Pesantren: Ruang itu Ingin Diberi Makna Baru

2,422 kali dibaca

Lima orang alumni pesantren itu terlihat galau. Mereka tidak berdaya ketika berhadapan dengan Yusuf, seorang pedagang Pasar Genjing yang mereka jaga keamanannya itu tidak mampu mereka, khususnya Apoy, taklukkan. Nampaknya, jargon “pasar syariah” versi Apoy tidak cukup syari di mata Yusuf sang pedagang. Apoy ingin agar Yusuf tidak mempermainkan harga seenaknya. Dia bahkan memberitahukan modal yang ia habiskan untuk sejumlah barang. Apoy menjelaskan bahwa “syari” yang ia maksud tidak sejauh itu. Syari yang Apoy maksud adalah setiap pedagang memulai usaha dagangnya dengan Basmallah, tidak menawarkan barang yang buruk kuaitasnya, tidak menjual barang afkir, tidak mengurangi timbangan, tidak mengatakan bahwa kualitas barang buruk sebagai barang berkualitas baik, dan salat berjamaah di masjid pasar pada waktunya.

Adegan di atas berlangsung pada saat menjelang sahur, tepatnya pukul 03.45-an di salah satu televisi swasta nasional. Sebuah adegan yang di permukaan terlihat sangat Islami, sesuai dengan tuntunan. Berulang-ulang Yusuf mengatakan bahwa ia berdagang sesuai tuntunan. Ia berdagang dengan cara yang benar.

Advertisements

Apoy dan kawan-kawan tidak berdaya dibuatnya. Meskipun kebiasaan dagangnya Yusuf tersebut diprotes keras oleh tokoh Bu Ani yang dimainkan oleh Della Puspita, tetangga depan kios Yusuf, Apoy dan kawan-kawan tidak berdaaya sama sekali. Bahkan, mereka cenderung mengalah pada cara berdagang Yusuf tersebut.

Di permukaan, Pasar Genjing adalah ruang fisik yang diperebutkan tersebut. Akan tetapi, ada sesuatu di sebalik itu. Sutradara dan penulis skenario Amanah Wali 4 yang tayang selama bulan Ramadan 2020 tersebut terlihat memiliki ideologi tertentu. Bukan ruang fisik benar yang ingin dimakna, melainkan ruang psikologis. Ruang psikologis tersebut adalah pesantren.

Henri Lefebvre mengatakan bahwa sebuah ruang dapat diperebutkan. Pertarungan dimulai dengan cara memberi konsep atau conceiving pada ruang tertentu. Dalam konteks tayangan Amanah Wali 4, terdapat upaya ideologis penulis skenario/sutradara untuk memberi makna baru pada kata pesantren. Apoy dan ketiga temannya adalah representasi dari pesantren dalam konteks tayangan itu.

Benar. Apoy dan kawan-kawan adalah alumni pesantren. Katakanlah, mereka adalah alumni pesantren dalam pengertian yang komplit; sebagai sebuah subkultur, pesantren sebagai sebuah cultural identity, pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan yang khas. Akan tetapi, apa yang muncul dari diri tokoh yang mereka mainkan, meskipun atas nama diri mereka sendiri, adalah sesuatu yang berseberangan dengan identitas cultural mereka sendiri sebagai alumni pesantren. Diri tokoh yang mereka mainkan adalah refleksi dari diri sutradara/penulis skenario.

Para alumnus pesantren tersebut adalah diri-diri yang eksklusif. Subjek-subjek yang teralienasi dari realitas diri mereka. Mereka adalah pengusul statemen “Pasar Genjing adalah pasar syariah”. Tidak ada masalah dengan statemen itu. Namun demikian, pengartikulasian statemen itu justru semakin mengokohkan diri yang kosong pada subjek diri para alumni santri itu. Terartikulasi sebuah konsep solid dari sebuah gerakan tertentu.

Para alumni santri itu boleh saja memperkenalkan diri mereka sebagai alumni pesantren salafiyah. Apa daya, mereka hanya dapat menjadi corong sebuah gerakan politik yang menggunakan kultur sebagai medan gerakan; yaitu Salafi cum Wahabi. Para alumni pondok pesantren tersebut hanyalah para aktor, kalau tidak dapat dikatakan boneka, yang dibentuk oleh sutradara/penulis skenario untuk menyampaikan gagasan revivalismenya.

Pesantren sebagai sebuah ruang sejatinya bukan sebuah ruang yang dikompetisikan. Sejak lama, pesantren adalah ruang yang telah diterima atau diperceived oleh masyarakatnya. Gus Dur mengatakan bahwa pesantren adalah sebuah subkultur. Pesantren bukan ruang eksklusif yang teralienasi dari masyarakat sekitarnya. Pesantren harus hidup atau to live dan menghidupi atau to be lived di dan dalam masyarakat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan