Pilihan Politik: Masihkah Santri Nderek Kiai?

323 kali dibaca

Sami’na wa ato’na. Kepatuhan pada guru adalah prinsip mutlak yang tidak bisa ditawar. Lumrah bagi komunitas pesantren bahwa prinsip ini telah membentuk struktur sosial khas yang menempatkan santri dan kiai dalam hubungan hierarki tertentu. Kepatuhan ini menyangkut urusan duniawi dan urusan nonduniawi. Bagi santri, kepatuhan ini menentukan apakah hidup akan ada di posisi barokah atau sebaliknya.

Oleh karena itu, ucapan kiai hampir sama dengan titah mutlak, tanpa pertanyaan dan tanpa bantahan, meskipun ucapannya berkebalikan dengan hukum material dan hukum empiris. Sebab telah banyak contoh-contoh ajaib di masa lalu yang justru menunjukkan ketidakberlakuan hukum material dan hukum empiris. Tapi inilah yang menjadi masalah ketika hari ini merupakan masa-masa yang sepenuhnya berbeda.

Advertisements

Dulu, contoh-contoh ajaib itu terjadi dalam konteks masyarakat yang masih dekat dengan asketisme dan tirakat tertentu yang terhubung dengan alam raya. Sedangkan hari ini, ada modernitas, industrialisasi, urbanisasi, pembagian peran, relasi kuasa, akses sumber daya, profesionalisme penceramah, institusionalisasi, kelembagaan, dan lain sebagainya yang mengubah kiai―sebagai salah satu aktor sosiologis―yang mulanya imanen-transeden menjadi fungsional-instrumental.

Memang tidak dimungkiri bahwa ketulusan dan kebeningan rohani masih ada di sebagian kecil kiai hari ini. Tetapi sebagian lainnya terlibat dalam variable-variabel yang telah disebutkan tadi. Dan hal inilah, yang dalam konteks tahun politik, menjadikan kiai aktor yang diperhitungkan dalam kontestasi politik.

Satu sisi, memang faktor-faktor struktural turut membentuk karakter, preferensi, ruang gerak, dan pilihan ekonomi-politik seorang kiai. Namun di lain sisi, hierarki dan dan patronase masih menjadi budaya politik masyarakat Indonesia, yakni ketika kandidat politik berhasil menggandeng tokoh masyarakat tertentu, maka pengikutnya akan terkatrol mendukung kandidat tersebut.

Dalam konteks ini, “sami’na wa ato’na” tidak bisa diterima mentah-mentah. Sebab ada risiko kolektif yang sulit diprediksi bahayanya bila individu-individu menyalurkan hak politiknya berdasarkan anjuran orang lain, bukan berdasarkan kesadaran personal dan rasio politik: “jika saya memilih X, maka rekonfigurasi ekonomi-politik apa yang mungkin muncul? Kelompok mana yang akan berkuasa? Dan konsekuensi apa yang mungkin terjadi terhadap Indonesia?”

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan