Pesantren, Khazanah Pendidikan Nusantara

6,319 kali dibaca

Banyak sekali produk-produk budaya di tanah air saat ini yang mengadopsi bentuk fisik maupun bentuk moral dari pengalaman masa lalu, mulai soal arsitektur hingga pendidikan, mislanya. Itulah yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang diakui memiliki keragaman yang luar biasa di dunia. Di tengah gerusan arus global yang sangat kuat, Indonesia dengan gagahnya masih mampu mempertahankan identitasnya kenusantaraan, terutama adalah hal pendidikan. Di sini, rupanya pondok pesantren merupakan simbol dan warisan dari pendidikan Nusantara zaman dahulu.

Sistem pendidikan dengan model dukuh, asrama, atau padepokan merupakan praktik pendidikan yang sudah ada sejak zaman Hindu-Budha. Munculnya ulama Wali Songo akhirnya juga mengadopsi model pendidikan yang sudah ada. Menurut Zaini Achmad Syis dalam buku berjudul Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren (1984), sebenarnya konteks pendidikan pesantren yang representatif mencitrakan sistem pendidikan Islam di Nusantara adalah pengambilalihan bentuk pendidikan sistem biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan bhiksu saat proses belajar dan mengajar. Itulah mengapa pondok pesantren biasanya disebut berasal dari mandala Hindu-Buddha. Terlebih, Clifford Geertz juga pernah mengatakan bahwa pondok pesantren mengingatkan orang pada biara, tetapi santri bukanlah para pendeta.

Advertisements

Seiring waktu berjalan, dukuh akhirnya disebut pesantren. Dan, kata “santri” sendiri sebenarnya adalah adaptasi dari istilah sashtri yang berarti orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra). Tidak hanya itu, dalam pesantren juga diajarkan bagaimana tata krama dalam menuntut ilmu, biasanya menggunakan kitab Ta’limul Muta’allim karya Syekh az-Zarnuji. Rupanya, tata krama yang diajarkan di dalam pondok pesantren juga sebenarnya selaras dalam ajaran Hindu-Buddha yang diberi nama gurubakti.

Usaha adaptasi Wali Songo terhadap sistem pendidikan model dukuh dan asrama ini rupanya juga membawa dampak yang sangat signifikan untuk para santri dalam memahami ajaran Islam dan mengajarkan nilai-nilai sosio-kultural. Sehingga, dengan proses pembelajaran melalui model dukuh dan asrama, para santri tidak hanya dapat memahami ilmu agama saja, melainkan juga kompleksitas dalam bersosial dan berbudaya. Sehingga, para santri mempunyai pemahaman yang mumpuni jika sudah keluar atau menyelesaikan pembelajarannya di pesantren.

Terlepas dari itu semua, sebenarnya konsep pembelajaran Nusantara yang paling penting bukanlah pada hal fisiknya, melainkan peristiwa moral. Dan, ada satu titik temu yang membuat pondok pesantren masih relevan dengan pendidikan di Nusantara kala itu. Konsep moral dan tata krama dalam proses pendidikan adalah bahwasannya guru harus dimuliakan, sehingga yang patut untuk datang saat ingin menuntut ilmu adalah murid atau santri.

Pada zaman dahulu tidak ada les privat dengan guru datang ke rumah. Ada filter dari masyarakat bahwasanya jika ingin belajar suatu ilmu, maka harus datang ke orang tertentu. Guru yang mendapat pengakuan dari masyarakat bukanlah seseorang yang telah menamatkan studi hingga tinggi, melainkan seseorang yang memang dianggap “pantas” oleh masyarakat .

Filter inilah yang masih bertahan di dunia pondok pesantren, di mana santrilah yang datang ke tempat guru berada. Menuntut ilmu dengan kurun waktu tertentu dan masyarakat pun meyakini bahwa sosok yang berada di pondok pesantren itu adalah pantas. Adanya filter dari masyarakat inilah yang menjadikan setiap pondok pesantren memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri.

Aturan paling baku, kurikulum paling ampuh bukan pada yang tertulis dalam kertas. Kurikulum paling ampuh itu ada pada sosok guru atau kiai. Kurikulum hidup yang dapat memahami setiap santrinya. Kurikulum hidup yang dekat dengan Allah, sehingga membuat ilmu yang diajarkan akan selalu mendekatkan kepada Allah. Ya, itulah pendidikan yang sudah diwariskan masyarakat Nusantara dari dulu. Pendidikan pondok pesantren yang bukan hanya sekadar menjadikan pintar, melainkan mendidik santri menjadi manusia yang paripurna.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan