Pesantren: Pertahanan Terakhir Ancaman Ekologis*

113 kali dibaca

Dengan sedikit gugup, saya membayangkan ulang ingatan di sebuah bilik pondok yang lindap, seseorang dengan kepala terikat sorban mendatangi saya. Ia dengan tingkah wajar dan anggun berujar pendek, “Apa yang perlu kita yakini selain sesuatu yang telah lama diperintahkan Tuhan?” Saya hendak menjawab, kendati ia tak memberi kesempatan. Tiba-tiba, sejauh yang saya ingat, orang tersebut lenyap dan saya tersadar dari tidur.

Kalimat yang dilontarkan seseorang tersebut, yang saya yakini sebagai sesosok kiai kampung saya, mengganggu hari-hari saya di kos. Dalam renungan saya, tiba-tiba menyembul kalimat yang diungkapkan Syu’bah Asa, yang juga dikutip Goenawan Mohamad: “Seorang kiai adalah pertama kali seorang bapak.” Sebagaimana terminologi bapak dalam hidup saya, agaknya, kalimat tersebut memberi kesadaran imajiner terhadap persoalan yang saya hadapi.

Advertisements

Apakah kita perlu merusak bumi? Dengan segala macam bentuknya, untuk katakanlah, hidup yang lebih mapan?

Saya ingat betul, sewaktu saya tekun mengaji di pesantren, saat itu kiai saya memberi penjelasan mengenai hubungan horizontal kita sebagai manusia dengan alam. Ia, dengan senyum dan wibawa khasnya, mengutip hadis riwayat Bukhori R.A yang berbunyi: “Tidaklah seorang muslim yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman lalu tanaman itu dimakan oleh burung atau manusia atau hewan melainkan itu menjadi sedekah baginya.”

Kalau tidak salah ingat, hadis tersebut berasal dari Anas Bin Malik, salah satu perawi hadis yang memiliki integritas tinggi. Dari hadis tersebut, saya mendapati bahwa pohon-pohon menjulang, yang juga melindungi kita dari rasa gerah dunia, memberi dampak besar bagi lingkungan sekitar. Tampaknya, kita perlu sepakat, hidup yang kita yakini ini memiliki hubungan yang erat dan intim. Sebab hal tersebut, saya kira menjadi wajar bila seseorang seperti saya membaca wacana mengenai tambang dengan ganjil.

Agaknya, dalam lanskap berpikir santri, sebagaimana yang sering didengungkan pesantren-pesantren besar, saya ibaratkan sebagai seorang bek dalam konsep pertandingan sepak bola. Dalam terminologi pertandingan sepak bola, pesantren menjadi orang-orang terakhir yang seharusnya dapat mempertahankan bagaimana kehidupan antara kita sebagai manusia dan alam, dapat berjalin selaras juga berkesinambungan.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan