Pesantren dan Jihad Ekologi Santri

443 kali dibaca

Sebelum lebih jauh membahas ekologi, saya ingin bercerita tentang sebuah aksi heroik lima orang pemuda yang menamakan diri mereka dengan Pandawara Group. “Panda” yang bermakna lima pemuda, dan “Wara” yang berarti kabar baik—lima pemuda yang membawa kabar baik.

Kabar baik untuk siapa?” Saya berani dengan tegas menjawab kabar baik untuk kita semua manusia, tanpa terkecuali semua makhluk yang ada di muka bumi. Jawaban ini mungkin terkesan berlebihan, tapi setidaknya saya mempunyai alasan kuat untuk mengatakan demikian.

Advertisements

Sejauh kita setia pada aplikasi bernama TikTok, aksi-aksi heroik Pandawara Group berhasil membanjiri beranda TikTok kita tanpa henti, dan yang tak kalah penting juga berhasil membuat kita bertanya-tanya, apa sebenarnya yang membuat mereka tergerak untuk membersihkan sampah sebanyak itu? Beragam jawaban dan komentar lahir, mulai dari komentar karena ambisi followers-viewers, hingga cemoohan seperti untuk membodohi masyarakat atau pembodohan publik.

Sejauh saya mengamati, barangkali hanya mereka yang menurut saya paham betul tentang bagaimana mengikuti dinamika kehidupan beserta permasalahannya, tanpa sedikit pun tenggelam ke lubang yang membuat kita lupa akan pentingnya menjaga relasi baik kepada manusia, hewan, dan tentu saja juga alam.

Pandawara Group secara tidak langsung telah memaksa kita untuk bisa peka dan memahami “bumi kita” yang sedang tidak baik-baik saja. Paham yang bukan hanya sekadar paham, tetapi paham yang benar-benar paham akan langkah yang harus kita lakukan: merawat alam!

Jujur saja, setiap kali melihat aksi-aksi Pandawara Group yang bertebaran di sosial media, selalu mudah bagi saya untuk mengimani firman Allah: bahwa segala kerusakan di bumi, baik di darat maupun di laut, adalah akibat dari ulah tangan manusia (QS. Ar-Rum: 41).

Meskipun secara umum, kerusakan lingkungan dilatarbelakangi oleh dua faktor: pertama, kerusakan diakibatkan oleh alam itu sendiri, seperti bencana alam yang manusia sendiri tidak memiliki kuasa atasnya. Kedua, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh ulah manusia itu sendiri.

Amanat Menjaga Bumi

Manusia sebagai khalīfah fī al-ar, tentu mengemban tugas lebih untuk merawat dan menjaga bumi dengan baik. Tugas ini bisa dilihat ketika Allah menyinggung tentang proses penciptaan manusia dengan bumi (tanah) melalui firman-Nya dalam Surah Hūd ayat ke-61:

“Kepada (kaum) Samud (Kami utus) saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah! Sekali-kali tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hud: 61).

Selain proses penciptaan manusia dengan bumi (tanah), Allah juga tidak lupa menyuruh manusia untuk bisa memakmurkan sesuatu yang dari itu manusia diciptakan. Mufasir Ṭanṭawī Jauharī (1862-1940) melalui kitab tafsirnya, al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, menafsirkan ayat di atas sebagai penjelasan tentang keberadaan manusia untuk memelihara alam atau lingkungan (wasta’marakum fīhā). Selaras dengan itu, Ibnu Katsīr dalam kitabnya juga memaparkan bahwa manusia harus menjadi inisiator kebaikan sekaligus pemelihara lingkungan.

Selain Surah Hūd ayat 61 di atas, di dalam Al-Qur’an juga banyak ditemukan ayat yang menjelaskan terkait pentingnya merawat bumi (lingkungan). Seperti yang tercantum dalam Surat Al-A’raf ayat ke-56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.” Melalui dua ayat tersebut, cukup gamblang untuk mengatakan bahwa manusia mempunyai tugas untuk menjaga alam dengan baik, alih-alih merawatnya.

Santri dan Ikhtiar Merawat Bumi

Sebagai seorang yang berstatus santri dari kecil, saya suka berspekulasi tentang bagaimana santri kelak akan menjadi entitas nomor satu di Indonesia yang tidak diragukan lagi. Berangan-angan hanya santri-lah satu-satunya yang bisa mengatasi dan mencari jalan keluar atas segala masalah yang melanda bangsa ini. Mulai dari konflik atas nama agama, politik, sosial, kesehatan, apalagi lingkungan. Masalah apapun itu, intinya santri solusinya.

Berbincang masalah sampah dan ekologi lingkungan, entah kenapa tiba-tiba saya bernostalgia dengan pesantren pertama saya untuk mengais pundi-pundi pengetahuan pas Aliyah dulu. Ya, sebuah pondok pesantren yang cukup berada di kedalaman Sumenep, lebih tepatnya Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk.

Di pesantren itulah pertama kali saya berhasil dekat dengan alam. Dekat dengan alam dalam artian bisa merawat dan menjaga lingkungan dengan baik. Saya merasakan langsung bagaimana ditegur keras pengurus keamanan cuma gara-gara beli nasi terus dibungkus pakai plastik. Dipikir-pikir apa masalahnya cobak, kalau pun iya, masalah yang sepele juga kan? Iya gak sih?

Penasaran akan letak permasalahannya, sehabis dimarahin saya langsung bergegas untuk menanyakan hal itu kepada senior. Tanpa disangka mendengar curhatan saya, senior cuma bisa cengar-cengir tanpa dosa. Hingga akhirnya, setelah dijelaskan panjang lebar oleh senior, saya paham betul betapa plastik bungkus nasi itu mempunyai dampak buruk terhadap lingkungan atau alam. Kata senior, “Dampaknya memang bukan sekarang, tapi lihatlah nanti.

Coba bayangkan, betapa banyak sampah plastik yang dihasilkan setiap harinya jika setiap santri yang membeli nasi menggunakan bungkus plastik? Mengingat, data santri Annuqayah ketika tahun terakhir saya mondok berhasil mencapai angka 13 ribu lebih dari semua cabang. Itu artinya, jika setiap santri makan dua kali sehari tanpa menafikan bungkus plastik setiap makan, betapa akan banyak sampah plastik yang akan dihasilkan di setiap harinya?

Atas dasar inilah kemudian saya sadar, bahwa larangan untuk tidak menggunakan bungkus plastik setiap kali makan memang tampak begitu remeh, tapi bagaimana pun itu, mau remeh sekalipun, hal ini bukanlah perkara mudah. Butuh yang namanya kesadaran lebih untuk membentuk menjadi sebuah kebiasaan. Hanya dengan ikhtiar remeh ini, telah membuktikan kepedulian santri pada alam dan lingkungan.

Sekarang, saya berada di lingkungan pondok pesantren yang tidak jauh berbeda dengan pondok pesantren sebelumnya. Tidak jauh berbeda dalam hal yang berkaitan dengan spirit untuk membangun kesadaran bersama akan pentingnya untuk merawat dan menjaga alam dengan baik. Dengan melarang santri-santrinya untuk tidak menghidangkan konsumsi berbau plastik setiap kali ada kegiatan, menjadi bukti nyata di mana Pondok Pesantren Al-Anwar 3 Sarang Rembang—dalam istilah M. Faizi di bukunya—berusaha untuk tidak merusak bumi dari meja makan.

Dua pesantren ini hanyalah tamsil kecil betapa pesantren sekarang mulai hadir untuk merespon fenomena sampah yang tiap hari semakin membeludak. Selain pesantren ini, bisa dipastikan juga banyak pesantren-pesantren di luar sana yang mempunyai spirit sama dalam mengatasi problem lingkungan, khususnya sampah.

Karena, bagaimana pun, kerusakan lingkungan karena sampah, tidak terlepas dari ulah tangan manusia dan sudah seharusnya tidak dibiarkan hingga berlarut-larut. Berani tidak menggunakan bungkus setiap kali membeli nasi, sudah cukup untuk membuktikan kita peduli pada lingkungan. Mari berjihad ekologi bersama, santri-santri yang siap acungkan tangan! Wallahu A’lam.

Multi-Page

2 Replies to “Pesantren dan Jihad Ekologi Santri”

Tinggalkan Balasan