Pesantren dan Isu Gender

1,044 kali dibaca

Semua manusia mempuyai kesetaraan. Strata tercipta hanya untuk Tuhan dan hamba-Nya. Perbedaan antarmanusia hanya karena fungsi dan kedudukannya. Selebihnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama di mata politik, sosial, budaya, hingga agama.

Sayangnya, dalam konstruksi sosial, perempuan selalu dikondisikan menjadi makhluk lemah dibandingkan dengan lelaki. Posisi penting dalam hal properti di dunia, misalnya, mayoritas diatasnamakan lelaki. Padahal secara jam kerja produktif, perempuan lebih banyak proporsinya meskipun hasilnya tidak terlihat. Menariknya, perempuan banyak yang tidak menyadari penindasan atas dirinya.

Advertisements

Isu kesetaraan gender sebenarnya bukan menyamakan status dan kedudukan, sebab sejak mula lelaki selalu diposisikan lebih unggul. Apa yang diperjuangkan dalam gerakan feminisme sesungguhnya adalah untuk mencapai titik keadilan. Meminta perhatian dan keberpihakan untuk ruang perempuan sampai sejajar dengan lelaki. Kesalahkaprahan pemahaman gender adalah dimaksudkan sebagai kodrat. Padahal, urusan kodrat adalah sisi seksualitas. Sedangkan, gender adalah kesepakatan komunal, bukan kodrat.

Sebagai gambaran, perihal tugas rumah tangga sebenarnya tidak bisa dilekatkan hanya pada perempuan. Sebab, urusannya gender (kesepakatan). Ketika suami-istri menyepakati mengenai wewenang hak dan tanggung jawab, maka semua bisa berjalan selaras dan berkeadilan.

Permasalahannya, budaya patriarki menghendaki ketimpangan gender dalam setiap struktur sosial masyarakat. Seharusnya, seorang istri harus sering dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga. Bukan hanya tentang tugas dan wewenang, namun juga dalam ranah reproduksi (melahirkan) dan urusan seksualitas. Mengurangi sikap kediktatoran suami yang memenjarakan kebebasan perempuan.

Pada akhirnya, budaya patriarki menciptakan kirisis identitas pada perempuan. Mereka bingung pada ketidaktahuannya menerapkan fungsi dan nilai yang dianutnya. Sehingga orientasi perempuan selalu berharap mendapatkan lelaki yang mapan. Cinta sedikit disisihkan asalkan bisa menyandarkan masa depannya. Perempuan hanya mencita-citakan tiga hal dalam hidupnya, yakni; keromantisan (cinta), kenyamanan (rumah), dan kemapanan suami.

Feminisme mengekang perempuan untuk dicap buruk jika terlampau agresif. Standar kecantikan perempuan diukur dari kelemahlembutannya. Mengorbankan dirinya demi kepentingan pasangan, keluarga, dan kelompok lebih besar lainnya. Perempuan bersolek (berdandan) bukan untuk kenyamannya dan kepantasan, melainkan memenuhi hasrat kepentingan lelaki agar tertarik padanya. Apa pun aktivitasnya disandarkan pada kebutuhan lelaki, perempuan selalu dijadikan objek.

Kodrat manusia adalah bersikap dinamis, namun budaya patriarki yang menuntut perempuan bersikap statis. Perempuan selalu dianggap dalam posisi lemah dan tidak pantas mengambil kebijakan. Padahal, perempuan adalah penerus ideologi kehidupan. Mereka yang menciptakan (melahirkan) spesies manusia.

Lu Yu-Lan menjelaskan bahwa emansipasi perempuan pada dasarnya adalah upaya transformasi yang melibatkan seluruh elemen yang membentuk masyarakat. Perempuan membutuhkan tiga aspek dalam memperjuangkan statusnya, yakni jaminan negara agar keluar dari mitos yang memenjarakannya, menghargai pekerjaan domestik maupun publik, dan pemberdayaan keluarga.

Gender merupakan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dibangun oleh masyarakat atau kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya dan struktur sosial yang berbeda-beda di setiap daerah, suku, negara, dan agama. Konflik yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender.

Isu Gender di Pesantren

Isu kesetaraan gender dalam kajian keislaman memang merupakan masalah kekinian. Namun, dari telaah terhadap Al-Quran diperoleh gambaran bahwa perspektif gender mengacu kepada semangat dan nilai-nilai universal. Begitu kuat pengaruh tafsir agama yang timpang mengenai gender dalam beberapa kitab klasik menyebabkan pesan Al-Quran tentang nilai-nilai kemanusiaan universal dari kesetaraan laki-laki dan perempuan terlewatkan dari pemahaman umat.

Pengaruh wawasan gender dunia pesantren sangat kuat, namun tidak selamanya kesetaraan gender yang timpang disetujui oleh pondok pesantren. Kemunculan tokoh dan praktisi pendidikan pesantren justru berjuang mengampanyekan isu kesetaraan gender hingga proses mengimplementasikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Mereka terus berjuang dengan keyakinan bahwa pesan kesetaraan gender menurut Alquran perlu dipahami secara kontekstual.

Kajian keislaman di pesantren berperan membentuk pemahaman keagamaan umat, termasuk dalam isu kesetaraan gender. Materi yang dipelajari di pesantren merujuk kitab-kitab kuning, kebanyakan merupakan kaidah-kaidah fikih dan bersifat normatif yang cenderung patriarkis. Hal ini karena para ulama dulu cenderung menempatkan perempuan sebagai subordinasi lelaki (Muhannif, 2002).

Dalam kehidupan masyarakat, ketimpangan peran dan identitas gender diwariskan secara turun-temurun dan dilegitimasi dengan tafsir agama. Perlu diperoleh gambaran secara seimbang antara hal yang bersifat faktual dengan hal yang bersifat ideal tentang wawasan gender dan peran perempuan dari pesantren lokasi penelitian.

Dalam sejarah pendidikan Islam, tercatat bahwa pesantren mulai menyediakan tempat bagi santri putri pada tahun 1916 (Dhofier, 1982). Hal itu terjadi di Pesantren Denanyar Jombang. Ini merupakan kesempatan awal bagi perempuan bisa belajar di pesantren dan mendorong munculnya tuntutan agar para nyai atau ning bisa berperan dalam mengasuh santri putri, karena sebelumnya hanya para kyai yang berperan karena yang diasuh adalah santri putra. Pemisahan pendidikan santri putra dan putri telah mendorong pesantren-pesantren besar mulai menyediakan tempat khusus untuk belajar dan tempat tinggal para santri putri.

Sejak keberadaan santri putri di pesantren, perempuan pesantren dalam status nyai ataupun ustazah terlibat dalam kegiatan pesantren tidak hanya dalam peran domestik seperti mengurusi keluarga dan makan para santri, tetapi mulai berperan menjadi pengasuh dan penyelenggaran pendidikan santri. Perempuan di pondok pesantren dituntut untuk pintar memahami kajian kitab kuning dan ilmu sosial-keislaman. Beberapa mulai mempunyai komitmen untuk mendirikan pondok pesantren khusus putri yang memang masih langka pada waktu itu. Kajian kitab kuning tidak hanya menjadi hak istimewa bagi laki-laki, tetapi juga para perempuan.

Ada tiga karakteristik yang merupakan titik awal untuk memahami lingkungan dimana perempuan ikut serta dalam kepemimpinan pesantren, yaitu: (1) independensi kepemimpinan pesantren, (3) kitab kuning, dan (3) sistem nilai (Wahid, 1999). Peran perempuan dalam kehidupan pesantren adalah merupakan kenyataan yang terbantahkan. Kajian/penelitian yang pernah dilakukan lebih banyak mengeksplorasi kiai yang dianggap sebagai tokoh kunci dalam perkembangan dan perubahan pesantren.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan