Pesantren dan Pilkada

645 kali dibaca

Pesta demokrasi pun dimulai di tengah pandemi. Pada awal Desember 2020 ini, akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak meskipun wabah Covid-19 belum akan berakhir. Awal September ini, para calon kepala daerah yang akan berkontestasi untuk memperebutkan kursi gubernur atau bupati/wali kota sudah mendaftarkan pencalonan mereka di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Masa kampanye belum juga dimulai, tapi kegaduhan di antara para pengusung dan pendukung sudah terjadi.

Yang menarik, hampir di setiap daerah, penyelenggaraan pilkada mulai melibatkan santri, pesantren, dan kiai dalam beragam bentuk. Di beberapa daerah, seperti di Jember, misalnya, ada seorang kiai pengasuh pondok pesantren besar mendaftarkan diri sebagai calon wakil bupati. Di seberang yang berlawanan, seorang alumnus pesantren tersebut juga mendaftar sebagai calon wakil bupati. Walhasil, si santri akan bertarung melawan kiainya berebut kursi yang sama.

Advertisements

Di beberapa daerah lain, ada kiai, pengasuh pondok pesantren, keluarga kiai/pesantren, dan santri atau jebolan pesantren yang juga turun ke gelanggang, baik untuk berebut kursi gubernur dan wakilnya atau bupati/wali kota dan wakilnya. Jika mengikuti pemberitaan media dalam dua bulan terakhir, terlihat bahwa semakin banyak kaum sarungan atau orang pesantren yang ikut meramaikan pilkada, baik sebagai calon maupun pendukungnya. Mobilisasi politik pun mulai terjadi lebih dini di lingkungan pesantren.

Mobilisasi politik di lingkungan pesantren pasti terjadi ketika ada seorang kiai pengasuh pesantren atau keluarganya atau santri ikut bertarung dalam pilkada. Bentuk mobilisasi politiknya bisa beragam, mulai dari sekadar meminta dukungan suara secara pribadi hingga membentuk kelompok-kelompok massa pendukung.

Dari berbagai pemberitaan media kita tahu, di beberapa daerah telah muncul forum-forum santri atau forum silaturahmi antar-pesantren untuk memberikan dan mengarahkan dukungan kepada calon tertentu. Bahkan, di Jawa Barat, ada pesantren dan pengasuhnya yang secara terang-terangan sudah memberikan dukungan kepada pasangan calon tertentu.

Kecenderungan ini justru mengkhawatirkan. Kenapa? Pesantren adalah institusi pendidikan, dalam hal ini pendidikan agama, dan karena itu keberadaannya harus tetap steril dari kepentingan politik praktis agar fungsinya tidak terganggu. Pun, kiai dan santri sebagai status sosio-religius. Ia juga harus tetap steril dari kepentingan politik praktis agar fungsinya juga tidak terganggu. Dalam konteks pilkada, seharusnya kiai, pesantren, dan santri tidak terlibat dalam mobilisasi dukung-mendukung calon tertentu secara institusional. Artinya, dukungan tetap bisa diberikan tapi secara pribadi, tidak perlu membawa-bawa status sosio-religius santri dan kiai maupun institusi pesantren.

Sebab, ketika institusi pesantren dilibatkan dalam mobilisasi politik praktis untuk mendukung calon tertentu, bisa dipastikan akan runtuh kewibawaannya sebagai institusi pendidikan keagamaan. Begitu juga, ketika kiai-kiai atau santri-santri bersekutu dan membentuk kelompok-kelompok demi mendukung calon tertentu, kewibawaannya sebagai penjaga moral keagamaan juga akan ikut runtuh. Jika kewibawaan runtuh, maka fungsi sosial keagamaan pesantren, kiai, dan santri juga akan tertanggu.

Sekali pesantren sebagai institusi pendidikan dilibatkan dalam mobilisasi politik praktis dan tidak netral, ini akan menjadi preseden dan membuat “ketagihan”. Sekali para kiai dan santri dapat dimobilisasi dalam persekutuan untuk memberikan dukungan kepada calon tertentu, ini juga akan menjadi preseden buruk. Seterusnya juga akan dimobilisasi untuk tujuan dan kepentingan politik praktis.

Jika ini yang terjadi, lalu apa bedanya kiai dan santri dengan kelompok-kelompok masyarakat yang selalu bergerombol dan dimobilisasi dengan mengatasnamakan agama, namun selalu menebar kebencian dan permusuhan itu?

Tak ada yang melarang orang-orang pesantren berebut kursi gubernur atau bupati/wali kota, atau memberi dukungan politik. Sebab, itu adalah hak politik setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Namun, harus dilakukan sebagai pribadi, bukan secara institusional. Contoh terbaik pernah diberikan oleh KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Gus Dur adalah manusia politik par excellence. Namun, dalam berpolitik, Gus Dur melakukannya sebagai pribadi. Ketika menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur tak pernah menyeret-nyeret institusi NU ke dalam politik praktis. Ketika memberikan dukungan politik kepada seseorang, sebutlah Ahok atau lainnya, misalnya, Gus Dur melakukannya sebagai pribadi. Tidak pernah memobilisasi kiai atau santri atau pesantren untuk juga memberikan dukungan secara terbuka. Bahkan, ketika sebagai presiden ia hendak dimakzulkan, Gus Dur justru melarang ribuan santri yang siap mempertaruhkan nyawa untuk bergerak. Jika saja ketika itu Gus Dur memberi lampu hijau, sudah pasti akan menjadi preseden buruk: mobilisasi massa di kalangan pesantren.

Karena itulah, dalam pesta demokrasi pada penyelenggaraan pilkada 2020 ini, sebaiknya pesentren sebagai institusi pendidikan keagamaan tetap dijaga netralitasnya. Juga tak perlu ada mobilisasi kiai dan santri.

Masih ingatkah kita akan peribahasa ini: sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan