Pondok Al-Qodir, Berdakwah dengan “Jathilan”

3,525 kali dibaca

Pesantren Al-Qodir, begitulah nama yang disandangnya. Ia berada di tengah-tengah Desa Cangkringan, Sleman, kira-kira 33 km sebelah utara Yogyakarta. Lazimnya sebuah desa di Jawa, Cangkringan dimukimi masyarakat tradisional yang masih kuat merawat kesenian rakyat, salah satunya adalah Jathilan.

Berasal dari kata “jan” yang berarti “benar-benar” dan “thil-thilan” yang berarti “banyak gerak”, Jathilan disebut-sebut sebagai salah satu seni pertunjukan rakyat tertua yang hingga kini masih eksis dalam masyarakat Jawa. Jathilan sering juga disebut sebagai Jarang Kepang.

Advertisements

Di tengah masyarakat masih yang masih kuat merawat kesenian rakyat itulah Pondok Pesantren Al-Qodir berdiri dan menjadi bagian darinya (subkultur). Meskipun menyandang predikat sebagai pesantren salafiyah, Al-Qodir justru bergaul akrab dengan komunitas Jathilan dan membuka ruang ekspresi selebar-lebarnya bagi masyarakat setempat.

Al-Qodir didirikan dan diasuh oleh Kiai Masrur pada 1999. Nama pondok dinisbatkan pada nama kakeknya, Qodir. Sebelum mendirikan Pesantren Al-Qodir, Kiai Masrur mengaji selama dua tahun di Pesantren Jampes, Kediri kemudian melanjutkan ke Pesantren API Tegalrejo, Magelang di bawah asuhan Kiai Chudlori, sebuah pesantren yang dikenal memiliki antusiasme dan apresiasi tinggi terhadap kebudayaan khususnya kesenian rakyat.

Kiai Chudlori sendiri mendalami pengajian fikih dan tasawuf pada era 1940-an di Pesantren Darul Hikam Bendo, Pare, Kediri di bawah asuhan Kiai Chozin Muhadjir yang juga apresiatif terhadap kesenian sekitar yang plural. Kini, baik Pesantren Tegalrejo maupun Bendo masih aktif menyelenggarakan pesta seni rakyat. Tiap akhirussanah, misalnya, Pondok Tegalrejo mengundang berbagai komunitas kesenian sekitar dan daerah lain. Di Pondok Bendo, tiap khataman kitab Ihya Ulumuddin empat tahun sekali dilakukan hal yang sama.

Seperti pesantren guru-gurunya, Al-Qodir juga selalu mengadakan haflah (perayaan) akhirussanah, acara penutupan aktivitas belajar di pesantren pada akhir tahun ajaran di bulan Ruwah atau Sya’ban. Di saat itulah, Al-Qodir menggelar pementasan Jathilan besar-besaran, tidak hanya dikuti oleh grup-grup Jathilan setempat, tetapi juga oleh rombongan Jathilan dari berbagai daerah di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Seperti umumnya kesenian rakyat, Jathilan merupakan bagian dari kehidupan komunitas pendukungnya, bahkan merupakan denyut kehidupan itu sendiri. Pada masa Orde Baru, Jathilan diperlakukan tak wajar, dicap “kiri” karena dianggap sebagai bagian dari kesenian rakyat. Namun terbukti, Jathilan tak lekang oleh kekangan.Di Jawa Tengah, seni tradisi ini menyebar di perdesaan-perdesaan daerah Prambanan, Magelang, Wonosobo, dan Temanggung.

Sebagai seni pertunjukan musik dan tari, Jathilan memang khas. Alunan musik sederhana namun dinamis, mengiringi lenggak-lenggok dan dongak para penari jathil. Dan bagi masyarakat Desa Cangkringan, Jathilan seperti ini telah menyatu dalam kehidupannya. Melalui Jathilan, mereka hidup rukun dan damai. Guyub.

“Jangan tanya konflik horizontal di sini, tak akan ada,” tutur sesepuh desa. Di Desa Cangkringan ini, Jathilan bukanlah kesenian komersial yang mampu mendatangkan rupiah. Ia hidup dan dihidupi sendiri oleh seluruh warga desa secara bersama-sama: laki-laki, perempuan, tua, muda, petani, pedagang, dan lain-lain.

Daya tarik kesenian ini ada pada peristiwa ndadi (trance) yang berkat masuknya roh makhluk halus, penari jathil menampilkan adegan atraktif dan mendebarkan: memakan gelas atau kaca (beling), menusuk perut dengan sebilah pisau, menelan bara api, memakan ayam hidup-hidup dan dikubur bak orang mati untuk beberapa saat.

Lalu, kenapa kalangan santri, dan pesantren, justru ikut merawat kesenian rakyat seperti ini?

“Ini, kan, cuma kiasan saja, sebagai contoh yang mengingatkan supaya masyarakat jangan ndadi, karena itu hanya akan merugikan diri sendiri dan orang lain,” begitu kata Bowo atau Begog Singodimejo, sang pawang Jathilan yang cukup kesohor. Ia, dan para seniman Jathilan serta yang lainnya, berkawan akrab dengan Kiai Masrur.

Bowo bahkan pernah nyantri pada seorang kiai di Magelang, dan menggandrungi Jathilan karena kesenian ini popular di kalangan rakyat. Baginya, Jathilan adalah kesenian yang terbuka dan merupakan media efektif untuk sosialisasi, untuk menitipkan pesan-pesan penting di kalangan kaum muda.

Atas dasar olah rasa dan pengalaman, Bowo mencapai maqom spiritual: bermain Jathilan serupa dengan laku wirid dan dzikir dalam tarekat, yaitu senantiasa ingat kepada Allah. Jathilan, dengan demikian, lebih menyerupai forum para pemain dan penonton menyapa Tuhan, belajar merasakan kehadiran-Nya.

Kiai Mahalli, Pengasuh Pesantren al-Mahalli Bantul, Yogyakarta, mengatakan bahwa “Islam tidak melarang sama sekali kesenian. Jangankan bermain gitar atau Jathilan, bermain apa pun jika sampai melupakan Allah juga diharamkan, misalnya bermain dengan istri.”

Menurut Kiai Masrur, “Fikih itu pesanan. Imam Syafii dapat pesanan dari Raja Basra, kemudian dari Raja Mesir. Lha, kenapa kita tidak membuat fikih sendiri, misalnya fikih kesenian, padahal pintu ijtihad itu sampai sekarang masih terbuka. Kalau memang kita mampu. Sama juga dengan kiai dalam memahami kitab fikih, tergantung kepada kiainya. Maka yang terjadi, kiai di sini dan di sana bisa berbeda. Kita kembalikan dulu pada yang masih global, al-Quran. Maka banyak sekali tafsir, ada tafsir Jalalain, dan lain-lain, yang dibuat dari sudut pandang masing-masing penafsir. “Salahnya kita, orang Arab selalu diidentikkan dengan Islam.”

Kata Kiai Masrur: “Saya hanya ingin mengembalikan khittah pesantren pada posisi sebelumnya, pada masa permulaan. Pada dasarnya kemunculan pesantren sangat dekat dengan rakyat kecil, betul-betul mengayomi, mendidik, dan melindungi mereka. Saya hanya ingin menghidupkan ini kembali. Kiai pada umumnya sangat ortodoks, karena ada kepentingan kekuasaan. Kiai-kiai dulu kan dekat dengan masyarakat kecil. Dan biasanya penguasa itu sangat takut  karena banyak orang sudah ikut kiai. Lalu pembina seni tradisional di masyarakat itu adalah penguasa, yang memiliki kaki tangan di rt, rw, dan seterusnya sampai ke bawah. Nah, kebetulan kiai menurut saja….”

“Kami cuma melihat realita yang ada, dan ternyata dengan begini harus berjalan begini,” seperti Kanjeng Sunan Kalijaga, Kiai Masrur menggunakan kesenian untuk mengajak masyarakat mendekat, semakin dekat dengan Allah SWT melalui Islam. Kesenian itu cuma alat, apa pun bentuknya.

Lanjut Kiai Masrur: “Imam al-Ghazali mengatakan bahwa ibadah itu adalah perbuatan hamba kepada Tuhannya. Seorang abdi, seorang makhluk kepada Khaliknya. Itu semua ibadah. Tidak mesti harus salat. Kalau metik gitar itu menjadikan dia ingat kepada Allah, itu ibadah. Menabuh kenong jadi ingat Allah, juga ibadah. Taklim Muta’allim mengajarkan bahwa banyak sekali yang pada mulanya merupakan perbuatan untuk akhirat lambat laun menjadi kepentingan dunia. Misalnya ngaji, tapi kalau ngaji supaya menjadi menantu kiai? Misalnya bekerja di sawah, ditujukan untuk menyempurnakan salat, mencari nafkah keluarga, walaupun mencangkul, semua itu tetap ibadah.”

Hingga kini, KH Masrur Ahmad MZ istiqamah dalam dakwah Islam kultural ini. Di Pesantren Al-Qodir, beliau dan segenap pengasuh pondok mengajarkan Islam yang ramah, kontekstual, dan menghargai nilai-nilai multikultural sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.

Melalui Jathilan, Kiai Masrur mengajarkan kepada kita semua bahwa Allah bisa disapa dan didekati melalui teks-teks dalam kitab suci al-Quran dan kitab kuning pun dari kitab kehidupan, khususnya dalam laku berkesenian Jathilan.

Perjuangan dan pergulatan Kiai Masrur, para seniman Jathilan, serta masyarakat Cangkringan dan sekitarnya dalam memahami dan menemukan makna hidup dan kehidupan, sejatinya jihad fi sabilillah untuk mencapai dan meraih maqom mulia manusia sempurna, Insan Kamil, bila ia luput dari derajat kewalian atau kenabian. Pesantren al-Qodir dan Jathilan adalah tandanya.

Wallahualam bis shawab.

Rumah Merah, 23 06 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan