Pesantren dan Isu Gender

1,024 kali dibaca

Semua manusia mempuyai kesetaraan. Strata tercipta hanya untuk Tuhan dan hamba-Nya. Perbedaan antarmanusia hanya karena fungsi dan kedudukannya. Selebihnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata politik, sosial, budaya, hingga agama.

Sayangnya, dalam konstruksi sosial, perempuan selalu dikondisikan menjadi makhluk lemah dibandingkan dengan lelaki. Posisi penting dalam hal properti di dunia, misalnya, mayoritas diatasnamakan lelaki. Padahal secara jam kerja produktif, perempuan lebih banyak proporsinya meskipun hasilnya tidak terlihat. Menariknya, perempuan banyak yang tidak menyadari penindasan atas dirinya.

Advertisements

Isu kesetaraan gender sebenarnya bukan menyamakan status dan kedudukan, sebab sejak mula lelaki selalu diposisikan lebih unggul. Apa yang diperjuangkan dalam gerakan feminisme sesungguhnya adalah untuk mencapai titik keadilan. Meminta perhatian dan keberpihakan untuk ruang perempuan sampai sejajar dengan lelaki. Kesalahkaprahan pemahaman gender adalah dimaksudkan sebagai kodrat. Padahal, urusan kodrat adalah sisi seksualitas. Sedangkan, gender adalah kesepakatan komunal, bukan kodrat.

Sebagai gambaran, perihal tugas rumah tangga sebenarnya tidak bisa dilekatkan hanya pada perempuan. Sebab, urusannya gender (kesepakatan). Ketika suami-istri menyepakati mengenai wewenang hak dan tanggung jawab, maka semua bisa berjalan selaras dan berkeadilan.

Permasalahannya, budaya patriarki menghendaki ketimpangan gender dalam setiap struktur sosial masyarakat. Seharusnya, seorang istri harus sering dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga. Bukan hanya tentang tugas dan wewenang, namun juga dalam ranah reproduksi (melahirkan) dan urusan seksualitas. Mengurangi sikap kediktatoran suami yang memenjarakan kebebasan perempuan.

Pada akhirnya, budaya patriarki menciptakan kirisis identitas pada perempuan. Mereka bingung pada ketidaktahuannya menerapkan fungsi dan nilai yang dianutnya. Sehingga orientasi perempuan selalu berharap mendapatkan lelaki yang mapan. Cinta sedikit disisihkan asalkan bisa menyandarkan masa depannya. Perempuan hanya mencita-citakan tiga hal dalam hidupnya, yakni; keromantisan (cinta), kenyamanan (rumah), dan kemapanan suami.

Feminisme mengekang perempuan untuk dicap buruk jika terlampau agresif. Standar kecantikan perempuan diukur dari kelemahlembutannya. Mengorbankan dirinya demi kepentingan pasangan, keluarga, dan kelompok lebih besar lainnya. Perempuan bersolek (berdandan) bukan untuk kenyamannya dan kepantasan, melainkan memenuhi hasrat kepentingan lelaki agar tertarik padanya. Apa pun aktivitasnya disandarkan pada kebutuhan lelaki, perempuan selalu dijadikan objek.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan