Pesantren: Sejarah dan Pergeseran Tradisinya

966 kali dibaca

Dalam konteks perkembangan pendidikan hari ini, bisa dikatakan di era post-modern ini, kita dapat melihat bagaimana peran-peran pendidikan Islam tradisional mulai menjadi kajian penting dalam pengembangan sistem pendidikan, pun pembelajarannya. Tidak hanya pada konteks itu sebenarnya, namun juga peran terhadap komunitas sosial yang beragam. Pesantren dikatakan oleh Zamkhsyari Dhofier sebagai fondasi dan tiang penyangga paling penting bangunan peradaban Indonesia. (Zamakhsyari Dhofier, 2011).

Artinya, ada peran penting dalam konteks sejarah kepesantrenan yang erat kaitannya dengan perkembangan sosial, budaya, dan keberagamaan. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa pesantren memiliki gerak eksodus yang mengarah terhadap pembentukan kondisi sosial yang sesuai dengan berdirinya pesantren itu sendiri. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah untuk apa tujuan pesantren itu sebenarnya didirikan?

Advertisements

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada dua pendekatan yang bisa kita gunakan. Pertama adalah pendekatan sejarah, yang kedua adalah pendekatan nilai. Sejarah awal pesantren sendiri sangatlah beragam. Ada yang mengatakan bahwa pesantren adalah semacam pesastrian dalam budaya Hindu yang kemudian oleh Wali Songo dibuat dalam bentuk Islamnya. Ada juga yang memang menjadi semacam tempat pendidikan dalam ragam hal seperti tawalib, surau, padepokan, dan lain sebagainya.

Pertama yang bisa kita kenali adalah pesantren sebagai the great traditional education, kaitannya pesantren adalah dengan pendidikan tradisional yang masih bertahan hingga masa peradaban duani ketiga. Banyak peneliti menyebutkan bahwa pesantren adalah warisan pendidikan tradisional yang memberi pengaruh besar dalam perkembangan kehidupan sosial keberagaman.
Sehingga wajar jika pesantren sampai hari ini selalu berkembang dan muncul di tengah-tengah kehidupan.

Dari yang bersifat salaf atau tradisional, sampai yang modern, mengakulturasikan perkembangan teknologi zaman, pesantren berusaha menghadirkan ruh kepesantrenannya. Ruh itu adalah kiai, kajian fikih, tauhid dan tasawuf, tradisi pesantren itu sendiri, dan asrama sebagai penunjang.

Hal ini menunjukkan bahwa pesantren selayaknya cagar budaya pengetahuan dan tradisi sosial keberagamaan, masih selalu relevan dalam setiap perkembangan kehidupan. Lain halnya ketika pesantren sudah memasuki isu-isu verbal yang sangat erat dalam dunia sosial, kemasyarakatan, ekonomi, perempuan, dan kebudayaan. Hal itu merupakan out come sekaligus out put dari pembelajaran di pesantren itu sendiri.

Artinya, dengan pendekatan sejarah, pesantren adalah aset sejarah yang tidak boleh hilang dalam arti yang sebenarnya. “Hilang” secara tradisi, budaya pembelajaran, dan konteks sosialnya. Justru yang kemudian kabur dari tradisi itu sendiri adalah sistem yang mulai bergeser seperti halnya pendidikan pada umumnya.

Adanya pengukuran dan penilaian atas pesantren itu sendiri, seperti halnya jaminan mutu dan lain sebagainya. Atau pesantren bukan lagi bermakna nilai, karena hanya aspek pendidikan saja yang menjadi jurus utama dalam pesantren. Kita bisa melihat ini dalam konteks sosialnya, di mana ada semacam gerbong atau grup yang kemudian menjadikan beda antara santri satu dengan yang lainnya.

Dengan demikian, kemurnian tradisi pesantren agaknya tertutupi oleh konteks-konteks yang bersifat citra saja. Atau jangan-jangan perubahan ini senada dengan apa yang disinggung oleh Clifford Geertz bahwa pesantren hanya semacam consensus gentium (sebuha kesepakatan dari semua orang) disadari ataupun tidak.

Jika tradisi pesantren seperti yang disinggung Zamakhsyari adalah sebagai pola kehidupan di dalam pesantren, maka perlu kita lihat kembali bagaimana pola tersebut, apakah masih sejalan dengan pesantren sebagai the great traditional education atau justru kabur dengan hiruk pikuk perkembangan zaman, teknologi, pun sosialnya.

Tentu hal ini bukan masalah dalam kontek “progresif”. Karena pesantren, dalam konteks Islam, selalu bergerak. Pertanyaannya adalah apakah sistem pembelajaran pesantren memang bisa diukur sedemikian rupa? Perlu diketahui bahwa setiap pesantren memiliki kurikulumnya tersendiri, walaupun terpusat pada satu kunci, yaitu kiai. Tetapi dengan begitu, kurikulum di setiap pesantren tentu akan berbeda-beda.

Tidak sedikit di masyarakat yang kemudian bingung mau menyantrikan anaknya ke mana, hal yang paling utama dilihat bukan sistem pembelajarannya, tetapi kiainya. Artinya, kiai tetap menjadi pusat utama dalam perkembangan sebuah pesantren. Perlu digarisbawahi bahwa hal ini bukan terkait fanatisme, tetapi terkait pola membuka kembali pintu pesantren yang sebenarnya. Dalam konteks budaya tidak masalah untuk bersifat fleksibel, tetapi dalam konteks tradisi pesantren dan tujuannya perlu kita renungi kembali.

Masalah utamanya adalah pergeseran makna itu sendiri. Pesantren bukan lagi dikenal sebagai tempat menempa diri, melainkan seperti halnya sekolah pada umumnya. Hal inilah yang sebenarnya perlu kita sadari bersama dan merenungi kembali bagaimana pesantren itu berdiri pada awalnya.

Dalam tulisan ini saya hanya mewakili sebagian kecil masyarakat yang sedang resah dengan perkembangan dalam dunia pesantren itu sendiri.

Presmisnya adalah, jika pesantren adalah aset sejarah yang perlu dijaga dan dikembangkan agar bisa menjawab permasalahan zaman, maka seharusnya ada interpretasi nilai pesantren yang bukan hanya sebagai citra saja, melainkan sebagai penguat, fondasi, dan penyangga dalam proses pendidikan baik di pesantren atau lembaga yang mengusung nilai pesantren itu sendiri. Oleh karenanya, hal pertama yang bisa kita lakukan adalah mencoba merenungkan dan memikirkan kembali bagaimana gerak pesantren saat ini?

Rumah Jaga Kali, 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan