Dengan sedikit gugup, saya membayangkan ulang ingatan di sebuah bilik pondok yang lindap, seseorang dengan kepala terikat sorban mendatangi saya. Ia dengan tingkah wajar dan anggun berujar pendek, “Apa yang perlu kita yakini selain sesuatu yang telah lama diperintahkan Tuhan?” Saya hendak menjawab, kendati ia tak memberi kesempatan. Tiba-tiba, sejauh yang saya ingat, orang tersebut lenyap dan saya tersadar dari tidur.
Kalimat yang dilontarkan seseorang tersebut, yang saya yakini sebagai sesosok kiai kampung saya, mengganggu hari-hari saya di kos. Dalam renungan saya, tiba-tiba menyembul kalimat yang diungkapkan Syu’bah Asa, yang juga dikutip Goenawan Mohamad: “Seorang kiai adalah pertama kali seorang bapak.” Sebagaimana terminologi bapak dalam hidup saya, agaknya, kalimat tersebut memberi kesadaran imajiner terhadap persoalan yang saya hadapi.
Apakah kita perlu merusak bumi? Dengan segala macam bentuknya, untuk katakanlah, hidup yang lebih mapan?
Saya ingat betul, sewaktu saya tekun mengaji di pesantren, saat itu kiai saya memberi penjelasan mengenai hubungan horizontal kita sebagai manusia dengan alam. Ia, dengan senyum dan wibawa khasnya, mengutip hadis riwayat Bukhori R.A yang berbunyi: “Tidaklah seorang muslim yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman lalu tanaman itu dimakan oleh burung atau manusia atau hewan melainkan itu menjadi sedekah baginya.”
Kalau tidak salah ingat, hadis tersebut berasal dari Anas Bin Malik, salah satu perawi hadis yang memiliki integritas tinggi. Dari hadis tersebut, saya mendapati bahwa pohon-pohon menjulang, yang juga melindungi kita dari rasa gerah dunia, memberi dampak besar bagi lingkungan sekitar. Tampaknya, kita perlu sepakat, hidup yang kita yakini ini memiliki hubungan yang erat dan intim. Sebab hal tersebut, saya kira menjadi wajar bila seseorang seperti saya membaca wacana mengenai tambang dengan ganjil.
Agaknya, dalam lanskap berpikir santri, sebagaimana yang sering didengungkan pesantren-pesantren besar, saya ibaratkan sebagai seorang bek dalam konsep pertandingan sepak bola. Dalam terminologi pertandingan sepak bola, pesantren menjadi orang-orang terakhir yang seharusnya dapat mempertahankan bagaimana kehidupan antara kita sebagai manusia dan alam, dapat berjalin selaras juga berkesinambungan.
Meski begitu, tampaknya, masalah ekologi menjadi persoalan besar yang bukan hanya dapat ditanggung perorangan atau kelompok masyarakat saja. Tetapi, oleh semua manusia di muka bumi ini. Jika boleh berpijak pada hadis yang saya kutip di awal, konsep yang ditawarkan oleh rasul berlandaskan pada persoalan memberi.
Kalimat “…melainkan itu menjadi sedekah baginya.” Dalam hadis tersebut, berupaya merangsang pola pikir kita menjadi manusia murni. Manusia yang berlaku adil terhadap segala hal yang melingkupinya. Sehingga jika itu dilakukan, akan ada ganjaran yang menanti.
Kendati demikian, agaknya, iming-iming ganjaran tidak membuat hati setiap orang terenyuh. Atau dapat memadamkan hasrat tamak yang kadung melekat dan mengiringi setiap manusia. Dan hasrat tersebut diperkuat dengan proyek-proyek gagasan kapitalis yang membuai dan melenakan. Sempurnalah persoalan yang dihadapi manusia post-modern ini.
Orang-orang yang terkungkung proyek kapitalistik, agaknya tak memikirkan betul hubungan ulang-alik antara manusia dengan alam sehingga mereka dengan mudah mengeksploitasi alam. Hubungan ini, yang telah disinggung Rasul dengan upaya membiasakan diri menanam pohon, agaknya dipandang sebelah mata.
Soekarno, dalam sebuah dialog sengit dengan DPR beberapa saat sebelum negeri ini kisruh, pernah berujar, “Kita, sebagai negara demokrasi, perlu alat demokrasi.” Saya sebenarnya tidak terlalu berminat membicarakan ini, tetapi, dalam ungkapan Sang Proklamator Kemerdekaan itu, saya menangkap sesuatu hal yang lain.
Betul, kita perlu sepakat bawah bangsa Indonesia yang selalu bergairah ini, yang memiliki kekayaan alam melimpah ini, perlu demokrasi. Dan poin penting yang ingin saya bahas adalah: betapa demokrasi, menitikberatkan kesejahteraan kepada rakyat.
Artinya, rakyat memiliki prioritas cukup tinggi terhadap tetek-bengek kebijakan yang hadir dalam pemerintah. Dan rasa-rasanya, gagasan mengenai tambang yang diberikan pemerintah terhadap beberapa organisasi masyarakat berbasis keagamaan baru-baru ini menjadi polemik yang sangat mengganggu masyarakat agama.
Kita bisa asumsikan ajakan tersebut sebagai manipulasi terhadap betapa pemerintah nantinya, akan lebih memforsir lahan-lahan yang memiliki potensi tambang baru. Dan akhirnya jika itu terjadi, habitat flora dan fauna yang tadinya bahkan diperhatikan dengan baik oleh terminologi agama, terancam.
Jika begitu, saya boleh menyebut bahwa angan-angan kita mengenai kepercayaan atau keimanan yang terus dipelihara sejak masa Rasul seribu tahun lebih, sedikit demi sedikit tergerus. Dan sialnya, itu terjadi karena organisasi masyarakat kita, yang memiliki basis keagamaan kuat itu, tergoda dengan konsep-konsep kapitalis.
Hubungan konkret antara kita sebagai manusia beragama dan iman sebagai kepercayaan, makin mengerdil. Saya rasa, kelompok-kelompok masyarakat yang masih sadar akan hubungan intim antara kita dengan alam sudah banyak dilakukan. Tetapi yang boleh saya sarankan, mari kembali lagi kepada konsep yang kita yakini di dunia pesantren. Agaknya tak berlebihan jika saya menyebut dalam awalan tulisan ini, bahwa pesantren dan orang-orangnya-lah yang menjadi pertahanan terakhir terhadap persoalan ekologi yang makin mengkhawatirkan ini.
Mari kembali menjadi santri. Seorang santri yang tidak neko-neko. Seorang santri yang berkeinginan betul menerapkan apa-apa yang diajarkan dunia pesantren terhadap kehidupan dan keberlangsungan hidup sehari-hari.
*Naskah peserta Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri dengan judul asli “Iman dan Kita”.