Pesantren dan Wajah Inklusivitasnya

705 kali dibaca

“Peranan Islam yang dipancarkan oleh pesantren tidak saja mewarnai alam ruhani dan keyakinan, tetapi juga karakter bangsa yang hendak mempertahankan eksistensi persatuan dalam menyelamatkan martabat seluruh bangsa.” (Petikan dalam buku KH. Syaifudin Zuhri, 2010:134)

Berangkat dari hipotesa di atas dapat kita tarik dua kesimpulan bersamaan, bahwa pesantren adalah ruang pendidikan Islam di satu sisi. Sedangkan, pesantren juga bagian dari gerak stabilitas sosial bangsa di sisi yang lain.

Advertisements

Dalam konteks pendidikan yang selalu berkembang, baik secara ideologi maupun karakteristiknya, pesantren adalah satu ruang pendidikan yang memiliki mobilisasi baik sosial maupun keberagamaan.

Hal ini disepakati oleh berbagai sejarawan bahwa perkembangan pesantren adalah tidak bisa lepas dari kontruksi sosial yang sudah lebih dulu berkembang. Wali Songo, misalnya, tidak dapat dimungkiri bahwa peranan dari para wali dalam memusatkan pendidikan Islam baik di surau maupun di bilik-bilik menjadi embrio dari pesantren itu sendiri, tentu tidak lepas dari kontruksi sosial yang sudah berkembang lebih dulu. (Abdurrahman Mas’ud, 2004:58)

Kerangka yang diajukan oleh Sayyed Hosen Nasr dan dipinjam oleh beberapa peneliti Islam tentang pesantren adalah Islam tradisional. Di mana kontinuitas gerak tradisional pendidikan dijaga oleh pesantren. Sehingga istilah the great of traditional education religion menjadi satu identitas tentang pesantren. Padahal seiring dengan ragam kemajuan, termasuk kita harus mengakui bahwa Snouck Hongronje memiliki peran dalam pengenalan pendidikan barat yang menjadi tandingan atas pendidikan tradisional, termasuk pesantren.

Hal ini pernah disinggun oleh Nurcholish Madjid dalam salah satu artikelnya, bahwa andai saja Indonesia tidak mengalami penjajahan, mungkin pendidikan mengikuti aur-alur yang dikembangkan oleh pesantren. (Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren:3).

Dengan kata lain, pesantren tidak hanya, dan bahkan bukan semata-mata, menjadi penjaga tradisionalisme pendidikan, melainkan juga menjadi ruh atas martabat atau local wisdom sebuah bangsa. Mengapa? Karena pesantren tidak hanya menawarkan penguatan batiniahnya, melainkan sikap sosial dan kedewasaan personal maupun civil society dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kita bisa melihat berbagai aset pesantren, tidak hanya yang berupa bangunan tetapi juga peran dari bagian pesantren seperti pemikiran kiai, perjuangan kaum santri, keterbukaan atas keberagaman yang juga dihasilkan dari kesadaran tolensi dalam Islam yang juga dijunjung oleh pesantren sejak dulu. Warisan budaya baik di lingkup sosial kecil, masyarakat, bangsa dengan ragam kerajaan/keraton berideologikan Pancasila, dengan artian bhinneka tunggal ika, adalah satu pola yang dimaksudkan oleh Cak Nur di atas.

Oleh sebab itu, pendidikan pesantren tidak bisa kemudian diartikan sebagai pendidikan tradisional semata, melainkan, meminjam istilah Manna al Qattan, bahwa pendidikan pesantren adalah pendidikan yang masholih likulli zaman wa makan. Pendidikan yang dapat menemui fleksibilitas dan insklusivitasnya. Apalagi di zaman milenium ini, di mana pesantren turut serta dalam perkembangan dan kemajuan sains tanpa meninggalkan ruh kearifan pesantren itu sendiri. Bagaimana mungkin, pesantren hanya dipandang sebagai satu lembaga yang mengatur pola hubungan antara manusia dan Tuhan, sedangkan nilai-nilai ajaran agama tidak lepas dari dimensi sosial dan kemanusiaan? Dengan kata lain, sikap tradisionalis atas predikat pesantren dan santri yang dipandang kolot dan terbelakang sangatlah salah.

Corak inklusivitas pesantren perlu menjadi sorotan, khususnya perkembangan dan kemajuan bangsa kita yang tidak lepas dari peran pesantren. Karena pesantren bukan semata lembaga pendidikan, melainkan lembaga sosial kemanusiaan. Ragam kebudayaan dan pola pikir sosial menjadi bagian penting pesantren dalam gerak sosialnya. Sehingga pandangan Gus Dur tentang pemisahan antara agama dan negara adalah satu gerak sosial yang lahir atas pemikiran pesantren. Di mana hubungan sosial kemanusiaan diatur dalam dinamika ajaran agama. Dasar inilah yang kemudian menjadi pijakan penulis bahwa pernyataan tradisionalis tentang pesantren amatlah sangat kurang tepat.

Di mana pesantren yang hanya dipandang sebagai ruang tradisional, namun substansi ajaran pesantren diam-diam menjadi bagian penting dalam dinamika dan dialektika berbangsa dan bernegara. Hal inilah yang perlu digarisbawahi dan menjadi satu pandangan inklusif atas pergerakan pesantren dan perubahan sosial. Karena, tidak mungkin kemajuan berangkat tanpa adanya gerak tradisional dan dialektika sosial keberagaman, pun keberagamaan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan