruan tinggi swasta terbaik di negeri ini. Danar mampu menembus masuk ke perguruan tinggi tersebut juga karena beasiswa yang didapatkan ketika masih duduk di bangku SMA. Tak pernah terbesit sedikit pun di hatinya bahwa dia mampu masuk di sana. Toh dirinya tak begitu ambisius untuk melanjutkan pendidikannya dan lebih berambisi menjadi seorang wirausahawan. Namun mengetahui itu, Emaknya mencoba meyakinkannya agar tetap mengambil beasiswa yang didapatnya. Mengingat betapa sulitnya mencari uang.

Semalam, sebelum Danar beranjak tidur, Emaknya mencoba mengobrol dengan Danar perihal keputusan yang ingin diambil olehnya. Danar yang sedang berdiam diri di sofa mulai mengubah posisi duduknya ketika Emaknya datang menghampiri dan duduk di sampingnya. Naluri seorang ibu tak bisa didustakan. Emaknya merasa Danar belum matang menjadi seorang wirausahawan seperti keinginannya. Usia yang masih muda dan rawan ditipu rekan bisnis adalah kekhawatiran yang paling mendalam. Itu juga yang dialami sang Bapak sebelum akhirnya bangkrut. Pun Danar juga belum mempunyai modal yang cukup untuk merealisasikan keinginannya. Emaknya pun berpendapatan pas-pasan.

“Le, Emak inginnya kamu masuk perguruan tinggi. Pikir baik-baik. Kamu belum punya segalanya. Pengalaman? Kamu ingin ambil dari apa yang dialami Bapakmu? Tidak bisa, Le. Modal? Belum ada, Le. Mau pinjam bank, pinjaman Emakmu saja ini sudah banyak. Bisa-bisa kita terlilit utang. Bukan menghasilkan uang.”

“Besok kamu sudah berangkat ke perguruan tinggi. Semua kebutuhan juga sudah Emak siapkan. Mantapkan hatimu ya, Le? Ambil momennya. Ambil kesempatannya. Ini datang tidak dua kali meski kau pintar.”

Danar tak menjawab barang sepatah pun. Melirik wajah Emaknya pun enggan. Bahkan akan membuat hatinya semakin tak karuan. Dia bergegas menuju kamarnya dan menutup pintu. Emaknya juga hanya bisa pasrah dengan kelakuan anaknya serta berdoa agar apa yang diambilnya nanti adalah sebuah keputusan yang benar.

Pagi harinya Danar masih diam tak melontarkan kalimat apa pun. Dari gelagat yang dilakukannya, Danar tampak menyetujui nasihat Emaknya semalam. Dengan muka kecut tentunya. Kemudian Danar mulai berpamitan Emaknya dan tetap diam seribu bahasa.

“Hati-hati, Le,” pesan Emaknya

Danar tetap berjalan tanpa menggubris.

“Le?!” Seru Emaknya.

Barulah Danar berhenti membalikkan muka menghadap Emaknya. Emaknya merasa sedikit berlebihan, takut menyakiti hati putranya.

“Sudahlah, Mak! Pokoknya biarkan Danar menentukan jalan hidup sendiri. Anakmu ini laki-laki. Beranjak dewasa. Jika tak sesuai harapan Emak apalagi Bapak, setidaknya tolong beri kesempatan!”

***

Terlihat dari jauh, bus umum yang menuju kota tujuannya sudah lewat. Danar melambaikan tangan mencoba menghentikan laju dari bus tersebut. Ketika pintu bagian belakang bus tepat berada di depannya, kaki kanannya bergegas menapaki tangga bus. Sedangkan tangannya memegang besi di pinggiran pintu. Kernet bus mencoba meraih tangan dari Danar kemudian menyuruhnya segera mencari tempat duduk yang kosong. Tak dinyana, tak ada satu pun kursi yang kosong. Danar mencoba tak kesal, toh Dia menyadari fisiknya yang masih kuat untuk berdiri. Lama berpikir, Danar tak menyadari tepukan pundak dari si kernet. Danar langsung memahami dan memberitahu kota tujuan serta menyodorkan beberapa lembar uang kepada kernet.

Dia mencoba berpikir kembali tentang nasihat Emaknya serta apa yang telah diputuskannya. Danar juga amat menyesal telah bersikap dingin kepada Emaknya. Danar hanya ingin membahagiakan orang tuanya. Lari dari hidup susah. Mencoba menekuni apa yang ada dalam otaknya. Jika dikatakan egois, Danar juga tak akan menampiknya. Dia memiliki prinsip yang tak bisa diganggu gugat. Meski itu orang terdekatnya sekalipun.

Di tengah lamunannya, bus berhenti di salah satu halte. Mencoba menurunnkan seorang penumpang. Begitulah kiranya menurut Danar. Dia pun duduk dan mengambil jatah kursi kosong yang ditinggalkan si penumpang. Danar mulai tersenyum merasa bersyukur akhirnya mendapatkan tempat duduk. Dia tak menyadari di halte tersebut telah menunggu seorang lelaki paro baya serta seorang pengamen jalanan yang hendak naik ke bus. Pria paro baya yang telah naik dan sedang mencari kursi kosong itu tampak kebingungan. Kernet bus menyarankan pria paro baya tersebut agar tetap berada di depan dengan posisi berdiri. Menyadari hal itu, Danar tampak gelisah. Nuraninya seperti tokoh protagonis dalam cerita pada umumnya, menolak hal itu. Idealismenya terasa ternodai. Danar bangkit dari tempat duduknya. Kemudian mempersilakan pria paro baya tersebut untuk duduk. Pria itu tampak sumringah dan berterima kasih kepada Danar. Giliran Danar yang sumringah. Sedangkan si kernet hanya bisa diam melihat kejadian tadi. Danar merasa telah memberi kebahagiaan meskipun dalam skala kecil. Baik tindakan maupun dampaknya. Dia merasa membutuhkan hal-hal seperti ini dalam kesehariannya. Mencoba berbuat baik kepada sesama atau pun membahagiakan orang lain.

Larut dalam khalayan idealismenya, dia menyadari suatu hal yang amat penting. Tepatnya melupakan sesuatu yang penting. Dia terlalu naif, mencoba memenuhi apa yang dikehendakinya tapi melupakan sesuatu yang memberi segalanya kepadanya. Di mana dia bersikukuh membahagiakan orang lain sekecil apa pun itu, tapi juga lupa bahwa dia harus membahagiakan Emaknya sekecil apa pun itu. Danar amat terpukul. Dia malu terhadap dirinya sendiri. Dia berangkat juga bukan karena telah mengikuti nasihat Emaknya, melainkan karena tak punya pilihan lain. Untuk kesekian kali dia merasa sangat menyesal telah menyalahpahami nasihat Emaknya. Danar merasa terlalu diperbudak idealismenya yang akhirnya malah melupakan hal penting yang selama ini ada bersamanya.

Danar berkabung untuk dirinya sendiri. Suara serak basah beserta permainan harmonika dari si pengamen semakin membuatnya jatuh. Setidaknya Danar telah menyadari potret dari dirinya sendiri. Diberitahu diri sendiri. Benar, seperti ending dalam film drama. Ditutup dengan sesuatu yang indah. Indah menurut kita tentunya atau menurut orang lain.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan