Tampaknya banyak kalangan yang kecele dalam menghadapi dan menyikapi dinamika Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Setidaknya saya yang banyak mengalami kekecelean itu. Konstruksinya kira-kira seperti ini.
Sudah jauh-jauh hari, saya membayangkan Pilres 2024 akan berlangsung setidaknya seperti Pilpres 2014 dan 2019 serta dibumbui brutalitas Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Yang berbayang adalah, Pilres 2024 akan diwarnai politisasi identitas berbasis keagamaan yang semakin kental, dan karena itu pertarungan antarkubu akan lebih brutal. Bahkan, banyak pakar dan pengamat politik punya bayangan serupa.
Dengan mempertimbangkan berbagai dampak destruktifnya terhadap proses demokrasi dan kehidupan berbangsa, berbagai kalangan menyerukan agar politisasi identitas terutama yang berbasis keagamaan tidak lagi digunakan dalam Pemilihan Umum 2024. Bahkan, beberapa kali saya juga menulis di sini yang mengingatkan bahayanya politisasi identitas berbasis keagamaan dan jangan memberi panggung kepada tokoh-tokoh yang antidemokrasi.
Tapi bayangan itu mulai sirna seiring pengelompokan kubu-kubu dalam membentuk koalisasi dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Melemahnya fenomena politisasi identitas mulai makin terasa ketika terbentuk pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai calon presiden (capres) dan wakil presiden (wapres) serta Partai Demokrat keluar dari koalisi Partai Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang posisinya digantikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Semula, yang dikhawatirkan berpotensi menggeber politisasi identitas adalah dari kubu pengusung Anies Baswedan. Namun, begitu PKB masuk dan berada di satu kuali dengan PKS, kekhawatiran itu perlahan sirna. Dan, dengan konfigurasi kontestan peserta Pilpres 2024 yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), para pengusung politisasi agama dan kelompok-kelompok radikalis-ekstremis memang terlihat tidak mendapatkan ruang. Dua kontestan lain, yaitu pasangan Ganjar Pranomo-Mahfd MD dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka juga sangat kecil kemungkinannya memberi panggung pada kelompok pengusung politisasi agama dan kelompok-kelompok radikalis-ekstremis.
Hantu Politik Dinasti
Dengan konfigurasi kontestan peserta Pilpres 2024 seperti itu, saya yang semula memprediksi bakal marak politisasi agama akhirnya kecele. Hantu politisasi agama hilang dari bayangan. Lega? Nanti dulu. Rupanya, ada hantu lain, yang justru lebih serem, yang membayang-bayangi Pilpres 2024 ini. Hantu pelanggengan kekuasaan. Hantu antidemokrasi. Konstruksinya kira-kira seperti ini.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menambahkan “norma problematik” pada persyaratan usia capres dan cawapres adalah bagian paling telanjang dari hantu-hantu itu. Keputusan MK itu, yang bahkan oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra disebut “penyelundupan hukum”, tak berdiri sendiri, tak lahir dari ruang hampa. Ada rentetan peristiwa yang mendahuluinya. Ada rentetan peristiwa yang munculnya setelahnya.
Dan dari rangkaian rentetan peristiwa-peristiwa tersebut, benang merahnya begitu tebal: nafsu melanggengkan kekuasaan dengan membangun politik dinasti, bagaimana pun caranya, apa pun risikonya. Jauh sebelum putusan MK itu diketok, misalnya, mula-mula digulirkan isu penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden karena alasan pandemi Covid-19. Ketika isu ini tak bersambut, maka digulirkan isu baru, kali ini perubahan batasan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode. Jalannya tentu melalui amandemen konstitusi. Kebetulan, saat itu memang ada rencana mengamandemen konstitusi untuk menyusun garis besar haluan negara —seperti GBHN masa Orde Baru. Rencana pengusung isu presiden bisa dipilih kembali untuk periode ketiga ini akan membonceng rencana amandemen tersebut. Lagi-lagi, isu tersebut tak bersambut dan rencana amandemen konstitusi akhirnya dibatalkan.
Praktis, tertutup sudah jalan untuk memperpanjang masa kekuasaan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tapi, rupanya masih ada jalan lain untuk itu, kali ini dengan meminjam tangan orang lain. Melalui keputusan MK yang kontroversial tersebut, Gibran yang “belum cukup umur” itu, yang tak lain adalah putra sulung Presiden Jokowi, akhirnya bisa mendaftarkan diri sebagai cawapres. Jalan pelanggengan kekuasaan pun terbuka lebar melalui politik dinasti.
Dan itulah kekecelean saya berikutnya. Jokowi, yang merupakan produk reformasi, yang terpilih menjadi presiden secara demokratis, akhirnya justru menempuh jalan yang menyimpang dari yang digariskan oleh gerakan reformasi, dan bersikap antidemokrasi di dalam negara demokrasi. Saya jadi teringat buku yang sering saya kutip, Bagaimana Demokrasi Mati, karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, bahkan penguasa yang terpilih secara demokratis pun bisa berlaku antidemokrasi dan akhirnya membunuh demokrasi yang telah melahirkannya. Salah satu parameternya adalah adanya kehendak mengutak-atik konstitusi, undang-undang, atau regulasi demi melanggengkan kekuasaannya —atau tetap berkuasa dengan cara meminjam tangan orang lain. Rentetan peristiwa yang mendahului hingga munculnya keputusan MK itu termasuk parameter antidemokrasi yang disebut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Dengan kekuasaan di tangannya, jika seorang demokrat sejati, seharusnya Presiden Jokowi bisa menghentikan rangkaian peristiwa sehingga tidak perlu muncul keputusan MK tersebut. Tapi nasi telah menjadi bubur, yang tak mungkin dikembalikan menjadi nasi lagi. Siapa pun nanti yang akan memenangi Pilpres 2024, sejarah akan tetap mencatat bahwa prosesnya dilakukan dengan cara mengangkangi konstitusi. Dan di depan sana kita akan terus dibayangi-bayangi oleh hantu politik dinasti. Karena ada contohnya hari ini.