Politik Sipil di Sekitar Masjid

850 kali dibaca

Terkotak-kotaknya masyarakat Islam di Indonesia memang memiliki sejarah yang panjang. Namun, perubahan sosial yang mengitarinya terjadi di depan mata. Salah satu pusat perubahan sekaligus pembeda karakter satu masyarakat muslim dengan lainnya adalah masjid. Masjid memainkan peran penting bagi masyarakat muslim.

Melalui masjidlah kajian, paham, budaya, dan bahkan sikap politik suatu masyarakat terbentuk. Ada dua dimensi utama yang berkaitan soal hubungan masjid dengan perubahan masyarakat.

Advertisements

Pertama adalah soal mimbar, atau jejaring elite masjid beserta jajarannya. Dan kedua, perubahan eksternal. Mereka umumnya berperan sebagai pengurus, ustaz harian, fasilitator ritus kebudayaan (pernikahan, kematian, dll), ataupun penghubung antara institusi religius dengan sipil (camat/RT/RW/dll).

Di wilayah urban, jejaring elite masjid ditentukan oleh keberadaan individu berpengaruh yang tinggal di suatu perumahan. Ada yang awalnya merupakan warga dengan kualitas religius tertentu, kemudian ditokohkan oleh warga perumahan, dan di saat yang sama, kebetulan ia memiliki jejaring religius di luar sehingga memberikan pengaruh pada wilayah tempat tinggalnya.

Jejaring jenis ini biasanya bersifat turun-temurun secara ‘ideologis’. Bila yang bersangkutan wafat, maka jejaringnya akan merasa memiliki tanggjung jawab untuk melestarikan pengaruhnya di masjid tersebut. Tokoh yang wafat umumnya akan diganti oleh karib ataupun anggota jejaringnya yang lebih muda dan telah kenal dengan masyarakat perumahan tadi.

Politik sipil kemudian muncul bila dalam suatu masjid terdapat persaingan pengaruh antar-pengurus ataupun petinggi dari dua atau lebih afiliasi. Namun, masjid sebagai wahana politik sipil masih luput dari kekhawatiran warga karena masih lumrahnya masjid sebagai tempat sakral yang bebas kepentingan menurut orang awam―sekalipun kajian sosiologi ataupun politik telah banyak mengulas soal politisasi agama (meskipun tidak popular).

Kalah menang suatu pengaruh biasanya dapat terlihat dari perubahan masyarakatnya. Dalam satu dekade terakhir, beberapa wilayah urban menunjukkan peralihan karakter masyarakat: dari yang mulanya ‘biasa’ menjadi bergamis. Peralihan yang paling mendasar mungkin terjadi di kalangan anak-anak, di mana mereka telah dibiasakan untuk bergamis.

Sebelumnya, pada awal tahun 2000-an hingga tahun 2010-an, anak-anak kota lebih lekat dengan celana dan sarung. Selain mengafirmasi penelitian soal menjamurnya gairah kesalehan sosial, indikasi-indikasi simbolik tersebut juga menyiratkan keberadaan gunung es dari politik sipil yang terjadi di masjid. Selain di masjid perumahan, politik sipil juga terjadi masjid atau surau sekolah, khususnya jenjang menengah pertama dan menengah atas.

Di wilayah sekolah, alumni dan guru memainkan peran kunci bagi politik sipil. Hierarki jejaringnya mirip dengan apa yang terjadi di perumahan, namun dengan akses sosial yang lebih sempit (berbasis almamater). Kontestasi pengaruh bisa terjadi secara simetris antar-sesama guru dan sesama alumni, atau secara asimetris antara guru dan alumni. Baik di perumahan ataupun di sekolah, politik sipil masjid sama-sama bertujuan untuk mencetak generasi masyarakat dengan imajinasi islami tertentu.

Di desa, elite masjid beserta dengan politik sipilnya memiliki jejaring yang berbeda. Dua hulu yang paling berpengaruh adalah ketokohan historis dan pesantren. Kepercayaan pada kisah epik terdahulu beserta dengan tokoh utamanya sering menempatkan turunannya pada posisi otoritas religius. Bila tidak ada, biasanya alumni pesantren menjadi pengisinya. Namun bukan berarti siklus reproduksi elite masjid di desa kebal dari perubahan.

Masyarakat atau generasi muda desa biasanya menjadi penopang siklus industrialisasi di kota terdekatnya. Mereka terserap ke dalam pendidikan dan ekonomi modern dan terputus dari regenerasi pertanian/nelayan. Degenerasi petani/nelayan terjadi di desa-desa sehingga menyebabkan banyak wilayah desa yang secara demografis tidak memadai untuk stabilitas sosial tertentu.

Hilangnya pemuda dari desa menyebabkan posisi-posisi strategis, khususnya masjid sebagai pusat pelestarian konstruk sosial, cenderung isi oleh orang-orang tua dengan resiko kematian tinggi. Pada periode yang dapat ditunggu, kepincangan demografis ini membuka peluang bagi otoritas religius baru yang sepenuhnya asing untuk masuk ke desa tertentu.

Hal ini terjadi, misalnya, di salah satu desa di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sejak dulu, desa tersebut adalah wilayah pertanian, beserta dengan struktur, konstruk, dan peran sosial ala masyarakat agraris tulen. Pertumbuhan industri dan urbanisasi di kota sebelahnya banyak menyerap tenaga kerja muda dari desa tersebut dalam satu dekade terakhir. Setelah mengalami aneka perubahan, muncul satu kompleks pesantren dengan nama hadrami Timur Tengah di desa tersebut. Banyak anak-anak bergamis lalu-lalang di desa petani ini.

Apa yang terjadi di salah satu desa di Karawang tidak terjadi di desa-desa lain. Profil geografis, sejarah, dan jejaring sosial suatu desa sangat menentukan apakah desa tertentu dapat bernasib seperti desa di Karawang tadi. Sebagian desa ada yang memiliki genetik pesantren yang sangat kuat. Sebagian lain, ada yang merupakan desa yang menjadi rumah bagi aneka kepercayaan ataupun penghayat lokal.

Dan masing-masing tipologi desa memiliki kekhususan jejaring elite masjid beserta reproduksinya masing-masing. Tetapi, pola-pola yang telah dipaparkan di atas, baik kota ataupun desa, pada dasarnya menunjukkan soal pentingnya kesadaran soal bagaimana perubahan sosial berbasis keagamaan dapat dilakukan melalui penyesuaian-penyesuaian struktur, jaringan, dan hierarki sosial yang ada di suatu masjid di suatu daerah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan