Pesantren dan Isu Perundungan

2,070 kali dibaca

Pemberitaan tentang perundungan dan kekerasan di lingkungan pondok pesantren belum lama ini mewarnai ruang jagat maya. Sekadar gambaran, saat kita melakukan pencarian artefak sebagai jejak pemberitaan perundungan dan kekerasan santri melalui mesin pencari berita lewat google.com, maka secara otomatis kita dapat menemukan ribuan konten berkait. Tidak hanya konten tentang berita terjadinya peristiwa perundungan dan kekerasan, tetapi juga menampilkan konten berupa gagasan para pakar, praktisi, bahkan juga para pimpinan institusi tertentu membincang persoalan perundungan dan kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren.

Artikel ini menempatkan artefak jejak pemberitaan isu perundungan dan kekerasan dalam ruang-ruang virtual, sebagai persoalan komunikasi media virtual yang berimplikasi pada potensi munculnya gejala krisis dan memberikan ancaman kepercayaan masyarakat terhadap citra pesantren (distrust). Padahal, citra pesantren di mata publik selama ini marwahnya dikenal sebagai pusat pendidikan Islam dan tempat penggemblengan karakter santri.

Advertisements

Derasnya arus pemberitaan perundungan santri dalam ruang-ruang virtual ini, selain menjadi alarm bagi kelangsungan pengelolaan lembaga pesantren, juga menjadi ancaman tersendiri bagi pesantren, sebab reproduksi pemberitaan perundungan ini harus menuai respons dan kecaman dari khalayak virtual. Seperti pemberitaan peristiwa perundungan yang berujung maut seorang santri di salah satu pesantren modern di Jawa Timur belum lama ini. Meskipun dalam menyikapi kasus ini pihak pesantren telah merespon dengan cepat, namun viralnya pemberitaan perundungan di ruang maya ini juga memicu percakapan berkepanjangan bagi netizen, sehingga isu perundungan ini menjadi perbincangan publik.

Diakui bahwa lahirnya media siber sebagai ruang publik baru, diiringi dengan lahirnya khalayak baru dengan karakteristik yang lebih interaktif. Tentu, karakter khlayak  semacam ini menjadikan pemberitaan isu perundungan dan kekerasan santri berkembang liar dengan cepat dan membentuk opini publik.

Bagaimana pesantren harus menghadapi terpaan pemberitaan perundungan? Sebuah pertanyaan dasar ini menjadi bahan refleksi kita bersama. Mengingat, pemberitaan isu perundungan ini apabila tidak segera dimbangi dengan informasi lain tentang performa wajah sesungguhnya pesantren, dikhawatirkan dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan pesantren dimasa mendatang.

Pemberitaan Perundungan sebagai Realitas Virtual

Pemberitaan isu perundungan santri mendadak ramai menjadi perbincangan publik. Dalam perspektif komunikasi, pembentukan opini perundungan santri melalui media siber semacam ini dapat berpotensi sebagai gejala munculnya krisis, karenanya harus diwaspadai bersama. Pemberitaan perundungan tampil dan ditampilkan sebagai realitas virtual yang sedang terjadi. Realitas ini dapat dipahami dari data digital dan artefak jejak pemberitaan perundungan yang mewarnai dalam ruang-ruang media siber belum lama ini. Diperkuat dengan tampilan percakapan para pengguna media sosial secara terbuka, sehingga percakapan ini membentuk opini public yang liar dan mengembang dengan cepat. Bahkan, sebagai respons yang berlangsung sangat dinamis, laju interaksi di antara khalayak sebagai pengguna media sosial, seperti derasnya arus yang mengalir dengan sangat cepat.

Dalam konteks sebagai pengguna media sosial, khlayak ini menurut Hofheinz, Albrecht, (2011:39) meskipun memiliki kontrol yang kuat terhadap apa saja yang mereka lihat dan apa saja yang mereka baca, namun para pengguna merasa berhak untuk menilai setiap konten pemberitaan yang dibaca berdasarkan sumber beritanya. Bahkan para pengguna media sosial ini juga akan merasa memiliki kebebasan dalam mengekspresikan setiap opini yang ditampilkan oleh para pengguna media sosial melalui ruang virtual.

Nampak dalam kasus pemberitaan peristiwa perundungan santri yang pernah terjadi di beberapa pesantren belakangan ini. Bahwa, reproduksi pemberitaan tentang kasus perundungan ini menjadi konten menarik dan berhasil mencuri perhatian para pengguna media sosial sebagai bahan percakapan mereka. Maka, intensitas interaksi khalayak baru dalam perbincangan tentang perundungan, dapat memicu respons publik dengan menyudutkan keberadaan pesantren. Apalagi, publik meyakini bahwa pesantren, seharusnya terbebaskan dari peristiwa-peristiwa perundungan atau peristiwa kekerasan seperti yang sedang terjadi sebagaimana berita-berita dalam media virtual belakangan ini.

Sebut saja, bagaimana pemberitaan perundungan yang sempat viral, yaitu peristiwa perundungan berujung meninggalnya salah satu santri di salah satu Pesantren Modern di Jawa Timur. Meskipun dalam kasus ini pihak pesantren segera merespons dengan cepat, namun tampilan pemberitaan dalam peristiwa ini, memicu perbincangan khalayak virtual. Padahal, pihak pesantren telah memberikan keterangan pengakuan tentang terjadinya kasus perundungan, menyampaikan permohonan maaf secara terbuka, menyampaikan ucapan bela sungkawa atas wafatnya korban perundungan. Justru yang terjadi, publik merespons lain, karena kejadian perundungan ini seharusnya tidak pernah terjadi di lingkungan pesantren.

Munculnya pemberitaan perundungan santri dalam ruang virtual ini, menambah banyak artefak sebagai jejak peristiwa kekerasan yang pernah terjadi dilingkungan pesantren. Data-data yang telah tersaji dalam ruang virtual ini merupakan sebuah realitas yang sedang tampil dalam media baru dan sedang mengalir sangat deras sehingga pemberitaan ini harus menerpa pesantren. Dapat ditelusuri bagaimana tampilan komentar khalayak merespons pemberitaan ini, selain komentar dukungan kepada pesantren, juga banyak ditampilkan komentar pengguna media sosial yang justru menyayangkan terjadinya tindakan perundungan dan kekerasan santri.

Pernah disebutkan oleh Downing, John D.H. (ed.), (2011:3367) bahwa mayoritas pengguna media sosial bukanlah  konsumen pasif, melainkan agen aktif yang dapat menciptakan dan mendistribusikan konten mereka sendiri, termasuk respons yang sedang ditulis pada setiap isu pemberitaan yang sedang berkembang. Karena itulah realitas pemberitaan perundungan sebagai pembentuk opini publik ini harus segera diimbangi dengan pembentukan narasi-narasi lain secara serentak dan cepat dengan menampilkan wajah pesantren yang seharusnya, dengan harapan agar isu perundungan ini tidak memberikan ancaman kepada pesantren.

Gejala Krisis yang Ditimbulkan

Setiap institusi ataupun organisasi sangat dimungkinkan mengalami krisis. Dalam hal ini, krisis dapat dipahami sebagai sebuah peristiwa yang tidak diharapkan dan dapat berpotensi menimbulkan terjadinya kekacauan serta perubahan dalam suatu lingkungan. Khusus, dalam lingkungan pesantren, dengan munculnya pemberitaan isu perundungan di ruang virtual ini, dapat memicu terjadinya gejala krisis, sehingga dapat membahayakan image serta reputasi pesantren.

Spillan (2010) menyebut bahwa tidak ada organisasi yang terhindar dari krisis selama hidup. Sedangkan, menurut Barton, dikutip Coombs (2007), menyatakan bahwa perubahan yang terjadi akibat krisis, akan dapat mempengaruhi bagaimana stakeholder berinteraksi dengan suatu organisasi, tetapi krisis ini di sisi yang lain, sesungguhnya juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang positif.

Gejala krisis yang dialami oleh lingkungan pesantren dapat ditimbulkan akibat pembentukan opini karena reproduksi pemberitaan peristiwa perundungan dan kekerasan santri yang tiada pernah berujung, sehingga dapat membuka tumbuhnya persepsi negatif terhadap pesantren. Persepsi semacam inilah yang akan memberikan ancaman sehingga terjadi krisis kepercayaan terhadap pesantren. Komentar pengguna media sosial yang cenderung menyudutkan pesantren adalah fenomena yang membuka peluang ancaman tersendiri.

Dalam memahami terjadinya krisis, Coomb, pernah menyebutkan sebagai kejadian yang negatif dan tak terduga, sehingga stakeholder akan membuat atribusi mengenai tanggung jawab krisis, sementara atribusi tersebut akan mempengaruhi upaya stakeholder dalam melakukan interaksi organisasi.

Menghadapi gejala krisis yang sedang timbul, sesungguhnya perlu dilakukan program komunikasi untuk penanganan terjadinya krisis atau gejala krisis akibat terpaan pemberitaan isu perundungan tersebut.

Firsan (2019) menyarankan bahwa sebuah institusi atau organisasi dalam menghadapi isu yang sedang menerpanya, maka perlu mengawal isu itu sebelum membesar dan menjadi krisis, serta mengelola risiko-risiko yang dapat ditimbulkan karena isu pemberitaan perundungan yang sedang menerpa. Sebab, sebuah institusi akan lebih dinilai dari kesalahan dari pada yang benar.

Karena itulah, sebagai gejala krisis yang dapat menimpa dunia pesantren, maka seharusnya perlu dikenali sejauh mana terpaan pemberitaan perundungan ini dapat menimbulkan respons negatif terhadap lingkungan pesantren? Apakah gejala krisis yang ditimbulkan oleh pemberitaan perundungan ini termasuk gejala krisis yang bersifat segera, gejala krisis yang baru muncul, atau gejala krisis yang dapat bertahan?

Maka, dalam menghadapi gejala krisis semacam ini, setidaknya yang harus dilakukan oleh pesantren mupun organisasi yang menaunginya yaitu membuat perencanaan mengenai penanganan dalam merespons krisis agar tidak menimbulkan kebingungan, konflik, atau penundaan dalam menangani krisis yang muncul.

Komunikasi Pesantren Berbasis Siber

Aktivitas komunikasi pesantren, khususnya yang berkaitan dengan upaya dalam membangun kepercayaan kembali dapat dijalankan dengan memanfaatkan media baru sebagai sarana pendukungnya. Dalam ilmu komunikasi, aktivitas ini merupakan bagian dari aktivisme komunikasi berbasis siber yang dapat dijalankan oleh pesantren dalam upaya mengembalikan trust publik akibat terpaan pemberitaan isu perundungan yang sedang dialaminya.

Dipahami bahwa komunikasi pesantren berbasis siber merupakan relasi antara dunia maya dan pengalaman berkomunikasi secara online, atau dengan kata lain merupakan bagian dari komunikasi organisasi yang efektif dalam ranah maya. Artinya, dalam aktivitas ini menunjukkan sebuah  upaya yang diusahakan untuk mengelola  hubungan dan pesan dalam sebuah imajinasi, yang selanjutnya disebut sebagai ‘teater gagasan’ (Bob Julius Onggo, 2004).

Upaya dalam merespons pemberitaan isu perundungan santri ini, sebenarnya sudah dilakukan oleh pesantren yang tersandung dalam kasus perundungan ini, seperti pernyataan sikap pihak pesantren dalam menyikapi aksi perundungan santri yang sedang terjadi. Namun demikian, agar dapat memastikan bahwa fungsi komunikasi pesantren dapat berjalan dengan lebih baik lagi, maka pesantren-pesantren maupun organisasi yang menaungi pesantren-pesantren di Indonesia ini dapat memaksimalkan kembali keberadaan tim media center sebagai komunikator organisasi.

Masing-masing pesantren berkewajiban menguatkan citranya sebagai lembaga pendidikan dan pusat kajian keislaman, serta tradisi-tradisi pesantren, kepada publik luas. Komunikasi ini dapat dilakukan dengan cara memanfaatan perangkat media siber sebagai pendukung, sehingga dapat memberikan dukungan besar terhadap jalannya proses komunikasi pesantren. Proses komunikasi pesantren melalui media baru ini dapat dijalankan melalui kreativitas dan pemanfaatan ruang-ruang media sosial sebagai media relations dalam rangka mengembalikan kepercayaan publik.

Selain itu komunikasi pesantren berbasis siber ini juga diperlukan agar keberadaan pesantren mendapatkan ruang pemberitaan yang berimbang. Komunikasi ini harus dijalankan secara bersama-sama agar mendapatkan dukungan publisitas seluas mungkin, selain itu komunikasi ini juga menjadi upaya untuk menciptakan relasi yang stabil dan berkelanjutan, dilandasi saling percaya, demi terwujudnya kembali kepercayaan masyarakat terhadap pesantren.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan